Film Bersuara Pertama kali di dunia yang dikeluarkan oleh Warner Bross
(gambar IMDb)
Orang bekerja
keras untuk upah yang minim, seringkali juga diiringi
dengan kondisi pemutusan dan pemogokkan
kerja serta
tindakan kriminal dalam mengelola
bisnis yang besar adalah hal yang normal. Sebuah harga tiket untuk sebuah
impian kehidupan, setidaknya untuk beberapa jam. Film sebagai pelarian diri atas keinginan orang-orang dengan apa yang dipertunjukkan di film
yakni keglamoran, petualangan, sekilas
tentang dunia lain dan, pada saat yang sama, berupa nilai terhadap pendapat mereka sendiri. Studio menyediakan sebuah kisah penuh moralitas yang kuat
dengan etika kaum pinggiran, merupakan hal yang
didefinisikan di film, sedikit menambahkannya dengan sub
plot kebijaksanaan
atau humor. Biasanya dimainkan oleh aktor berkarakter yang sedang populer, dan untuk sebagian besar, merupakan
sebuah dongeng musim semi sebagai energi
membangkitkan semangat penonton agar kembali segar untuk bekerja esok harinya.
Sebelum
munculnya suara di tahun 1920-an, ada lubang
dibawah layar untuk menempatkan piano
atau organ memandu lampu-lampu yang berpudar, dan
segera suasana menjadi gelap. Kemudian alunan musik ditingkatkan untuk memberikan
tekanan pada suasana hati dan juga untuk aksi dilayar yang dianggap sangat
penting, lalu menjadi sempurna saat kaleng besar
dari sebuah stok film diproyeksikan ke layar. Bioskop-bioskop yang ada bersaing dibeberapa kota untuk mendapatkan penontonnya.
Untuk pertama
kalinya suara secara sinkron hadir di tahun 1927, ketika Warner Bros merilis film The Jazz Singer yang sangat sukses. Tetapi proses menciptakan dan penyebarluasan teknologi suara terjadi secara
berbeda-beda di setiap negara karena melibatkan banyak sistem, metode dan
juga persaingan akan hak paten.
Pada tahun 1933, Alfred Hitchcock menyatakan pendapatnya tentang perbedaan antara iringan musik saat era film bisu dan skoring musik dalam film bersuara: "Saya sangat tertarik dengan musik dan film di
hari-hari yang sunyi, dan saya selalu percaya bahwa kedatangan suara telah membuka segalanya. Peluang baru. Musik yang menyertainya akhirnya berada sepenuhnya di bawah kendali
orang-orang yang membuat gambar".[1] Sekarang suara dan gambar dapat dikombinasikan dengan cara yang
lebih mudah untuk diprediksi saat produksi film.
Tanggal 6 Oktober 1927, The Jazz Singer dari Alan
Crosland ditampilkan untuk pertama
kalinya. Dalam kesempatan sebatas empat adegan saja, bintang vaudeville, yakni Al Jolson pun bernyanyi, bahkan ia juga berbicara dengan singkat "Kamu belum mendengar apa-apa".[2] Keberhasilan yang sangat fenomenal yang didapat dalam film, dan menunjukkan bahwa secara ekonomi suara dalam film
tersebut akan menurunkan biaya produksi film, karena tidak lagi harus menyediakan pertunjukan
panggung musik untuk mengisi suara pada film. Warner Bros pun membuat lebih banyak bagian-bagian “talkies” di film-film selanjutnya, dan pada tahun 1928 film “talkies” pertama di dunia pun dihadikan dengan judul The Lights of New York dengan sutradara Bryan Foy, yang langsung melejit dan menjadi hit.
Studio dan perusahaan film lainnya pun mengikuti jejak
langkah yang telah dilakukan oleh Warners. Ketika Western Electric mengembangkan sistem sound-on-disc-nya, Theodore Case dan Earl
Sponable, menciptakan sistem film sound-on,
yang sebagian sistemnya didasarkan pada Phonofilm DeForest. Sedangkan Fox Film Corporation berinvestasi pada sistem Case-Sponable. Seperti halnya Warners Bross, Fox adalah perusahaan kecil yang sedang berkembang dan berharap bahwa suara akan memberikan kelebihan bagi mereka didalam persaingan film. Fox
mengganti nama sistem Case-Sponable dengan Movietone dan memeragakannya pada tahun
1927 dengan film pendek musik
vaudeville. Pertunjukkan itu sukses, tetapi Fox
segera menemukan bahwa sebagian besar talenta teatrikal ternama telah
menandatangani kontrak dengan Warner Bros.
Fox kemudian berkonsentrasi untuk merilis suara baru, termasuk liputan yang sangat populer tentang
penerbangan solo dari Charles Lind Bergh ke Paris. Penggunaan lain dari Movietone termasuk skor musik untuk FW Murnau 1927 yang berjudul Sunrise dengan
beberapa bagiannya bersuara di
tahun 1928.
Film bersuara sangat cepat mengalahkan film bisu,
disertai berakhirnya karir dari beberapa bintang film bisu yang paling terkenal, karena suara sang bintang film yang terdengar
cempreng atau lucu dan sebagainya, sehingga dirasa suaranya tidak bagus atau tidak sesuai dengan film yang
diinginkan. Di Amerika, kendala para sang bintang juga karena kurang mahir
mereka berbahasa Inggris-Amerika karena bintang-bintang yang
bermasalah dengan hal itu, adalah mereka yang rata-rata berasal dari Eropa. Disamping juga harus terbiasa melakukan acting atau
sandiwara yang harus terikat dengan keberadaan perekam suara di set. Para
bintang tidak boleh bergerak jauh dari perekam suara yang telah ditempatkan.
Sedangkan di studio, mereka harus menciptakan
dan menyiapkan alat perekam saat produksi dilakukan. Para pekerja film pun
mengalami kesulitan untuk melakukan pergerakan kamera saat merekam gambar
karena saat kamera bergerak mengeluarkan suara yang cukup brisik, dan persoalan
lainnya, seperti penyesuaian komposisi dan lain-lain. Disamping itu juga,
bioskop untuk menayangkan film bersuara harus menambahkan teknologi suara agar
dapat memutar film. Mereka harus menyesuaikan teknologi suara didalam bioskop.
Kehadiran suara di film telah menimbulkan kegaduhan yang cukup beralasan. Satu
hal yang menjadi catatan penting bahwa tahun 1927 dianggap sebagai akhir dari
gerakan Avant Garde pertama Eropa
yang dimulai dari tahun 1918.
[1] Bordwell, Kristin
Thompson and David. “Film History an
Introduction”, 2nd ed (9:193). McGraw-Higher Education New York,
2003.
[2] Bordwell, Kristin
Thompson and David. “Film History an
Introduction”, 2nd ed (9:194). McGraw-Higher Education New York,
2003.
Komentar
Posting Komentar