Adakah Struktur Alternatif pada Film Box Office Indonesia Pasca Reformasi? (Struktur Film Jelangkung)
Telah diterbitkan pada: JURNAL Online PUBLIPRENEUR
https://polimedia.academia.edu/publipreneur
Abstraksi
Struktur pada film umumnya
menggunakan pola yang sudah lama dikenal oleh penonton, yakni struktur tiga
babak yang diperkenalkan sejak jaman Yunani Kuno oleh Aristoteles. Namun
belakangan ini diketahui bahwa film-film box office Hollywood menggunakan
struktur alternative yang dikenal dengan nine act structure. Lalu film-film box
office Indonesia pasca reformasi yang memiliki semangat perubahan perlu kiranya
untuk dikaji lebih jauh lagi, apakah menggunakan struktur yang sudah lama
dikenal penonton pada umumnya, atau menggunakan struktur alternative.
Kata kunci: Struktur,
alternative dan film box office.
Abstraction
The structure of the films
generally use pattern that has long been recognized by the audience the three
act structure known since the days of ancient Greece by Aristoteles. But lately
known that films Hollywood box office use alternative structure known as the
nine act structure. Then the films box office Indonesia after the reform that
has the spirit of change, would need to be studied further, whether using a
structure that has long been known to the audience in general or the use of
alternative structure.
Pendahuluan
Film bagi para
kreator sebagai media ekspresi yang terlepas dari unsur dagang dan industri.
Mereka berdiri atas nama seni dan tingginya nilai kreatifitas. Sedangkan yang
kedua atau yang lainnya adalah hal yang sebaliknya. Film sebagai unsur dagang
dan industri, para kreator
film membuat film karena didasari mendapatkan keuntungan dari hasil film
tersebut.
Sangat menarik
memang apabila ada seorang kreator film dapat langsung menjamin film yang
dihasilkannya itu dapat disenangi dan diterima oleh khalayak umum. Sehingga
dengan berbondong-bondong, publik datang ke bioskop untuk menonton film yang
dihasilkan oleh si kreator film tadi. Tentunya hal ini hanya sebuah keinginan
diluar batas kemampuan siapapun. Entah itu kreator yang memenangi berbagai
macam festival film di dunia ini sekalipun. Ataupun juga kreator film yang
telah banyak membuat film seumur hidupnya. Malah sampai-sampai ada istilah
hidup dan matinya hanya untuk film. Mustahil hal itu ada. Namun dibalik itu
semua, sebenarnya peristiwa itu bukannya tidak dapat ditelusuri lebih jauh.
Mungkin tidak akan pernah ada kalau film laris itu tergantung kepada siapa
orang di balik film tersebut. Tetapi menjadi pandangan yang berbeda bila dalam
membuat film menerapkan pola-pola yang telah dikenal oleh publik, katakanlah
publik disini adalah para penonton film, tentunya berdasarkan analisa-analisa
yang dilakukan sebelumnya, mungkin hal tersebut dapat diatasi. Walaupun itu
masih dalam bentuk coba-coba.
Ada beberapa
analisa yang dilakukan oleh beberapa orang mencoba untuk mencari pola-pola
tersebut. Bagaimana menjadikan sebuah karya film itu laku dipasaran dan menjadikan
suatu pola tertentu, yang baku diterapkan pada film. Sehingga film sebagai
sebuah bisnis yang sangat menguntungkan. Salah satunya dengan menelusuri dari
konsep bertuturnya sebuah film.
Dijelaskan dalam
buku Film Art An Introduction Seventh Edition[1]
adanya tiga tahapan dalam produksi sebuah film, yaitu Preporation atau Pra
Produksi, Shooting atau Produksi, serta Assembly atau Pasca Produksi.
Pada tahapan Preporation
termasuk proses pembuatan skenario,
dimana hal ini merupakan ujung pangkal pemikiran sebuah film. Skenario
menjadi titik yang paling dasar dalam hal ini. Bagaimana film dari awal sudah
diperhitungkan dengan konsep yang sedemikian rupa bentuk dan polanya.
Namun begitu
dalam tubuh skenario pun memiliki elemen-elemen didalam merangkai bentuk dan
isi skenario tersebut. Bagaimana elemen-elemen yang terdapat didalam skenario paling
tidak ikut menentukan berhasil atau tidaknya film di mata penonton atau publik.
Kemudian elemen-elemen didalam skenario itu disusun dan dibuatkan bentuknya
dengan memakai struktur atau pola. Dalam skala yang besar atau mayoritas
struktur cerita yang digunakan dalam produksi film saat ini semuanya merujuk
pada Struktur Hollywood Klasik. Karena ada faktor dalam pembuatan film itu
dapat dikenal membuat sebuah produk, maka menjadi logika dagang dan industri
yang masuk akal dengan tidak mencoba-coba untuk mencari alternatif lain. Tentu
saja dapat dipastikan struktur ini karena telah lama dikenal oleh masyarakat.
Pembuktian tentang ini dapat dicontohkan kembali pada studi yang dilakukan oleh
Vladimir Propp, yang menganalisa foklor atau cerita rakyat negeri Rusia. Atau
ada hal lain seperti penonton memang mengharapkan film yang ditontonnya itu
adalah hal-hal yang sudah dikenal dan sudah dekat dengan dirinya. Sehingga
tidak perlu bagi para kreator film untuk memberikan struktur yang lain kepada
penonton.
Dengan adanya
gambaran diatas, menjadi sangat menarik bila melihat film-film yang diproduksi
didalam negeri. Apalagi dalam kurun waktu yang cukup lama produksi film
nasional mengalami tidur yang sangat panjang, artinya disini hanya beberapa
buah film saja yang dihasilkan dalam kurun waktu hampir lebih kurang 10 tahun.
Padahal di era 70an dan 80an, film nasional bagaikan raja dinegerinya. Namun
belakangan memasuki awal tahun 90-an sampai pada era reformasi atau memasuki
milenium baru, rasa-rasanya film nasional sepertinya benar-benar “mati suri”.
Sebuah istilah yang digunakan untuk produksi film-film nasional yang jumlahnya
berkurang.
Baru setelah era
lahirnya reformasi, atau tepat memasuki abad baru, muncul beberapa film yang
dibuat oleh generasi baru kreator film Indonesia, dan sepertinya produksi film
nasional pun dari tahun ke tahun mengalami kemajuan yang cukup pesat sampai
tulisan ini dibuat. Beralihnya generasi kreator film, kiranya menjadi salah
satu faktor yang tidak dapat ditutup sebelah mata, karena generasi inilah yang
membuat perfilman nasional bangun dari peraduannya. Ini dapat dilihat dengan
terus meningkatnya film yang diproduksi sejak reformasi.
Adakah Film Nasional Menggunakan
Struktur Alternatif?
Skenario merupakan hasil
dari bentuk teknis dalam menyusun elemen-elemen yang terdapat didalam sebuah
cerita yang dikhususkan bagi produksi film. Dengan sendirinya susunan tersebut memiliki
sebuah bentuknya atau struktur. Untuk lebih jauhnya struktur atau pola apa yang digunakan
dalam pembuatan film, tentunya tidak menjadi sebuah struktur atau pola yang
baku. Baik itu film produksi Hollywood ataupun film produksi dalam negeri.
Namun film-film Hollywood selalu menjadi gambaran produksi film di dunia sehingga menjadi
mainstream.
Film-film Hollywood sangat mengandalkan naratif, dengan struktur ceritanya yang
dikenal dengan 3 babak, dan hal ini berlangsung sudah cukup lama, sehingga
struktur berceritanya dikenal dengan Struktur
Klasik Hollywood.[2]
Struktur ini pulalah yang
kemudian menjadi acuan film-film diseluruh dunia, termasuk film-film produksi
dalam negeri.
Film-film Box Office atau
film yang laku dipasaran, merupakan materi yang menarik untuk dikaji, terutama
dari bentuk struktur film. Demikian halnya dengan film-film box office
Indonesia, terutama pada pasca reformasi. Adakah film-film nasional, menggunakan struktur atau pola
yang sama dengan film-film produksi Hollywood pada umumnya, atau menggunakan
struktur yang lain?
Pada akhirnya struktur 3
babak versi Hollywood ini menjadi bahan pertimbangan para kreator film dalam memproduksi film mengingat beberapa hal,
yakni:
- sangatlah relevan untuk digunakan pada film-film yang memang sengaja dibuat untuk kebutuhan dagang dan industri, karena sudah dipahami oleh para penonton pada umumnya.
- Selain itu juga adanya ketidakpastian dari keuntungan film apabila film yang diproduksi oleh para kreator film memberikan warna struktur alternatif yang baru kepada penonton, yang belum atau tidak dikenal oleh penonton.
Padahal dalam
informasi terakhir, struktur dalam film-film Hollywood yang berhasil masuk
dalam kategori box office, beberapa diantaranya menggunakan struktur diluar
tiga babak. Sehingga
penonton mendapatkan tawaran terhadap struktur cerita. Namun bagaimana dengan
film Nasional? Untuk itulah tujuan dari tulisan ini mengarah kepada :
1. Untuk membuktikan apakah film-film Indonesia yang masuk dalam kategori box office setelah pasca reformasi masih tetap menggunakan struktur atau pola tiga babak.
2. Menganalisa lebih jauh apakah film-film nasional yang di produksi dan ditayangkan di bioskop-bioskop dalam negeri setelah pasca reformasi juga ada yang menggunakan struktur atau pola lain selain pola tiga babak. Terutama pada film-film yang tercatat sebagai film-film box office.
Walau ada
beberapa film yang tercatat masuk dalam kategori box office, tentunya tidak
harus semuanya menjadi bahan materi dalam kaitannya dengan tulisan ini. Cukup
dengan satu film yang
mewakili dari keseluruhan film-film yang masuk dalam daftar box office. Seperti film Jelangkung.
Struktur Pada Film
Bordwell
menjelaskan bahwa naratif
pada film terbentuk atas dua hal yakni adanya film form dan film style[3]. Film (gabungan
antara form dan style yang memiliki aturan tertentu dan menjadi sebuah bentuk)
adalah sebuah total sistem, tidak mengenal bagian dalam dan bagian luar. Unsur-unsur pada
naratif didalam film memiliki suatu bentuk struktur yang mengarah
pada struktur bercerita pada film.
Awalnya struktur cerita
film hanya satu arah pada Naratif, yang tentunya memiliki pakem-pakem yang
ketat. Namun belakangan, muncul
film-film yang melawan pakem tersebut, sehingga film tersebut dengan cerita
Non-Naratif.
Pakem pada pola atau struktur naratif dijelaskan kembali oleh Bordwell sangat memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi secara ketat, dan karena dimulai oleh Hollywood pada sekitar tahun 1910[4] maka struktur ini pun dikenal dengan Struktur Klasik Hollywood –Classical Hollywood Structure. Sedangkan untuk pola-pola non naratif atau struktur non naratif, lebih jauh disinggung oleh Bordwell sebagai pola atau struktur yang memiliki aturan yang lebih bebas lagi dibandingkan dengan pola naratif atau struktur naratif. Sehingga timbul disini adalah kebebasan didalam ekspresi pada media film serta kekayaan didalam cerita ataupun elemen-elemen cerita itu sendiri.
Pakem pada pola atau struktur naratif dijelaskan kembali oleh Bordwell sangat memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi secara ketat, dan karena dimulai oleh Hollywood pada sekitar tahun 1910[4] maka struktur ini pun dikenal dengan Struktur Klasik Hollywood –Classical Hollywood Structure. Sedangkan untuk pola-pola non naratif atau struktur non naratif, lebih jauh disinggung oleh Bordwell sebagai pola atau struktur yang memiliki aturan yang lebih bebas lagi dibandingkan dengan pola naratif atau struktur naratif. Sehingga timbul disini adalah kebebasan didalam ekspresi pada media film serta kekayaan didalam cerita ataupun elemen-elemen cerita itu sendiri.
Struktur Klasik Hollywood
Sebenarnya apa
yang dituliskan oleh Bordwell tidaklah berbeda jauh dengan apa yang diungkapkan
oleh Saymour Chatman mengenai naratif. Memang terlihat cerita itu terbagi
menjadi dua bagian yang besar. Chatman dengan menggunakan istilah story dan
discourse pada cerita-cerita fiksi sedangkan Bordwell dengan naratif dan non
naratif pada cerita yang terdapat didalam sebuah film.
Untuk lebih
jelasnya dapat kita lihat sebuah peristiwa yang menggambarkan bagaimana
struktur naratif itu dipahami. Katakanlah terpaparkan peristiwa seperti pemuda
datang ke tempat duduk taman. Wanita duduk di taman. Bunga dibawa pemuda basah
dan layu. Wanita pergi. Hujan terlihat turun. Seorang pemuda membeli bunga.
Dari peristiwa yang dipaparkan tersebut, tentunya tidak akan dimengerti dan
dipahami sepenuhnya oleh penonton. Karena masih belum memiliki hubungan yang
jelas. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, tidak terdapat klausal logika yang
dapat menyatukan kejadian tersebut.
Berbeda sekali
bila hal itu diperlihatkan dengan cara yang mengandung unsur klausal logika.
Terlihat seorang wanita duduk seorang diri dengan perasaannya yang terkesan
menanti kedatangan seseorang. Kemudian terlihat seorang pemuda membeli bunga.
Tidak berapa lama kemudian hujan pun turun. Wanita yang duduk tadi segera
pergi. Lalu pemuda datang ke taman ke tempat duduk wanita itu tadi dengan bunga
yang dibawanya basah dan layu.
Menurut Paul
Cobley sebuah peristiwa dibangun oleh tiga faktor dasar. “......even the most preliminary of
investigations reveals that there are three fundamental items which, while they
sometimes blend in a most pleasing way, are really separate”[5] Lalu ia juga
menambahkan apa yang dimaksud dengan Cerita dan Plot, “Put very simply,
‘story’ consists of all the events which are to be depicted. ‘Plot’ is the
chain of causation which dictates that events are somehow linked and that they
are therefore to be depicted in relation to each other”
Dalam Struktur
Hollywood Klasik, beberapa aturan yang ketat dan baku pada struktur cerita,
secara sederhana seperti halnya kepuasan penonton menjadi servis yang harus
diberikan oleh kreator film, cerita yang
ingin disampaikan kepada penonton tidaklah membuat sebuah struktur atau pola
cerita yang
membuat penonton bertanya atau tidak mengerti. Karena terikat dengan nilai-nilai
klausalitas logika itu tadi, yaitu pola sebab-akibat yang sangat jelas terdapat
didalam cerita. Sedangkan diluar nilai-nilai kausalitas tadi, maka terbentuk suatu
struktur yang dikenal dengan Art Cinema Narration –Narasi Seni Sinema, yang
tidak masuk dalam pembahasan kali ini.
Dalam Klasik Hollywood, kausal logika, yang menyangkut pada peristiwa, ruang dan waktunya, diatur oleh sebuah system yang dinamakan dengan babak. Hal ini dikenal dengan struktur tiga babak, yang terdiri atas opening –permulaan-, middle –tengah-, dan ending -akhir.
Dalam Klasik Hollywood, kausal logika, yang menyangkut pada peristiwa, ruang dan waktunya, diatur oleh sebuah system yang dinamakan dengan babak. Hal ini dikenal dengan struktur tiga babak, yang terdiri atas opening –permulaan-, middle –tengah-, dan ending -akhir.
Pola/Struktur 3 Babak
Meski cerita pada film
seakan-akan mengalur begitu saja, namun sebenarnya cerita tersebut mengandung
sebuah system struktur yang dikenal dengan struktur tiga babak, dimana hal tersebut
menjadi system yang harus dipenuhi. Struktur
tiga
babak ini
sebenarnya sudah disinggung oleh Aristoteles bahwa cerita berdasarkan opening, middle dan ending. Ada baiknya
pertama kali kita terlebih dahulu kita memahami dinamika struktur, sangatlah
penting dimulai dengan arti dari kata itu sendiri. Asal kata dari struktur
adalah “struct”, yang artinya “membangun” atau “menempatkan sesuatu secara
terus-menerus” seperti sebuah gedung atau mobil. Namun dalam hal ini ada
definisi lain mengenai kata struktur, yaitu “hubungan antara beberapa
bagian-bagian dari keseluruhan”. Sangat jelas pula hal ini sebenarnya telah
diungkapkan oleh Syd Field didalam bukunya yang berjudul Screenplay,
the foundations of screenwriting.[6]
Dimana Syd Field
juga menjelaskan bahwa bagian-bagian dari keseluruhan maksudnya dengan menganalogikannya
dengan permainan catur:
pertama jumlahnya tersusun dari 4 bagian, yaitu: potongan-potongan dari Queen,
King, Menteri,Benteng, pion, kuda dsb; kedua harus ada pemain atau para
pemain, sebab ada seseorang untuk memainkan catur, ketiga papan catur karena kamu tidak akan
dapat bermain catur tanpa hal itu, dan ke empat suatu hal kamu
butuh peraturan untuk memainkannya, sebab mereka yang membuat permainan catur
seperti yang kita ketahui. Itulah 4 hal tersebut, dengan fungsi-fungsinya atau
bagian-bagiannya yang digabungkan sehingga menjadi keseluruhan permainan
tersebut dan hasil dari permainan catur. Itulah hubungan antara bagian-bagian
dengan jumlahnya (keseluruhannya) yang menentukan permainan tersebut.
Sehingga disini
begitu digambarkan bagaimana cerita menjadi benar-benar sebuah bangunan ataupun
suatu sistem keseluruhan, sedangkan bagian-bagian atau potongan-potonganlah
yang membuat keseluruhan cerita tersebut, seperti halnya aksi, karakter, scene, sequence, babak I, II, III, kejadian atau peristiwa, episode, even,
musik, lokasi dan sebagainya –adalah make-up dari cerita. Itu adalah
keseluruhan. Dengan begitu struktur benar-benar menjadi sebuah pegangan atau
dasarnya cerita untuk ditempatkan dimana dan seperti apa.
Inilah yang
dimaksud dengan paradigma struktur dramatik. Sebuah model paradigma, contoh
ataupun pola dari konsep.
Misbach Yusa
Biran menjelaskan dengan sangat sederhana fungsi dari masing-masing babak
tersebut. Yaitu, pada babak pertama atau permulaan disebutkan olehnya sebagai
penyiapan kondisi pada penonton. Dimana pada babak ini secara lebar dijabarkan
oleh Misbach sebagai : membuat penonton secepatnya memfokuskan perhatiannya
pada cerita, membuat penonton bersimpati pada tokoh protagonis, membuat
penonton mengetahui problem utama dari tokoh protagonis.[7]
Lalu babak kedua
dijelaskan pula oleh Misbach berlangsungnya cerita yang sesungguhnya. Di babak
I cerita belum dimulai tetapi baru berupa pengantar. Baru dibabak inilah
betul-betul dimulai sampai cerita berakhir. Pada babak II berisi tentang :
Point off attack, jalan cerita, protagonis terseok-seok, klimaks : protagonis
hidup atau mati.[8]
Sedangkan pada
babak ketiga, ditulis Misbach lebih disediakannya kesempatan bagi penonton
memantapkan pemahaman final dan menarik kesimpulan. Cerita sudah ada kepastian
berakhir sebagai happy ending atau unhappy ending, disini penonton diberi
kesempatan meresapi kegembiraan yang ditimbulkan oleh happy ending atau rasa
sedih yang ditimbulkan oleh unhappy ending. Juga memantapkan kesimpulan mereka
dari isi cerita.[9]
Hal yang sangat teknis dalam babak
ini penonton harus menemukan akhir film yang memuaskan dan secara emosional
terpenuhi atau terselesaikan. Memilih akhir terbaik terhadap cerita adalah
absolut untuk mencapai sukses artistik maupun sukses komersial.
Happy ending, adanya closure
atau akhir cerita tidak memberikan pertanyaan kepada para
penontonnya. Semua permasalahan yang diberikan kepada penonton dari awal sampai
cerita itu berakhir, harus memiliki tuntunan penyelesaian sesuai dengan harapan
yang diinginkan oleh penonton.
Film Box Office Indonesia
Dijelaskan
sebelumnya dalam ruang lingkup pembahasan dalam tulisan ini, yaitu:
1.
Film-film Indonesia yang diproduksi setelah era reformasi
bergulir.
Tidak diketahui
dengan pasti secara catatan yang dapat dipertanggung-jawabkan ataupun secara
ilmiah, sampai sekarang ini berapa jumlah film yang diproduksi di negara ini.
Sehingga pemilihan pertama dalam kisaran periodik menjadi alasan yang kuat guna
membatasi film-film yang telah di produksi negara ini. Dengan kata lain tulisan ini ditujukan
secara khusus pada film-film yang di produksi dalam periode reformasi bergulir, yang terjadi pada
tahun 1998, setelah lengsernya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan selama
memimpin Indonesia 32 tahun lamanya.
Pemilihan periode
reformasi ini, setidaknya selain kurun waktu juga mencoba untuk memahami apakah
karya film produksi reformasi memiliki konsep karya yang berbeda dengan
sebelumnya. Karena diketahui dalam era reformasi ini, setidaknya kebebasan
dalam berkarya memang begitu lebih leluasa dibandingkan dengan era-era
sebelumnya. Walaupun beberapa sudut pandang yang dianggap tabu di masyarakat
masih belum bisa dilepaskan begitu saja. Seperti halnya dalam kasus adegan
ciuman pada sebuah film Buruan Cium Gue, terkena sensor.
2.
Film yang tercatat sebagai film box office Indonesia.
Di setiap negara
pastinya memiliki karya-karya film yang masuk dalam kategori box office, yaitu sebuah film yang
memiliki rekor jumlah penonton dalam ukuran yang fantastis sehingga film
tersebut mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Di Indonesia
sendiri belum diketahui seberapa besar ukuran fantastis secara pastinya. Tetapi
dari beberapa catatan yang ada dapat dilihat bahwa ukuran tersebut diambil dari
perbandingan ongkos produksi dengan jumlah karcis atau tiket penonton bioskop
ketika film di putar di seluruh Indonesia, dan dapat dilihat dari lama tidaknya
sebuah film beredar dalam satu gedung bioskop saja. Misalnya sebuah film belum
turun atau tidak diganti oleh judul film lain dari gedung bioskop selama satu
minggu lamanya, maka dapat dikatakan film tersebut, telah mendapatkan sejumlah hasil
yang menguntungkan dari pembelian tiket atau karcis penonton. Hal ini diketahui
penulis dari sejumlah wawancara langsung kepada para kreator film, salah satu
diantaranya adalah Hanny R Sahputra, salah seorang sutradara.
Atau juga dapat diasumsikan suatu
estimasi hal tersebut dengan angka-angka sebagai berikut :
- Katakanlah dalam ongkos produksi Film A secara keseluruhan memakan biaya Rp 2.000.000.000,-
- Kemudian saat film tersebut di putar di bioskop-bioskop, biasanya di mulai di Jakarta, maka dapat kita hitung seperti ini : Film A Diputar pada gedung bioskop TIM 2, dengan kapasitas bangku 120. Lalu harga tiket di jual dalam satu kali putar dengan masa putar 2 jam Rp 15.000,-. Maka hasil yang didapatkan dalam 1 kali putar dengan kapasitas penonton full 120 x Rp 15.000 = Rp 1.800.000,-
Bioskop di mulai dari pukul 12.00 – 22.00, maka pemutaran film dalam 1 hari didapatkan sebanyak 4x pemutaran. Sehingga Film A dapat diputar dalam satu hari sebanyak 4x, maka dalam 1 hari Film A mendapatkan hasil dari tiket atau karcis sbb : Rp 1.800.000,- x 4 = Rp 7.200.000,- kemudian hasil tersebut akan bertambah bila Film A bertahan selama 1 minggu, sehingga didapatkan hasil Rp 7.200.000,- x 7 = Rp 50.400.000,-
Dengan demikian dalam pemutaran Film A di bioskop 21 TIM 2 saja sudah menghasilkan Rp 50.400.000,- dalam waktu 7 hari pemutaran. Bila di Jakarta memiliki jumlah gedung bioskop sebanyak 38[10]. Maka Film A dalam waktu satu minggu sudah menghasilkan Rp 50.400.000,- x 20 = Rp 1.915.200.000,-
Dengan hasil yang didapatkan dari bioskop yang berada di Jakarta saja, setidaknya dapat dilihat Film A memiliki kans yang cukup besar untuk mendapatkan keuntungan apabila ditambah pemasukkannya lewat bisokop 21 lainnya yang tersebar di beberapa kota di Indonesia dan lewat internet dapat diketahui bahwa bioskop 21 di Indonesia di luar Jakarta berjumlah 84. Dan apabila masa putar Film A di bioskop-bioskop yang berada di luar Jakarta itu sama dengan masa putar di Jakarta, maka dapat kita ketahui keuntungan yang didapatkan Film A sangatlah fantastis, masuk dalam kategori box office. Secara sederhananya seperti demikian maksud dari film box office yang dilihat dari keuntungan serta perolehan karcis atau tiket saat sebua film di putar di bioskop-bioskop.
3.
Pertimbangan kurun waktu tidak lebih film yang di produksi,
dari 5 tahun setelah era reformasi bergulir, yaitu dari tahun 1998 – 2003.
Dalam membatasi
waktu hanya pada ketentuan lima tahun setelah reformasi ada dan berjalan, yaitu
dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, menjadi pertimbangan dikarenakan bisa
saja era pasca reformasi terus berlangsung sampai entah kapan. Tidak ada
kepastian yang dapat dijadikan bentuk pegangan yang pasti. Dengan membatasinya
dari tahun 1998-2003, artinya tidak menutup kemungkinan adanya bentuk struktur
film Indonesia yang berbeda setelah tulisan yang dilakukan dalam kesempatan
ini. Selain itu juga pembatasan waktu lima tahun ini membatasi ruang lingkup
penulisan, yang disadari penulis untuk mempersingkat proses penulisan ini.
Mengingat tentunya akan terus-menerus di produksi film di tanah air yang
semakin tahun meningkat cukup baik. Sehingga terus-menerus juga melahirkan
film-film box office.
Struktur Film Jelangkung
Film Jelangkung
sudah benar dalam kriteria yang disebutkan tadi. Memang ada beberapa film lain yang tercatat
sebagai film-film box office, seperti Petualangan Sherina (Produksi Tahun
1999), Ada Apa Dengan Cinta (Produksi Tahun 2001), Kafir/Satanic (2002), Tusuk
Jelangkung (Produksi Tahun 2002), namun sebenarnya pemilihan Jelangkung kiranya
lebih kepada unsur kesempatan. Sebenarnya keinginan penulis lebih daripada itu.
Yaitu sepuluh film box office setelah era reformasi bergulir. Namun hal ini
tidaklah memungkinkan karena waktu sebagai kendala utama untuk menganalisa hal
tersebut. Film-film box office tentunya tetap memiliki sebuah struktur didalam
bercerita. Struktur
inilah yang menjadi bahan analisa.
Basic Story Film Jelangkung
Pembunuhan yang
dilakukan oleh para penduduk desa Angker Batu terhadap seorang anak kecil, yang
diduga oleh para penduduk desa sebagai anak pembawa malapetaka, mengawali
cerita film Jelangkung ini.
Kemudian cerita
pun berlanjut pada empat orang sahabat yaitu Ferdi, Gita, Gembol dan Soni yang
sedang melakukan misi mereka mencari mahluk gaib di tempat-tempat yang dianggap
angker. Namun hasilnya dapat dikatakan nihil.
Lalu mereka
berempat pun memutuskan untuk mencarinya ke luar Jakarta dan disepakati untuk
mendatangi Desa Angker Batu sebagai sasaran misi mereka berikutnya. Persiapan
pun dilakuka dan singkat cerita mereka segera berada di Desa Angker Batu. Pada
awalnya mereka pun tidak mendapatkan mahluk gaib yang mereka inginkan. Gita dan
Gembol pun merasa lelah karena mereka sudah tiga hari di tempat tersebut,
tetapi sia-sia. Mereka menginginkan untuk pulang ke rumah. Lain halnya dengan
Ferdi dan Soni yang ingin tetap melanjutkan misi. Hal ini memicu konflik antara
Gita dan kekasihnya Ferdi. Lalu mereka memutuskan untuk pulang.Sebelum pulang
Soni melakukan ritual memanggil Jelangkung yang pada akhirnya ia menancapkan
boneka Jelangkung di sebuah kuburan.
Sesampainya di
Jakarta, ternyata mereka berempat mengalami gangguan-gangguan yang misteri.
Namun mereka tetap menjalankan misi mereka ke sebuah Rumah Sakit yang dikenal
angker. Disinilah mereka benar-benar melihat dan menemukan mahluk gaib. Dari
suara-suara aneh sampai pada seorang anak kecil semacam tuyul serta suster
ngesot yang memang dikenal sebagai penghuni mahluk gaib di Rumah Sakit
tersebut. Mereka pun ketakutan, sampai-sampai mereka merasa diikuti oleh para
mahluk gaib tersebut. Yang pada akhirnya mereka pun diwajibkan untuk kembali ke
desa Angker Batu dan mencabut boneka Jelangkung yang ditancapkan oleh Soni
sebelumnya.
Cerita berlanjut
saat mereka kembali ke desa Angker Batu, dimana mereka tidak menemukan kuburan
sebelumnya. Tempat dimana boneka Jelangkung ditancapkan. Akhirnya mereka pun
terpaksa menginap untuk tetap mencari dan menemuka kuburan tersebut. Sampai
pada akhirnya, saat di malam harinya, mereka harus menerima ganjarannya.
Uraian Struktur Film
Jelangkung
Pada film
Jelangkung yang dapat dilihat dari basic story diatas, sebelumnya dapat kita
asumsikan menggunakan pola naratif dalam berceritanya. Kenapa demikian, karena
tidak ada faktor susunan
peristiwanya mencoba untuk
pola lain. Seperi hal yang dilakukan dalam cerita pada pola-pola non naratif
yang mana pola ceritanya kadangkala urutan peristiwanya tidak memiliki
kesinambungan yang jelas dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya malahan kadang
kala tidak ada kaitannya sama sekali. Atau malahan cerita hanya diberikan dalam
bentuk yang lebih tidak jelas lagi. Hanya dengan kesan saja, cerita dirasakan
sudah cukup mewakili cerita apa yang diberikan oleh para kreator film.
Pada film
Jelangkung sangatlah jelas menggunakan pola naratif, karena dari awal hingga
berakhir, semua peristiwa yang ada memiliki pola hubungan yang jelas.
Keterkaitan peristiwa dari yang satu ke yang lainnya merupakan kesinambungan
cerita, yang diurutkan dari awal hingga akhir. Sehingga peristiwa-peristiwa ini
memiliki atau mengandung unsur klausal logika yang sangat jelas. Sebab-musabab
cerita yang digerakkan oleh tokoh yang berujung kedalam sebuah konteks
penyelesaian cerita, relevansinya sangatlah dekat dengan realita yang ada.
Sehingga memudahkan penonton untuk mengikutinya.
Karena faktor
cerita yang mengandung hal tersebut diatas, maka cerita film Jelangkung ini
dapat dikatakan sebagai film cerita naratif. Bagaimana pola naratif itu bekerja
dapat kita lihat dibawah ini.
Pada pembukaan
film yang diawali dengan menghadirkan kisah bagaimana proses ritual yang
dilakukan oleh para penduduk Desa Angker Batu terhadap seorang anak yang
dianggap membawa petaka bagi desa tersebut, menjadikan hal itu sebagai sebuah
ungkapan sebab-musabab cerita film tersebut. Dikisahkan hal ini terjadi
beberapa waktu sebelum cerita yang sesungguhnya, yang ingin dihadirkan didalam
film terjadi. Untuk menghadirkan peristiwa ini dalam film tersebut menghabiskan
waktu 9 menit kurang. Setelah itu cerita pun bergulir masuk dalam peristiwa
yang sesungguhnya.
Dimana terdapat
empat orang anak muda pencari mahluk gaib, yaitu Ferdi, Gita, Gembol dan Soni
yang sedang melakukan aksinya disebuah rumah tua dan kosong. Yang dalam hal
ini, mereka melakukan aksinya karena adanya informasi mengenai tempat yang
mereka kunjungi itu diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai tempat
bersemayamnya mahluk gaib tersebut. Artinya peristiwa yang dialami oleh keempat
anak muda ini adalah peristiwa beberapa tahun selanjutnya dari peristiwa
pembukaan film Jelangkung diatas tadi.
Dengan segera
menghadirkan keempat anak muda tersebut, maka disini sangatlah jelas
bahwasannya hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh utama yang
nantinya sebagai obyek yang digerakkan untuk membentuk dan mengarahkan cerita.
Dimana Ferdi
menjadi rider dalam misi tersebut. Ia terlihat begitu pintar dan berwibawa.
Gita menjadikan perwakilan seorang wanita yang sangat umum karakternya.
Mencintai Ferdi sehingga selalu ikut kemana pun sang kekasih pergi. Gembol
sebuah karakter punakawan dengan fisiknya yang gendut serta banyak makan.
Sedangkan Soni dihadirkan sebagai karakter yang mengidam-idamkan militer, sosok
yang kuat, tangguh dan pemberani. Malahan beberapa tokoh lain pun juga turut di
introduksi, seperti tokoh Zulfikar, teman satu kampus dari Ferdi yang merupakan
tokoh yang berpikiran logis, artinya disini tokoh ini berdiri sebagai refleksi
dari pandangan-pandangan yang umum mengenai dunia mahluk gaib.
Setelah karakter
utama pada film dikenalkan, lalu cerita bergulir kearah persoalan besar dalam
film ini, yang harus diselesaikan oleh para tokohnya. Yaitu mereka berangkat ke
Desa Angker Batu untuk benar-benar menjumpai mahluk gaib, karena desa tersebut
terkenal angker dan menyeramkan.
Peristiwa diatas
mengambil waktu 18 menit dari keseluruhan cerita pada film Jelangkung, sehingga
disini dapat diketahui masalah apa yang dihadapi oleh para tokoh film tersebut
dan juga seberapa jauh mereka akan dapat menghadapi persoalan mereka sendiri.
Lalu cerita masuk
kedalam problem yang sebenarnya pada film, yaitu menemukan mahluk gaib untuk
misi mereka tersebut. Apakah benar-benar mahluk gaib itu ada disekitar manusia
atau tidak! Ini harus dibuktikan oleh mereka sendiri setelah mereka sampai di
Desa Angker Batu yang dikenal sangat menakutkan itu.
Kemudian cerita
berlanjut kedalam beberapa peristiwa yang terjadi di desa Angker Batu. Cerita
kemudian berkembang. Dengan menghadirkan informasi-informasi yang terus dijaga
untuk memberikan jawaban-jawaban besar dari persoalan dari tokoh utama yang ditampilkan
dalam film. Beberapa informasi ditampilkan cerita agar menuju kepada puncak
penyelesaiannya nanti, dari yang dihadirkannya sebuah papan tulis dengan
tulisan Dilarang Masuk, yang mengesankan bahwa daerah yang ditunjukkan oleh
papan tersebut sangatlah menakutkan dan angker. kemudian Sebuah rumah yang ada
di atas pohon, yang dikaitkan dengan foto para adventure, yang mengawali opini
tentang Desa Angker Batu. Lalu Kuburan yang hanya satu dari sekian luasnya
tanah di Desa Angker Batu serta adanya sebuah rumah tua dan kosong dalam Desa
tersebut. Walaupun dalam adegan sebelumnya dimunculkan juga, bagaimana seorang
nenek melarang mereka untuk berkunjung ke tempat tersebut.
Cerita pun terus
berlanjut. Mereka melakukan aksi untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang selama
ini dikenal oleh dengan mitos adanya seorang bocah yang telah meninggal hadir
dan menampakkan wujudnya yang menakutkan itupun menyelimuti benak mereka.
Awalnya saat di
malam hari mereka segera memeriksa keadaan Desa, lalu mereka menemukan sebuah
kuburan dan segera menunggui kuburan tersebut. Kemudian berlanjut kembali untuk
memeriksa keadaan sekitar daerah itu. Mereka pun menemukan sebuah rumah kosong
yang terdapat di tempat tersebut. Setelah mereka memeriksa rumah tua itu,
mereka pun kembali ke basecamp. Tidak lupa juga saat mereka kembali ke basecamp
ini diperlihatkan bagaimana Soni menyalakan kamera videonya yang dimaksudkan
untuk merekam peristiwa apa saja yang terjadi saat mereka semua tidur dan
beristirahat.
Kekecewaan
didapatkan oleh para anak muda pencari mahluk gaib ini. Mereka tidak
mendapatkan adanya mahluk gaib yang tinggal di tempat itu. Sehingga kejenuhan
dan keletihan menjadi konflik selanjutnya yang ditonjolkan oleh film ini. Gita
dan Gembol pun ingin segera pulang ke Jakarta. Namun berbeda dengan Ferdi dan
Soni, yang ingin tetap melanjutkan misi mereka sampai mereka mendapatkan
jawaban dari apa yang selama ini menjadi mitos di masyarakat tentang Desa
Angker Batu tersebut.
Pada akhirnya
disepakati bahwa mereka kembali ke Jakarta. Namun sebelum mereka kembali ke
Jakarta, Soni melakukan permainan jelangkung tepat di atas kuburan yang ada di
tempat itu. Hal ini membuat Ferdi, Gita dan Gembol sedikit marah terhadap Soni.
Apalagi Soni melakukannya tanpa sepengetahuan mereka bertiga. Walaupun demikian
adanya, mereka semua tetap kembali ke Jakarta.
Sekembalinya
mereka dari Desa Angker batu, beberapa peristiwa aneh pun mereka rasakan.
Mereka didatangi mahluk gaib, yaitu seorang anak laki-laki yang pada scene awal
terlihat sebagai anak yang dibunuh oleh para penduduk desa. Gembol yang sedang
makan merasakan keanehan-keanehan. Dari alat makannya yang jatuh sampai sendok
yang bergeser dari tempatnya. Gita yang sedang berenang. Tiba-tiba saja dari
dalam air ia melihat seorang anak laki-laki sedang berdiri tegap menatapnya.
Segera saja Gita pun muncul dari dalam air, dan ternyata di seputar kolam
renang tidak menemukan siapapun juga. Lalu Ferdi yang merasa aneh dengan
keterangan ibunya bahwa ada anak kecil yang ingin berjumpa dengannya, dan diketahui
pula dari cerita ibunya tersebut anak kecil itu tiba-tiba saja hilang saat sang
ibu ingin menjumpainya kembali setelah ibu Ferdi masuk sebentar kedalam rumah.
Sedangkan Soni merasa aneh karena ia tidak bisa memutar hasil rekamannya saat berada di Angker
Batu. Padahal video player miliknya tidak rusak. Tetapi peristiwa-peristiwa gaib yang dialami oleh para
tokoh itu, tidaklah menyurutkan semangat mereka untuk tetap menjalankan misi.
Hal itu digambarkan dengan berlanjutnya cerita saat mereka pun akhirnya kembali
melakukan misi mereka. Yaitu mendatangi sebuah rumah sakit yang lama sudah
tidak beroperasi lagi. Mereka ke rumah sakit ini karena adanya informasi bahwa
di tempat tersebut dikenal sebuah mitos yang berkemang di masyarakat adanya
seorang suster yang berjalan ngesot saat malam hari tiba.
Benar saja opini
masyarakat itu terbukti. Ketika mereka berada di rumah sakit ini, mereka
mengalami hal-hal yang menakutkan yang terjadi pada mereka sendiri. Bagaimana
keempat sahabat ini akhirnya mengalami perjumpaan dengan mahluk gaib. Namun
bukan hanya Suster Ngesot saja yang muncul, tetapi juga bocah kecil yang seram
dan menakutkan juga
muncul disini. Bocah dari Desa Angker Batu ternyata mengikuti kemana pun mereka
pergi.
Gita ditemui oleh
Suster Ngesot. Ferdi berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang ternyata bocah
Desa Angker batu yang menatapnya dengan begitu menakutkan. Begitu pula dengan
Soni. Ia melihat bocah mahluk gaib Angker batu yang menempel di dinding atas
salah satu ruangan rumah sakit. Sedangkan Gembol hanya mendengar suara-suara
yang begitu menakutkan.
Setelah kejadian
itu, ternyata sekembalinya mereka di rumah, mahluk-mahluk gaib itupun terus
menggoda mereka. Mereka tidak hilang begitu saja. Dirumahnya Gita mengalami
perasaan yang takut yang amat sangat. Apalagi boneka-boneka miliknya tiba-tiba
saja salah satunya berubah menjadi boneka yang menakutkan. Ferdi lain lagi. Ia
melihat mahluk gaib yang menyerupai adiknya. Begitu ia mengetahui bahwa mahluk
gaib yang didekatnya bukan adiknya, betapa takut dirinya. Lalu Gembol yang
didatangi mahluk gaib saat ia berada di dalam mobil seorang diri. Sedangkan
Soni diperlihatkan ia melihat video yang menyala dan berputar sendiri. Sehingga
Soni melihat bagaimana kamera miliknya merekam mereka berempat saat mereka
tidur. Padahal diketahui bahwa tidak ada orang selain mereka semua.
Akhirnya mereka
pun datang ke orang “pintar” untuk dapat menolong mereka. Jawaban orang
tersebut pun sangat tidak diinginkan mereka, yaitu mencabut boneka Jelangkung
yang ditancapkan di kuburan oleh Soni. Akhirnya mereka pun segera menuju ke
Desa Angker batu kembali.
Dengan demikian
sangat terlihat pula disini, cerita berkembang, dari awalnya memperkenalkan
tokoh dan problem mereka tidak menjumpai mahluk gaib, sekarang beranjak pada
kemunculan para mahluk gaib disekitar mereka. Bagaimana keempat tokoh yang ada
didalam cerita, benar-benar mengalami peristiwa yang menakutkan. seperti apa
yang telah diketahui oleh masyarakat umum, bahwa mahluk gaib itu ada di tempat
yang memang benar-benar diketahui sebagai tempat angker dan seram.
Dari hal diatas
maka cerita jadi menunjukkan bagaimana para tokoh ini melepaskan
ketakutan-ketakutan yang mereka alami dan juga menghilangkan mahluk gaib yang
sepertinya selalu menguntit kemanapun mereka pergi. Karakter pun terlihat
menjadi begitu kompleks sampai peristiwa ini diberikan, tetapi tetap saja
dengan sedikit demi sedikit jawaban diberikan yang pada sebelumnya masih
samar-samar diperlihatkan, kini mulai terbuka.
Ketegangan-ketegangan
dengan ide-ide segar, intrik-intrik yang kian tajam dan mengintensifkan
perasaan seperti sebelumnya diketahui, benar-benar diperlihatkan dalam film ini
dan juga selama tindakan kedua ini karakter utama menghadapi rintangan lalu
rintangan lagi kemudian rintangan kembali untuk seterusnya dia sampai pada
dramatik yang diperlukan.
Pada akhirnya
cerita pun terlihat mereka berempat kembali ke Desa Angker Batu untuk
menuntaskan mencabut boneka Jelangkung yang tertancap di kuburan. Disini
dihadirkan bagaimana pada akhirnya mereka semua mendapatkan hukuman dari mahluk
gaib Desa Angker Batu tersebut. Dengan cara yang berbeda-beda mereka akhirnya
menemui ajalnya masing-masing. Sehingga masalah yang dihadirkan dalam film
sepanjang kurang lebih 90 menit ini tidak dapat menuntaskan apa yang menjadi
misi dari para tokoh cerita film Jelangkung ini.
Tujuan tokoh di film Jelangkung
sebenarnya telah
diinformasikan dalam Flashes pembunuhan seorang anak yang dianggap membawa malapetaka di
Desa Angker Batu, yang
menjelma menjadi mahluk gaib seorang bocah setelah pembunuhan dilakukan
oleh para penduduk Desa Angker Batu.
Kemudian
berlanjut kepada peristiwa selanjutnya, setelah hal ini dapat kita maksudkan
sebagai babak I didalam film, maka peristiwa-peristiwa setelah itu lebih kepada
pengembangan cerita. Ini juga sesuai dengan apa yang telah diungkapkan dalam
Bab I sebelumnya. Bagaimana setelah babak I pada cerita, maka cerita
selanjutnya memasuki babak II dalam film. Begitupula yang terjadi pada kedua
film Indonesia ini. Cerita pun memasuki babak II atau konfrontasi.
Banyak sekali
peristiwa-peristiwa yang sedikit demi sedikit memberikan informasi untuk
membuka apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam cerita. Seperti halnya
pada kedua film tersebut. Pada babak awal atau babak pertama atau babak
beginning dalam film Jelangkung diperlihatkan bagaimana Ferdi, Gita, Gembol dan
Soni mencoba untuk membuktikan kebenaran mitos yang berkembang di masyarakat
tentang misteri sebuah tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal para mahluk
gaib. Itu yang tergambarkan dalam film.
Ketika memasuki
cerita selanjutnya dengan menampilkan peristiwa-peristiwa semacam berangkatnya
mereka menuju Desa Angker Batu, lalu aksi mereka saat berada di Desa Angker
Batu, setelah mereka pulang dari Desa Angker Batu sampai kejadian yang
didapatkan mereka di rumah sakit yang tidak digunakan dan terakhir mereka harus
kembali ke Desa Angker Batu, peristiwa-peristiwa ini merupakan perkembangan
dari cerita. Sehingga dari peristiwa satu ke peristiwa yang lainnya inilah yang
dimaksudkan memasuki babak konfrontasi yang dijelaskan oleh Syd Field dalam Bab
I sebelumnya. Yang kesemua peristiwanya menghabiskan waktu sekitar 50 menit
lebih.
Setelah itu cerita yang terdapat
dalam film Jelangkung menampilkan peristiwa yang menjurus pada penyelesaian.
Bagaimana dalam Jelangkung setelah Ferdi dan sahabatnya itu berada kembali di
Desa Angker Batu pada akhirnya mengalami nasib yang sangat tragis. Masalahpun
pada akhirnya terselesaikan. Walaupun terkesan ingin bermaksud menyembunyikan
atau open ending, tetapi hal itu sangat jelas tidak seperti itu. Dengan Ferdi
yang berhadapan dengan Bocah kecil yang selama ini dikenal sebagai mahluk gaib
penunggu Desa Angker Batu, yang kemudian tangan Bocah tersebut sepertinya
hendak menerjang Ferdi, lalu setelah itu gelap, sangat jelas pada sebelumnya
ditampilkan peristiwa yang dialami Gembol, Soni dan Gita adalah jawaban dari
peristiwa Ferdi dan Bocah kecil di ujung cerita tersebut.
- Upacara ritual pembunuhan Bocah di Desa Angker Batu
- Ferdi, Gita, Gembol, Soni serta Zulfikar diperkenalkan karaterisasinya
- Misi Ferdi dkk untuk menemukan mahluk gaib tidak diketemukan
- Misi ditujukan di luar daerah di Desa Angker Batu
- Keberangkatan menuju Desa Angker Batu
Babak II :
- Keempat sahabat tiba di Desa Angker Batu
- Aksi melakukan pencarian mahluk gaib di Desa Angker Batu dan sekitarnya
- Kebosanan dan kejenuhan menyelimuti Gita dan Gembol
- Soni menancapkan boneka Jelangkung disebuah kuburan
- Setibanya di Jakarta, Keempat sahabat diganggu oleh mahluk gaib yang berwujud seorang Bocah kecil
- Keempat sahabat menemukan mahluk gaib Suster Ngesot dan Bocah kecil di sebuah rumah sakit
- Penyesalan dan keinginan untuk melepaskan gangguan dari para mahluk gaib
- Kembali ke desa Angker Batu
Babak III :
- Keempat sahabat tidak menemukan kuburan dan boneka Jelangkung
- Menginap di Desa Angker Batu
- Penyelesaian yang tragis terhadap keempat sahabat oleh mahluk gaib berwujud Bocah Kecil
Kesimpulan
Meski ada kecenderungan adanya faktor dua
tahunan sebenarnya yang
bisa
saja menjadi landasan yang
mendasar dalam melihat film-film box office Indonesia, menginta film-film seperti Petualangan
Sherina (Produksi Tahun 1999), Ada Apa Dengan Cinta (Produksi Tahun 2001),
Kafir/Satanic (2002), Tusuk Jelangkung (Produksi Tahun 2002) di produksi dalam kurun
waktu 2 tahun, namun sebenarnya faktor
tersebut terjawab sudah dengan beredarnya Film Kafir/Satanic dan juga Tusuk
Jelangkung yang di produksi pada tahun 2002. memutuskan mitos faktor dua
tahunan tersebut. Karena dengan tahun 2002, artinya diketahui merupakan kurun
waktu satu tahun setelah di produksinya film Jelangkung. Yang kemudian setelah
film Kafir/Satanic dan Tusuk Jelangkung ini, muncul film Eiffel...I’m in Love.
Yang artinya juga berselang satu tahun. Apalagi Kafir/Satanic dan Tusuk
Jelangkung di produksi dalam tahun yang sama, sehingga faktor dua tahunan akan
melahirkan sebuah film box office cukup terjawab tidak benar.
Kemudian juga
dengan munculnya film Ada Apa Dengan Cinta yang di produksi dengan Rumah
Produksi yang sama dengan Petualangan Sherina, walaupun juga memliki kurun
waktu produksinya dua tahunan, telah memutuskan mitos yang lain lagi yaitu
Rumah Produksi yang telah memproduksi sebuah film box office ternyata juga
dapat mengulang kesuksesan yang sama. Sehingga sekali lagi mitos apabila ingin
memproduksi sebuah film agar mencapai box office tidaklah harus Rumah produksi yang berbeda juga
tidak memiliki kebenaran berdasarkan data yang ada.
Kemudian setelah
penjelasan Struktur Film-Film Indonesia yang kali ini terpusat pada film box
office, Jelangkung, sangat jelas bahwasannya mereka menggunakan naratif sebagai
cerita yang mereka hadirkan. Dengan mengusung klausal logika pada cerita yang
syarat dengan pola sebab-akibat tampak begitu jelas tergambarkan dalam film
tersebut.
Cerita dalam film
Jelangkung adalah mengkisahkan Ferdi dan kawan-kawannya yang melakukan misi
mencari kebenaran tentang mahluk gaib yang menjadi mitos masyarakat. Bagaimana plot
dalam film Jelangkung menghadirkan Ferdi dan kawan-kawan ternyata menemukan
kebenaran mitos yang ada di masyarakat dan mereka pada akhirnya merasakan
akibatnya akibat perbuatan mereka tersebut dengan mengalami peristiwa yang
menakutkan dan pada akhirnya mereka mengalami peristiwa yang sangat tragis.
Kemudian terlihat
ruang pada peristiwa yang digambarkan pada film Jelangkung memiliki tempat yang
jelas. Pada sebuah tempat di kota dan di desa serta setting pada tempat-tempat
yang dianggap angker dan menyeramkan.
Satu
hal lagi adanya penggambaran waktu yang jelas pada film Jelangkung yang
menampilkan periode sekarang disamping juga terlihat
korelasi waktu siang dan malam terhadap cerita yang terdapat pada film
tersebut.
Pembukaan film
yang diawali dengan metode sebab dan diakhiri oleh akibat, tentunya melengkapi
film tersebut jelas menggunakan cara bertutur naratif. Ini dapat dilihat
bagaimana upacara ritual pembunuhan bocah kecil di Desa Angker Batu. Kenapa pada
akhirnya Ferdi, Gita, Gembol dan Soni pada akhirnya menemukan jawaban tragis
dalam film Jelangkung merupakan penutup dari rangkaian sebab-akibat
penelusurannya dalam membuka tabir mitos mengenai mahluk gaib yang terdapat
pada masyarakat umum di negara ini. Mungkin saja gaya ini dimaksudkan untuk
memberikan kesan agar close dalam film mengarah pada struktur atau pola Art
Cinema Narration. Tetapi kejelasan peristiwa yang dialami oleh Gembol, Soni dan
Gita, dengan sendirinya memberikan jawaban peristiwa apa yang menimpa Ferdi.
Begitu pula pada
struktur atau pola dalam film tersebut. Film itu menggunakan struktur atau pola tiga babak yang
selama ini menjadi mode representasi film-film didunia, terutama film-film
produksi Hollywood. Sesuai dengan beberapa film Hollywood. Pengungkapannya sudah sangat
tergambarkan bagaimana struktur atau pola tiga babak itu bekerja dengan
menghadirkan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan.
Sebenarnya hal
itu dapatlah kita maklumi bila dikaitkan dengan cerita-cerita rakyat dimiliki
negeri ini. Bagaimana Malin Kundang ataupun Tangkuban Perahu serta beberapa
cerita daerah ataupun hikayat lainnya, menampilkan pola naratif dalam kemasan
bertuturnya. Sehingga pola naratif pun menjadi sangat dikenal dan dimengerti
oleh masyarakat.
Sehingga
sangatlah wajar bila kita mengasumsikan bahwa ketidak-beranian ataupun sangat
berisiko bila para kreator film menggunakan metode lain, selain struktur tiga
babak dalam kemasan cerita yang ada pada filmnya.
Pada perkembangan sekarang
ini, sebenarnya ada metode nine-act
structure
yang menjadi struktur alternatif dalam bercerita pada film, namun hal tersebut
tidak digunakan oleh film-film box office Indoinesia.
DAFTAR PUSTAKA
Biran, Misbach
Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka Jaya; 2006.
Boardwell, David and Kristin Thompson;
Film Art, An Intoduction, second edition, McGraw-Hill International Editions;
1989.
Bordwell, David and Kristin
Thompson; Film Art, An Introduction, seventh edition, McGraw-Hill International
Editions; 2004.
Cobley, Paul, Narrative,
Routledge is an imprint of The Taylor & Francis Group, 2001.
Field, Syd; Screenplay The
Foundations of Screenwriting, Third Editions, A Dell Trade Paperback; 1994.
[1] Bordwell,
David and Kristin Thompson; Film Art, An Introduction, seventh edition,
McGraw-Hill International Editions; 2004.
[2] Bordwell,
David and Kristin Thompson; Film Art, An Introduction, seventh edition,
McGraw-Hill International Editions; 2004.
[3] Boardwell, David
and Kristin Thompson; Film Art, An Intoduction, second edition, McGraw-Hill
International Editions; 1989.
[4] Boardwell, David
and Kristin Thompson; Film Art, An Intoduction, second edition, McGraw-Hill
International Editions; 1989.
[5] Cobley,
Paul, Narrative, Routledge is an imprint of The Taylor & Francis Group,
2001.
[6] Field,
Syd; Screenplay The Foundations of Screenwriting, Third Editions, A Dell Trade
Paperback; 1994.
[7] Biran, Misbach Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka
Jaya; 2006.
[8] Biran, Misbach Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka
Jaya; 2006.
[9] Biran, Misbach Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka
Jaya; 2006.
[10] http://www.21cineplex.com/theater.cfm
Komentar
Posting Komentar