Gambar “Fotogenie” dan Irama bagi Impresionisme
Dengan penggambaran film-film Impresionis yang memberikan kesan tertentu, maka gambar yang dihasilkan tidak lagi mengarah pada konsep “fotogenik”, istilah untuk gambar dengan konsep yang lebih mementingkan keindahan pada objek, tapi gambar lebih diarahkan pada konsep fotogenie, sebuah istilah yang menunjukkan sesuatu yang lebih kompleks daripada objek yang hanya menjadi fotogenik. Sehingga bagi para Impresionis, “fotogenie” adalah dasar dari sinema. Louis Delluc mempopulerkan istilah tersebut sekitar tahun 1918, yang digunakannya untuk menentukan kualitas yang membedakan pengambilan film dari objek asli yang difoto. Proses pembuatan film, menurut Delluc, adalah sebuah ekspresi baru yang dipinjamkan oleh objek tertentu untuk memberikan suatu persepsi yang segar kepada penonton.
Louis Delluc
Kirsanoff
menulis, “Setiap hal yang ada di dunia ini mengetahui akan keberadaan yang lainnya di dalam
layar”. Sepertinya kalimat ini disarankan untuk konsep fotogenie yang bisa saja menjadi konsep yang mistis. Jika kita menjabarkannya
sedikit, kita dapat mengatakan bahwa fotogenie
dibuat oleh sifat-sifat kamera seperti: pembingkaian pada objek dari elemen lain yang ada di
sekitarnya telah mengisolasi objek itu sendiri, stok film hitam-putih pun berpengaruh dalam
mengubah penampilan objek,
efek khusus yang dihasilkan dari optik
dapat mengubah objek lebih jauh lagi, dan sebagainya. Dengan cara seperti
itu, para ahli teori Impresionis percaya, bahwa sinema telah memberikan akses pada audiensnya ke
ranah di luar pengalaman mereka
sehari-hari. Bagaimana kejiwaan manusia diperlihatkan melalui esensi
objek kepada audiens.
Sehubungan dengan bentuk film, maka kaum Impresionis bersikeras bahwa sinema tidaklah boleh meniru narasi dari teater dan sastra. Mereka juga
berpendapat bahwa bentuk film harus didasarkan pada irama visual. Gagasan ini
berasal dari perasaan kaum
Impresionis yang beranggapan bahwa
emosi bukanlah sebuah
cerita, yang
harus menjadi dasar untuk film. Ritme muncul dari juktaposisi –urutan atau rentetan gambar yang disusun–
yang ditempatkan secara
hati-hati melalui
gerak yang ada didalam shot dan panjang dari shot
itu sendiri. Dalam sebuah ceramah, Germaine Dulac menganalisis ritme yang terdapat dalam peristiwa di
film L’Horloge karya Marcel Silver (The Clock tahun 1924) dimana adegan percintaan yang tenang tiba-tiba berakhir ketika
pasangan tersebut
menyadari bahwa mereka harus segera pulang ke rumah:
Perasaan yang meluap-luap tampak begitu lancar, namun
kebahagiaan tersebut menjadi hancur begitu saja saat mereka secara tiba-tiba
memikirkan waktu. Sejak saat itu, gambar-gambar yang hadir satu sama lainnya pun masuk kedalam irama yang gila. Dentuman bayangan dari pendulum yang berdenyut tampak kontras dengan dua kekasih yang segera bergegas menghampiri satu sama lainnya dalam menciptakan drama.... dengan gambar-gambar yang pendek.... perasaan
dari jalan panjang yang harus dilalui oleh dua kekasih, dan obsesi yang dijelaskan melalui
aksi mereka. Jalan sempit seperti tidak ada hentinya,
desa pun tetap saja tak tampak. Sejauh ini pendulum seperti memberikan tekanan karena author
ingin memberikan pengertian jarak
pada shot-nya yang lain. Dengan
pilihan pada
gambarnya,
panjang dan kontras shot-nya, maka ritme menjadi satu-satunya sumber
emosi.
Bagi
kaum Impresionis, ritme adalah pusat, karena ia menawarkan cara untuk menekan
reaksi para karakter terhadap aksi ceritanya
daripada hanya berfokus pada aksi itu sendiri. Kaum Impresionis bersikeras
bahwa perhatian mereka pada ritme membuat film mereka lebih dekat dengan musik
daripada bentuk seni lainnya.
KarakterTraits dalam Impresionisme
Asumsi-asumsi tentang sifat sinema ini memiliki dampak yang besar pada gaya dan struktur naratif dalam film-film Impresionis. Yang pling terpenting, adalah adanya teknik filmik yang seringkali berfungsi untuk menyampaikan subjektivitas karakter. Subjektivitas ini mencakup gambaran kejiwaan, seperti bayangan, mimpi ataupun kenangan; shot optikal untuk menggambarkan point-of-view (POV) dari karakter; atau juga persepsi karakter terhadap perihal tertentu dilakukan tanpa POV shot. Walaupun benar adanya bahwa film di semua negara telah menggunakan perangkat seperti superimpose dan flashback untuk menunjukkan pikiran atau perasaan karakter, namun kaum Impresionis lebih banyak lagi menginginkannya kearah tersebut.
Komentar
Posting Komentar