GENRE FILM PERIODE PASCA PERANG
Genre Utama Era Pasca Perang di
Perancis
Terlepas
dari persaingan dengan film asing, perpecahan industri, kurangnya modal,
ketidak-pedulian pemerintah, dan sumber daya teknis yang terbatas, tetap tidak
berpengaruh, karena industri film Prancis tetap mampu menghasilkan berbagai
film. Disaat sebagian besar negara, mengalami penurunan film serial secara
prestis selama film berada pada periode remaja akhir ini, Perancis menghadirkan
hal yang berbeda, mereka justru tetap menjadi salah satu penghasil film yang paling
menguntungkan hingga tahun 1920-an. Perusahaan-perusahaan besar seperti Pathe dan Gaumont menemukan bahwa drama costume dengan anggaran
yang tinggi ataupun film dari adaptasi sastra tetap dapat menghasilkan keuntungan,
mesi itu hanya ditampilkan pada beberapa bagian tertentu saja di setiap film.
Karena penonton film sudah secara teratur tetap menghadiri teater lokal, bahkan
mereka bersedia untuk kembali menonton semua episodenya.
Beberapa serial Perancis yang
muncul di era pasca perang tetap mengikuti pola yang sudah ada, biasanya diakhiri
dengan cliffhanger dari penjahat
utamanya, atau tempat yang eksotis, seperti dalam Tih Minh karya Louis Feuillade (1919). Tetapi tekanan sosial dalam menentang
kejahatan yang justru dimuliakannya atau juga karena formulanya yang telah
usang dapat dianggap sebagai alasan untuk menimbulkan perubahan. Feuillade, dengan
film-filmnya tersebut, sekarang ini diketahui kebenarannya, bahwa film-film
tersebut merupakan serial hasil karyanya di Gaumont,
kemudian mengalihkan serialnya berdasarkan novel sentimental yang cukup popular,
seperti Les Deux Gamines (“The Two Kids” 1921) dan terus berlanjut
hingga kematiannya pada tahun 1925. Adaptasi epik dari sutradara Henri Diamant-Berger
tentang The Three Musketeers adalah
salah satu film paling sukses dalam dekade ini. Henri Fescourt yang
menyutradarai Mandrin (1924), sebanyak
dua belas episode melanjutkannya dengan tradisi penculikan, penyamaran, dan
penyelamatan –tetapi disajikannya tidak melalui kejahatan pada umumnya,
melainkan secara flamboyan (swashbuckling),
identik dengan perilaku perbuatan yang ada dalam seting waktu abad kedelapan
belas.
Meski terbilang bergengsi
dan mahal, film-film epik sejarah justru banyak di produksi, baik itu dibuat
dalam bentuk format serial ataupun tidak. Dalam banyak kasus, penghematan
biaya dilakukan perusahaan film dengan menggunakan monumen Prancis sebagai
seting, karena film-film semacam ini sering ditujukan untuk ekspor. The Miracle of the Wolves (1924, oleh Raymond Bernard) adalah film sejarah
Prancis yang paling mewah yang pernah dibuat; interiornya menggunakan set
yang dibangunnya, sedangkan adegannya banyak diambil pada seting kota Carcassone
abad pertengahan. Meski produser film, Societe
des Films Historiques, berhasil menempatkan penayangan filmnya pada gala Genre yang dikenal sederhana adalah film fantasi, dan pembuatnya yang paling menonjol adalah Rene Clair. Film pertamanya, Paris qui dort (“Sleeping Paris”, alias The Crazy Ray, 1924), adalah kisah seorang komik dengan
|
Beberapa adegan di L'Agonie
des aigles (The Agony of the Eagles,
1921), sebuah film Pathe tentang Napoleon.
|
Di Le Voyage
imaginaire, museum patung lilin jadi hidup, termasuk patung Charlie
Chaplin dan Jackie Coogan, saat mereka bermain dalam filmnya Chaplin, The Kid, 1921.
|
Fitur komik Max Linder, dalam Le Petit cafe intertitle digabungkan langsung dengan tindakan
dalam adegannya.
|
sinar misteriusnya yang mampu melumpuhkan kota Paris. Dengan cerdik, Clair menggunakan teknik freeze--frame dimana aktornya diperintahkan
untuk diam, tidak bergerak agar dapat menciptakan kesan
|
tokoh bermimpi bahwa ia diangkut oleh seorang penyihir ke negeri dongeng, set lukisannya sengaja dilakukannya dengan dibuat-buat. Fantasi semacam itu
menghidupkan kembali tradisi genre populer dari sinema awal di Prancis, yakni penggambaran
melalui trik kamera dan gaya set seperti yang dilakukan Georges Méliès dan Gaston
Velie.
Genre komedi
terus-menerus mendapatkan kepopulerannya setelah perang. Max Linder, yang sempat begitu memikat, pergi sebentar ke
Hollywood, tapi kemudian datang kembali dengan membuat komedi di Perancis,
termasuk salah satu film panjang komiknya yang paling awal, Le Petit cafe (1919, Raymond Bernard). Linder
pun berperan sebagai pelayan yang mendapatkan uang dalam jumlah yang besar
namun tetap harus terus bekerja karena terikat kontrak; adegan dari cerita
komik tersebut, disepanjang peristiwanya memperlihatkan sang tokoh mencoba
untuk berusaha mendapatkan dirinya dipecat. Sentuhan yang cerdas ada dalam film
ini hingga membuatnya menjadi film penuh kejutan dan dinilai telah
mengangkat genre komik untuk ditempatkan lebih terhormat di Prancis. Komedi
penting lainnya yang dibuat oleh Clair, ada dalam The Italian Straw Hat (1928) yang telah membawanya pada ketenaran
internasional yang tumbuh pada era film bersuara.
Komentar
Posting Komentar