GENRE FILM (PERIODE AWAL SINEMA) 5


Genre dan Style Film Jerman Era Pasca Perang (2)


2.     Genre Kammerspiel

Sebenarnya selain genre spektakuler, ada tren lain dalam perfilman Jerman yang terjadi pada awal tahun 1920-an, namun kurang memiliki pengaruh secara internasional, tetapi genre tersebut justru menyebabkan banyak munculnya penciptaan sejumlah film-film besar lainnya. Genre film ini dikenal sebagai genre film Kammerspiel, atau “kamar-dram”. Nama yang diambil dan berasal dari sebuah teater di Jerman, Kammerspiele, teater yang dimunculkan pertama kalinya di tahun 1906 oleh sutradara panggung terpenting saat itu, Max Reinhardt, yang menggelar pementasannya sebagai drama intim bagi penonton yang tidak banyak. Beberapa film Kammerspiel dibuat, tetapi hampir semuanya sangatlah klasik: Lupu Pick dengan Shattered (1921) dan Sylvester (New Year's Eve atau St. Sylvester's Eve, 1923), Leopold dengan Jessner's, Backstairs (1921), Murnau dalam The Last Laugh (1924), dan Carl Dreyer dalam Michael (1924). Hebatnya, semua film ini kecuali film Michael ditulis oleh penulis skenario yang sama dan sangat penting dalam perfilman dunia, Carl Mayer. Dimana Mayer sendiri menjadi bagian yang sangat penting bagi perfilman Jerman, terutama saat ia menuliskan film The Cabinet of Dr. Caligari disamping juga menulis beberapa film-film lainnya, baik yang dikenal sebagai Ekspresionis maupun non-Ekspresionis. Mayer pun dianggap sebagai kekuatan utama di balik genre Kammerspiel ini.

Dalam banyak hal film-film tersebut sangat kontras dengan drama Ekspresionis. Sebuah film Kammerspiel berkonsentrasi hanya pada beberapa karakter dan mengeksplorasikan krisisnya dalam kehidupan mereka secara detail. Penekanannya ada pada akting yang lambat, penuh perasaan dan bercerita dengan sangat detail di dalam ekspresi emosi yang ekstrem. Suasana ruangan –dramanya menghadirkan penggunaan seting– yang kecil karena lebih berkonsentrasi pada psikologi karakter untuk ditonton. Beberapa distorsi dari gaya ekspresionis mungkin juga dimunculkan didalam set, tetapi biasanya menampilkan lingkungan yang suram, daripada menghadirkan sebuah fantasi ataupun subjektivitas yang lebih terlihat didalam film Ekspresionis (Sebuah Kammerspiel, di film Erdgeist misalnya, yang juga ditulis oleh Mayer dan disutradarai oleh Jessner, menerapkan set Ekspresionis dengan akting yang emosinya penuh dengan rasa nafsu pada dramanya dalam suatu pengkhianatan yang intim serta modern). Memang, Kammerspiel menghindari fantasi dan elemen yang telah melegenda yang begitu melekat yang secara umum dikenal di dalam film-film Ekspresionisme; karena film lebih diatur oleh keseharian lingkungan, bersifat kontemporer, dan didalamnya seringkali mereka membahas rentang waktu yang singkat.

Sylvester Weaver - The Accompanist (1923-1927) (1988, Vinyl) | Discogs
4.6 Dalam Sylvester, motif shot penggunaan cermin di dinding menekankan hubungan antar karakter yang ada di dalam rumah dengan keluarga yang menjemukan.
Backstairs (1921) — The Movie Database (TMDb)
4.7 Sebagian besar aksi dari perjalanan tukang pos di film Backstairs sering melintas di halaman saat ia mengunjungi tokoh perempuan.
Kisah Sylvester ceritanya hanya dihadirkan dalam satu malam terhadap kehidupan seorang pemilik kafe. Dimana sang Ibu datang untuk mengunjungi keluarganya dalam suatu perayaan Malam Tahun Baru. Namun muncul kecemburuan dan konflik kehidupan antara sang ibu dengan istrinya, sampai akhirnya meningkat dan terjadi krisis pada saat tengah malam berlangsung, situasi dan suasana demikian menyebabkan sang pria akhirnya melakukan bunuh diri. Sebuah adegan kontras dan ironis yang dengan singkat diperlihatkan 
didalam film, umumnya orang-orang yang sedang merayakan malam tahun baru berada di hotel-hotel atau di jalan-jalan dengan suasana penuh kehangatan dan kegembiraan, tapi tidak dengan ketiga karakter yang muncul di cerita film, mereka malah diciptakan justru dengan penuh ketegangan, meskipun sebagian besar aksi-aksi dari tokohnya hanya memperlihatkan bagian-bagian yang kecil saja. Seperti kebanyakan film-film Kammerspiel, Sylvester juga tidak menggunakan intertitles, film hanya menggantungkannya pada situasi yang sederhana, tapi detail terhadap akting dan latarnya, serta memunculkan simbolisme untuk menyampaikan peristiwa naratifnya.

Demikian pula, dalam Backstairs mencoba untuk menghadirkan nilai keseimbangan pada dua set yang berbeda. Dapur rumah kos tempat sang pembantu rumah tangga bekerja dan apartemen dari seorang tukang pos, dimana set ditempatkan dalam situasi yang berhadapan satu sama lainnya dan hanya dibatasi oleh halaman yang kotor. Aksi yang terjadi dari film ini tidak pernah bergerak di luar area tersebut. Ketika tunangan sang pembantu rumah tangga secara misterius tidak dapat menulis surat untuknya, tukang pos mencoba menghiburnya dengan memalsukan surat baginya. Sang pembantu rumah tangga pun, akhirnya mengunjungi tukang pos di apartemen kecilnya –disaat tunangannya juga telah datang, namun sang kekasih terbunuh oleh tukang pos. Sang tokoh perempuan pun akhirnya bunuh diri dengan melompat dari atas gedung dan jatuh di halaman.

Seperti yang ditunjukkan oleh contoh-contoh diatas, narasi dari film-film Kammerspiel berkonsentrasi langsung pada situasi psikologis karakter yang berakhir dengan kesedihan. Memang, Shattered, Backstairs, dan Sylvester semuanya berakhir setidaknya dengan satu kematian yang kejam, sedangkan dalam film Michael ditutup dengan kematian protagonisnya karena penyakit, tapi akhir yang tidak menyenangkan dan atmosfir klaustrofobia[1] tersebut, telah membuat sebagian besar film-film ini membangkitkan minat dan gairah dari para kritikus dan penonton kelas atas. Erich Pommer sendiri mengakui akan fakta ini ketika ia memproduksi The Last Laugh, bagaimana ia bersikeras bahwa Mayer telah menambahkan akhir yang bahagia. Kisah film akan seorang penjaga pintu hotel yang diturunkan dari jabatannya yang tinggi, menjadi seorang petugas toilet yang harus diakhiri dengan keadaan sang tokoh yang hanya duduk di kamar kecil dalam keputusasaan, mungkin dimaksudkan sebagai gambaran yang sedang sekarat. Tapi kemudian, Mayer harus merubahnya dari apa yang dilihatnya dan dianggapnya sebagai hasil logika dari situasi di skripnya, dan dengan rasa kesal, harus menambahkan adegan terakhir yang sangat tidak masuk akal baginya, dimana warisan tiba-tiba mengubah penjaga pintu menjadi jutawan dan semua staf hotel melayani sang tokohnya. Akhir yang menggelikan, namun entah kenapa justru hal yang menggelikan ini yang dianggap menjadi penyebab dari film The Last Laugh menjadi film Kammerspiel yang paling sukses dan terkenal. Genre inipun berakhir dan terhenti dengan sendirinya sebagai tren yang menonjol dalam perfilman Jerma pada akhir tahun 1924. Sedangkan untuk genre film Jerman yang lainnya, ekspresionisme, ada dalam pembahasan yang lain.




[1] Dari bahasa Latin claustrum "tempat tertutup" dan Yunani phóbos "takut" adalah sebuah penyakit ketakutan terhadap tempat-tempat sempit dan semacam tempat jebakan. Klaustrofobia umumnya dikategorikan sebagai neurosa kecemasan yang dapat menyebabkan serangan kepanikan yang tiba-tiba.

Komentar