1. Penonton
melihat ilusi gerakan dari orang-orangan yang berputar pada disc
phenakistoscope.
|
Pemahaman terhadap film menjadi hal yang begitu
kompleks, mengingat beberapa pandangan dari sudut pandang yang berbeda dapat
menjadikan film sebagai ulasan yang menarik dan cukup seksi, sebelum pada
akhirnya film dijelaskan secara utuh. Ada beberapa syarat atau pertimbangan
yang menjadi hal utama sebelum terciptanya cinematographe,
yakni kamera film yang berkemampuan merekam sekaligus juga memproyeksikan
gambar milik Lumiere Bersaudara, yaitu: Pertama, adanya teori “persistence of vision” merupakan hal penting dalam
keberadaan film. Para ilmuwan menyadari bahwa teori tersebut menyatakan kalau mata
manusia
memiliki kelemahan dalam menangkap gerakan yang cepat.
|
Mata akan melihat sebuah gerakan jika serangkaian gambar yang terdiri atas beberapa gambar disertai perbedaan gerakan yang sedikit
antara gambar yang satu dengan gambar yang lainnya, yang ditempatkan secara berurutan, kemudian gambar-gambar tersebut digerakkan dengan cepat
secara simultan –standar awal yang ditetapkan dunia, gerak
dari gambar minimal
dengan kecepatan sekitar enam belas gambar perdetiknya– mata pun akan
menangkapnya sebagai gambar yang bergerak. Hal tersebut menyebabkan sepanjang
abad kesembilan belas inilah, para ilmuwan secara
terus-menerus mengeksplorasi terhadap kelemahan mata tersebut untuk mendapatkan
sebuah properti –peralatan– khusus.[1]
|
2. Zoetrope yang berputar memberikan
kesan gerakan pada orang-orangan.
Beberapa properti mainan
optikpun muncul yang didasari persistence of vision dan menjadi bisnis
hiburan yang diperjual-belikan. Permainan optik yang memberikan ilusi
gerakan dengan menggunakan orang-orangan ataupun sejumlah kecil
beberapa gambar yang disusun secara berurutan, dengan masing-masing
gambarnya hanya diubah sedikit bentuknya –gerakannya.
|
|
Syarat yang kedua adalah kemampuan properti/peralatan lain yang dapat
memproyeksikan serangkaian gambar dengan cepat pada permukaan sebuah bidang.[2] Sejak abad ke-17, para penghibur ataupun para pendidik –terutama di
Eropa dan Amerika- telah menggunakan "magic
lantern",
yakni sebuah alat kecil yang memiliki cerobong kecil dan
menggunakan lilin atau lampu minyak sebagai cahaya (gambar 1.6). Alat ini bekerja
seperti slide proyektor yang mampu memproyeksikan gambar yang
seolah-olah dapat bergerak. Alat ini mulai diperkenalkan untuk umum sekitar
tahun 1644-1645 dan digunakan sebagai instrumen untuk hiburan. Hingga
sampai akhir abad 19, magic lantern
bisa ditemukan dimana-mana, di rumah, di sekolah
dan berbagai area publik. Alat ini menjadi bagian dari kehidupan sosial
masyarakat saat itu seperti layaknya bioskop sekarang. Magic lantern juga dibuat
untuk mainan anak-anak, hanya ukurannya dibuat lebih besar dengan menggunakan
dua bahkan tiga lensa sekaligus. Gambar yang diproyeksikan ke layar lebih
besar bahkan sebesar ukuran layar bioskop sekarang dengan gambar-gambar
berwarna yang digambar dengan tangan.
|
3. Tahun 1640, Athanasius Kircher menemukan
Magic Lantern sebuah proyektor sederhana.
|
|
Syarat ketiga adalah properti yang memiliki
kemampuan fotografis untuk
membuat gambar secara berturut-turut pada materi yang dihasilkannya dengan/atau bahan baku tertentu dengan jelas. Waktu yang
diperlukanpun –sebagai bukaan cahaya dalam fotografis- harus cukup pendek untuk
mengambil enam belas frame atau lebih dalam satu detik, seperti yang telah dijelaskan pada syarat pertama. Mekanik yang menghasilkan teknik-teknik tersebut muncul secara perlahan-lahan,
dengan bertahap dan berevolusi.[3]
Diawali oleh foto yang untuk pertama
kalinya dilakukan pada piring kaca pada tahun 1826 oleh Claude Niepce (gambar 1.8), namun proses yang
terjadi masih memerlukan waktu pemaparan selama delapan jam, maka selama
bertahun-tahun, foto dibuat pada kaca atau logam, sehingga
hanya memungkinkan memiliki satu salinan dari setiap
gambarnya,
dan tiap-tiap eksposur mengambil beberapa
menit pada masing-masing gambarnya. Pada tahun 1839, Henry Fox Talbot memperkenalkan –film- negatif yang
dibuat di atas kertas.
|
4. Foto pertama Niepce berupa
atap rumah.
|
Namun dalam waktu yang sama, dengan cepat pula berkembang dimana dalam mencetak gambar dapat
dilakukan pada slide lentera kaca terjadi seperti halnya karya foto pada slide lentera kaca seperti
yang telah mereka lakukan sebelumnya, dan tidak sampai tahun
1878, gambar
yang layak diperlihatkan sudah mampu dibuat dalam waktu hanya dengan sepersekian detik saja.
Syarat yang keempat adalah film mengharuskan bahwa foto dicetak pada bahan baku yang dasarnya cukup fleksibel agar mampu
melewati gerakan mekanik dalam proses perekaman ataupun penayangan gambar yang
dilakukan secara mekanis yang terdapat didalam kamera dengan cepat. Sebenarnya
strip atau cakram yang ada pada kaca dapat digunakan, tetapi hanya serangkaian gambar pendek saja yang dapat
dilakukan dalam proses mekanis tersebut.[4]
Sedangkan pada tahun 1888, George Eastman Kodak merancang kamera stil yang membuat gulungan kertas foto yang sangat peka. Kamera ini, ia beri nama Kodak,
merupakan fotografi yang disederhanakan, sehingga
seorang amatir yang tidak terampil sekalipun dapat mengambil gambar. Tahun
berikutnya Eastman memperkenalkan rol film seluloid transparan, dan menciptakan trobosan
dalam pergerakan menuju era film yang sesungguhnya. Gulungan –rol- film ini
sebenarnya dimaksudkan untuk kamera
yang mengambil gambar diam saja -still, bukan gambar yang bergerak. Namun pada era
tersebut ternyata penemu lainnya juga menggunakan bahan yang
fleksibel Eastman ini dalam merancang mesin untuk dapat merekam dan memproyeksikan gambar bergerak (hal ini
terjadi setahun sebelum saham dari bahan baku ini meningkat cukup tajam).
Syarat kelima adalah diperlukannya mekanisme
intermitten yang cocok yang harus ada didalam kamera dan proyektor, yaitu
mekanisme berupa gigi dengan slot disekitar tepinya. Karena didalam kamera,
gulungan film yang memiliki lubang-lubang dengan ukuran dan jarak yang sama,
yang lubangnya berada ditepi bingkai memang sengaja dibuat, agar secara
teknisnya dapat ditarik dan dibentangkan dalam proses mekanisme yang dilakukan,
dan pada saat gulungan film terbentang dan tepat berada diwilayah shutter,
untuk beberapa sesaat lamanya, sepersekian detik saja –sekarang dapat juga
dalam hitungan detik, haruslah berhenti agar sinar cahaya yang masuk melalui
lensa dapat membakarnya dan membentuk gambar pada setiap bingkai –frame-
filmnya. Setelah itu, Shutter tertutup, pembakaran pun berhenti, bingkai
yang terbakar tersebut ditarik secara mekanis, frame pun bergeser, berganti
tempat dan digantikan frame yang lainnya yang belum terbakar, kemudian proses
pembakaran dimulai kembali.[5] Begitu seterusnya. Demikian pula yang dilakukan pada proyektor.
Mekanismenya disetiap frame berhenti untuk sesaat berada di wilayah aperture.
Sementara seberkas cahaya menyinarinya untuk memproyeksikan gambar ke layar.
Bersamaan dengan itu penyinaran dibelakang lensa pun berlalu, dan strip pada
lubang film ditekan dan kemudian tertarik untuk menggeser bingkai. Setidaknya
dalam hitungan diawal-awal film untuk menciptakan gerakan pada gambar, sekitar
enam belas frame harus bergeser ke tempat aperture dan berhenti sesaat,
lalu bergeser kembali dan berlalu dalam setiap detiknya.
Proses mekanik intermitten ini
merupakan hasil mekanisme dari penemuan dibidang lainnya pada abad yang sama,
yaitu mesin jahit di tahun 1846. Mekanik secara canggih mengatur kain untuk
beberapa kali per detiknya bergerak dengan cepat, sementara itu tiap kali
berhenti jarum akan menusuknya. Sebenarnya hal tersebut bukanlah hal yang
terlalu rumit, hingga memakan waktu yang cukup lama, mengingat pada
tahun 1890, bila diperhatikan lebih jauh lagi, semua kondisi teknis yang
diperlukan untuk mekanisme film telah tersedia. Sehingga persoalannya hanyalah
tinggal menunggu waktu saja seseorang –penemu- dapat membawa unsur-unsur yang
diperlukan, kemudian dipersatukan dan dengan cara atau metode tertentu, yang
kemudian dapat dimanfaatkannya dalam upayanya menghasilkan gambar bergerak,
sehingga hasilnya dapat diterima secara luas!
Jelaslah bahwa keberadaan film tidak terlepas dari perkembangan teknologi
untuk dapat menghasilkan gambar bergerak –motion picture. Mengapa?
Karena dengan kemampuan teknologi kamera –yakni sebuah kamar yang kedap cahaya–
yang dapat bergerak menjalankan setiap frame film dengan ketentuan minimal 16
frame perdetik dalam merekam gambar tertentu, maka film sangatlah bergantung
pada teknologi –peralatan kamera–, disamping juga adanya kemampuan seluloid
sebagai materi film negatif dalam menyimpan gambar. Kamera memproses bagaimana
gambar yang terekam tersimpan pada setiap frame dalam seluloid.
Untuk dapat digunakan sebagai tayangan, maka dilakukan proses kimiawi di
lab pada film exposed untuk menjadi film positif (lihat gambar 1.13, 1.14, 1.15,
1.16 dan 1.17). Film positif inilah yang nantinya diproyeksikan oleh proyektor
ke layar dan dapat disaksikan oleh penonton. Rangkaian frame yang disaksikan
melalui mata penonton tersebut, sekaligus membentuk ilusi terhadap imaji
penonton. Ilusi dari imaji penonton ini dimunculkan atas kesadaran penonton karena
adanya stimulus –rangsangan– yang dilakukan oleh gerak mekanik dari peralatan
film. Pada proses selanjutnya, ilusi imaji diasumsikan pada pengalaman yang
mirip pada kehidupan penonton, membentuk rasa emosi pada penonton, dengan
sendirinya penonton pun terlibat secara emosional pada film. Persoalan didalam
film, menjadi persoalan penonton, dan masalah di film menjadi hal yang tidak
asing bagi penonton. Begitulah bagaimana cara kerja film membangun emosi
penonton, yang sangat bergantung pada teknologi peralatan film –kamera, printer
dan proyektor.
Jelas bahwa film membutuhkan peralatan dan teknologi! Tanpa mesin, film tidak akan pernah
ada! Melalui peralatan dan teknologi pula film mampu untuk diperbanyak dan
diedarkan agar sampai ke penontonnya disetiap wilayah. Sehingga film bukanlah diciptakan,
melainkan film diproduksi!
Komentar
Posting Komentar