Gambar: capture Movie Begins by Film Preservation
Associates and The British Film Institute
Nama Brighton
School adalah hal yang hampir dilupakan sejarawan film, karena sampai pada
dekade tahun 70-an, Brighton School
tidak dikenal dan tidak juga diperkenalkan di dunia perfilman. Saling klaim dan
saling terlihat superior ataupun hegemoni dalam pengetahuan teknologi, ekonomi
dan budaya, menyebabkan salah satu penyebab tidak disinggungnya keberadaan dari
Brighton School ini dalam sejarah
film dunia. Padahal keberadaan film sekarang, tidak terlepas dari apa yang
telah mereka lakukan sebelumnya. Teknik-teknik dalam memanfaatkan keberadaan
kamera dalam periode permulaan film, banyak dilakukan. Bahkan tidak hanya itu,
cerita naratif pun sudah mulai dibangun setelah Lumière Brothers menghadirkan Le Cinématographe. Hanya saja pemanfaatan akan teknik kamera dan cerita tersebut masih
dianggap sebagai sebuah sensasi, bukan sebuah pencapaian dari bahasa film.
Mengambil nama Brighton
yang merupakan sebuah wilayah di Inggris, serta kata “school” yang berarti kumpulan, yang mereka semua adalah gabungan
para fotografer, dengan George Albert Smith dan James
Williamson
sebagai ketuanya. Gerakan Brighton School
ini dimulai saat mereka melakukan eksperimen dan temuan-temuan melalui alat
baru yang diciptakan oleh Friese Green
yakni chronophotographic yang dapat merekam 10 gambar per detik (frame per second) yang kemudian
dijualnya kepada Thomas Alva Edison. Beberapa diantara mereka
yang mempengaruhi film dunia seperti Birt Acrees, Robert
William Paul, James Williamson, George Albert Smith dan
Cecil Hepworth.
Permulaan film di Inggris sudah membuat film-film
berita yang direkam lebih dari satu syut, yang biasanya berupa perayaan tahunan
yang ada di Inggris seperti parade dari Ulang Tahun Ratu Victoria Jubilee di tahun 1897, dan perekaman hanya ditujukan
pada highlights dari peristiwa. Film
keluaran Inggris sangat terkenal dengan eksperimen atas kecerdikan mereka
memanfaatkan kamera untuk merekam peristiwanya, namun masih sebatas sebuah
sensasi. Adegan yang sangat umum diperlihatkan adalah perjalanan kereta api, adegan di jalanan –traveling, adegan kejar-kejaran –chasing scene,
dan sebagainya.
Birt Acrees
Pada Maret tahun 1895, Acrees sudah memiliki kamera yang sudag berfungsi berdasarkan
temuan Marey yang menganalisa gerak.
Ia membuat Rough Sea at Dover di
tahun yang sama. Menariknya ia membuat dua shot
dalam film pertamanya ini, dimana shot
pertamanya memperlihatkan gelombang besar menghantam tembok dermaga, dan shot keduanya air yang cukup deras
sedang mengalir. Padahal film pertama di dunia milik Lumière
Brothers hanya menampilkan sekali shot saja.
Robert William Paul
Film aktualitas R.W. Paul sangat dikenal oleh masyarakat Inggris, seperti film Derby yang memperlihatkan pacuan kuda.
Secara teknik perekaman tidak berbeda jauh dengan film-film dari Lumière
Brothers, kamera diletakkan
tepat didepan figur yang akan direkam, layaknya menonton sebuah pertunjukkan
panggung. Namun yang cukup menarik, ia membuat trik bagaimana figur didalam
filmnya juga menonton film yang tayang di latar belakangnya, seperti dalam film
The Country Man and the Cinematograph
di tahun 1896. Hal yang menarik bahwa Méliès
mendapatkan kamera pertamanya dari Robert William Paul seperti
yang disinggung diatas sebelumnya.
James
Williamson
Film The Big Swallow dari James
Williamson
(1901) memberikan dampak bahwa tokoh yang ada di layar seperti memakan
sinematografer yang merekam dirinya, dimana tokoh marah dan berjalan mendekat
ke kamera close up wajahnya, bahkan extreme close up mulutnya. Lalu si tokoh
membuka mulutnya seakan-akan hendak menelan. Kemudian gambar berganti dengan
kamera dan si kameraman masuk kedalam mulut si tokoh dengan latarbelakang
hitam. Setelah itu gambar memperlihatkan kembali mulut si tokoh dan close up wajahnya yang sedang mengunyah
kamera dan kameraman. Sebuah trik yang untuk mendapatkan dampak dramatik bagi
penonton. Tidak ada maksud trik dilakukan untuk memenuhi sebuah kebutuhan
cerita pada filmnya.
Sedangkan
dalam film Boat Race in Hanley tahun
1889 dan Fire! di tahun 1901, Williamson memperlihatkan bagaimana ia
sudah menyusun peristiwa satu disambungkan dengan peristiwa berikutnya, yang beberapa
orang beranggapan sebagai teknik montage
meski masih secara sederhana, tapi juga disebutkan oleh beberapa orang lainnya
susunan itu dikenal dengan film montage.
Bahkan di Film Fire! ini Williamson hanya memperlihatkan 3
peristiwa saja, tapi peristiwanya sudah tersusun dengan baik dan mudah diterima
penonton. Urutan shot film Fire! sebagai berikut: Shot pertama dibuka dengan rumah
tingkat yang terbakar; depan kantor pemadam –disini ada
beberapa shot tapi peristiwanya
berkelanjutan persiapan pemadam berangkat; lalu didalam rumah yang
terbakar ada seorang yang bangun dari tidurnya, petugas pemadam masuk kamarnya;
dan terakhir petugas menyelamatkan pemilik kamar, turun dari tangga yang
dibawa petugas pemadam dan menyelamtkan penghuni rumah yang lainnya. Film Fire! ini yang mempengaruhi secara
naratif cerita film Porter yang
berjudul the Life of an American Fireman
pada tahun 1903.
George Albert Smith
Smith memperlihatkan bagaimana ia secara efektif membuat shot dan menggabungkannya dengan shot yang lainnya dalam sebuah
peristiwa, sehingga ia telah membuat decoupage
shot didalam filmnya. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Acres dan Robert William Paul. Sehingga George Albert Smith lebih sensasional.
Seperti didalam film yang berjudul The Kiss in The Tunel (1899) Smith memperlihatkan
gerak kereta menuju ke kamera yang diletakkan di kereta ada dihadapan kereta
yang bergerak, dan kamera –seakan-akan kereta yang ada kameranya– justru bergerak ke depan, lalu masuk ke
sebuah trowongan, dan muncul sepasang pria dan perempuan, seakan-akan mereka
berada didalam kereta, dan setelah itu kamera memperlihatkan trowongan dengan
sedikit pemandangan, memberikan isyarat kereta yang bergerak keluar dari
trowongan. Sedangkan
dalam film Let Me Dream Again di
tahun 1900, Smith mengeksplorasi
gambar blur, sebagai transisi kesadaran antara dunia mimpi dan dunia nyata, dan
di film Grandma’s Reading Glass (1900), malah lebih jelas lagi
bagaimana ia menyusun bentuk shot – decoupage shot– untuk membangun
peristiwanya. Diawali dengan close up
teks di surat kabar; long shot atau two shot anak memegang surat kabar dan
lup serta ibunya sedang merajut; close shot
mesin arloji; kembali long shot atau two shot anak dan ibunya; close up burung dalam sangkar; long shot atau two shot anak memegang lup dan ibunya; extreme close up dari salah mata kiri si ibu; kembali long shot atau two shot anak dan ibunya; close
up kucing; kembali long shot atau two shot anak dan ibunya.
Selain itu di film
ini juga tampak Smith menunjukkan masking dalam menampilkan teks surat
kabar, yaitu teknik untuk memfokuskan (membuat center point of interest),
yang sekarang menggunakan lensa makro. Ia juga memperkenalkan eyeline match dalam
bentuk point of view cutting, suatu garis imajinatif yang menghubungkan
mata tokoh A dengan tokoh B seakan-akan mereka sedang bertatapan padahal shotnya terpisah, atau antara mata
seseorang dengan objek yang dilihatnya. Teknik lain yang banyak digunakan oleh
Smith adalah superimposed. Teknik ini seperti teknik double expose dalam
bidang fotografi. Kita bisa melihatnya pada film Mary Jane Mishape (1903) saat rohnya keluar
dari kuburan ataupun saat dia membuat orang kembar di film The Corsican
Brothers (1898), selain itu juga ia sudah menampilkan close up pada wajah Mary Jane.
Cecil
Hepworth
Mulai memproduksi film dari skala
kecil di tahun
1899. Pada awalnya ia berkonsentrasi dengan
perekaman aktualitas,
namun belakangan ia berubah,
mengarahkan filmnya pada trik-trik yang dilakukannya. Pada tahun-tahun
berikutnya Hepworth lebih dikenal
sebagai produser film paling penting (1904-1914). Dalam Explosion of a Motor Car (1905) ia melakukan juga diperlihatkan oleh Hepworth, disamping juga sudah menggunakan seekor anjing
sebagai aktor untuk berperan dalam filmnya, Rescued by Rover (1905). Belum lagi ia juga sering memanfaatkan properti
dan efek meledak guna mendaramatisir peristiwanya, yang paling berharga dalam
perfilman dunia adalah sudah digunakannya screen direction yaitu sebuah metode dimana ketika
shot pertama subyek bergerak dari
kanan ke kiri, maka shot selanjutnya
harus bergerak ke arah yang sama sehingga kesinambungan geraknya dapat terjaga. Menggoyangkan
kamera sebagai dampak dari aksi si tokoh yang bersin, sehingga menguncang
sekitarnya dalam film That Fatal Sneeze (1907).
Cecil
Hepworth
beralih menjadi seorang produser, ia memproduksi film Rescued
by Rover (1905) karya Lewin Fitzhamon. Film ini memakai anjing
sebagai bintang utamanya. Hepworth,
istri dan anaknya ikut bermain didalam film tersebut. Film
ini bercerita tentang penculikan yang mempunyai kemiripan naratif linier yang
sama dengan The Great Train Robbery. Setelah penculikan terjadi kita
dapat melihat perjalanan sang anjing untuk menemukan anak majikannya. Kemudian
sang anjing kembali ke rumah dan dengan caranya
mengajak
sang ayah untuk mengikutinya. Dengan menybrangi sungai, sang
anjing menuntun
sang ayah menuju tempat persembunyian sang penculik. Semua shot-nya bisa
tetap menjaga konsistensi screen direction sehingga penonton dapat menikmati
tanpa kehilangan arah pandang atau disorientasi.
Walau reputasi
sinema Inggris pada periode kehadiran film masih kalah
dibandingkan Perancis dan Amerika, namun
tidak perlu diragukan bahwa para pembuat film
Inggris cukup banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan seni film. Para
sejarawan sekarang percaya bahwa bentuk serta teknik editing Porter malah dianggap sedikit banyaknya terpengaruh oleh film-film Inggris.
Namun meski sudah menggunakan trik-trik yang memanfaatkan
keberadaan kamera, semuanya itu dianggap sebagai suatu sensasi belaka, bukan
untuk memperkuat penceritaan yang sudah dibangun oleh Méliès sebelumnya. Cukuplah dapat dipahami dan dimengerti mengapa Brighton School pada era sebelum dekade
70-an, tidaklah dilirik dalam perfilman dunia.
Komentar
Posting Komentar