Teori Film Bazin

 


Berbeda dengan tradisi yang berkembang pada teori film formalis, dimana semua pemikiran yang dihasilkan oleh para teoritikusnya mengarah pada usaha untuk menjadikan film sebagai seni, yang tampak jelas dari hasil karya Hugo Munsterberg, Bela Balasz, Rudolph Arnheim, V. Pudovkin dan Sergei Eisenstein yang mewarnai decade-dekade awal perkembangan teori film. Terdapat tradisi besar lainnya dalam sejarah perkembangan teori film pada era yang disebut teori film klasik, yaitu tradisi teori film realitas.

 

Antara kedua dari tradisi besar teori film tersebut diatas, terdapat perbedaan pandangan yang saling bertolak-belakang. Pada satu pihak seperti yang telah kita singgung secara sekilas sebelumnya yaitu teori film Formalisme, yangmana seperti halnya dalam memandang seni maka pembicaraan tentang film haruslah berkisar pada masalah bentuk yang harus dipunyai secara khas agar dapat digolongkan kedalam seni, seperti adanya akting dalam teater, tempo dalam musik dan komposisi dalam lukisan. Sementara tradisi teori film Realisme lebih berkutat dengan esensi ontologism dari film itu sendiri.

 

Secara lebih spesifik, jika teori film Formalisme membicarakan bentuk dan metode kreatif untuk mewujudkannya, maka teori film Realisme mencari tujuan film melalui sudut pandang ontology. Maksudnya adalah kemampuan dari manusia untuk menciptakan gambar bergerak yang dapat merepresentasikan kembali realitas yang sebenarnya melebihi fotografi, lantas setelah itu apakah konsekuensi selanjutnya dari keberhasilan tersebut? Jawabannya tidak lain adalah untuk mengabadikan realitas itu sendiri. Karena film adalah perwujudan dari teknologi, maka semua perkembangan dari teknologi yang mendukung perfilman haruslah digunakan semampu mengkin untuk merepresentasikan kembali realitas.

 

Dalam sejarah pemikiran Barat, permasalahan tentang realitas telah memiliki tradisi yang panjang. Bahkan masalah realitas tersebut mulai diperbincangkan oleh Plato dan Aristoteles di Yunani kuno, sekitar ribuan tahun yang lalu. Problem ini selalu diperbincangkan dari zaman ke zaman, hingga banyak sekali interpretasi atas realitas. Bukankah Rasionalisme, Empirisme, Idealisme, Materialisme dan berbagai paham lainnya yang muncul merupakan bukti kuat dari obsesi orang terhadap realitas.

 

Pada abad XIX menjelang suksesnya usaha orang di Eropa dan Amerika Serikat untuk merekam gerak yang sudah menjadi ambisi orang sejak lama, melalu magic lantern dan benda-benda seperti theumatrophe sampai cinematographe-nya Lumiere. Persoalan tentang realitas menjadi semakin hangat dengan mulai dikritiknya karya-karya sastra realis, dengan para pengusung utamanya seperti Balzac dan Tolstoy, yang mengeritik dengan memandang bahwa kenyataan tersebut tidak mungkin untuk diungkapkan.

 

Seperti yang telah kita ketahui bahwa sukses dari keberhasilan Lumiere bersaudara dalam mempertunjukkan film-film awal karya mereka merupakan sesuatu yang telah lama dinantikan orang, yang pada dekade akhir abad ke-19 tersebut, telah membuat orang terkesima saat mereka menonton realitas pada layar yang sangat mirip dengan kenyataan yang mereka alami. Film pada waktu itu (1895) merupakan jawaban atas obsesi masyarakat terhadap realita, yang sejak lama didiam-idamkan. Meskipun fotografi dapat memuaskan orang melalui kemampuannya dalam mereproduksi realita, akan tetapi film lebih jauh lagi terhadap hal tersebut karena dalam film terlihat dunia (realita) yang bergerak seperti halnya yang terjadi pada kenyataan yang sebenarnya, yang dialami oleh masyarakat setiap harinya, dibandingkan dengan realita fotografi yang diam.

 

Secara umum pada hakekatnya realitas dalam film sepanjang sejarah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu realitas (dunia) dalam film Lumiere dan realitas (dunia) dalam film Melies. Sedangkan semua film yang dihasilkan, mulai dari Lumiere sampai saat ini hanya merepresentasikan kedua realitas tersebut. Baik itu film-film yang mengambil posisi bercerita melalui realitas Lumiere maupun Melies saja dengan batasan yang jelas, ataupun memperlihatkan campuran keduanya hingga batasan realitas-realitas tersebut sengaja dibuat kabur.

 

Film-film pada karya Lumiere, memperlihatkan bagaimana realita merupakan kenyataan yang bersifat apa adanya seperti yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang kita alami. Direkam atau tidak kenyataan tersebut, sebenarnya akan tetap berlangsung seperti apa adanya secara terus-menerus. Meski Lumiere tidak pernah merekam dengan kamera filmnya sekalipun, maka kereta api yang bergerak menuju ke stasiun tetap ada dan bisa dilihat.

 

Sedangkan pada film-film Melies, realita merupakan kenyataan yang diatur atau diciptakan ataupun direkayasa berdasarkan tuntutan kebutuhan penceritaan. Jika Melies tidak menciptakan dunia dalam filmnya A Trip to the Moon, maka dalam kenyataannya pada saat itu tidak akan mungkin ada perjalanan ke bulan.

 

Dunia Lumiere disebut realita atau non fiksi, yang sekarang kita kenal dengan istilah dokumenter. Sementara itu, dunia Melies disebut dengan khayal atau fiksi, yang dalam perkembangan selanjutnya disebut dengan istilah film cerita atau naratif. Masalahnya kemudian, apakah dunianya Melies itu bukan realita?

 

Seperti halnya dengan realita Lumiere yang kemudian berkembang menuju dokumenter dalam sejarah film dunia, maka realita yang diciptakan seperti film-filmnya Melies juga menjadi berkembang hingga menghasilkan banyak sekali variasi dan terus bertambah hingga hari ini. Beberapa dunia dalam film yang memiliki prinsip realita yang bersumber dari Melies dan berkembang menjadi bentuk-bentuk sinema pembaharu adalah Ekspresionisme-Jerman, Surrealisme dan yang kemudian menjadi mainstream dalam perfilman dunia, yaitu sinema Hollywood klasik. Contoh yang paling mewakili dalam konteks realita seperti halnya Melies adalah Ekspresionisme dan Surealisme. Dalam membicarakan realita, maka Ekspresionisme-Jemrman memandang bahwa kenyataannya adalah apa yang kita rasakan dalam hati saat berhadapan dengan semua kejadian di dunia. Suasana hati atau mood itulah yang merupakan realita yang sebenarnya. Sementara dalam konteks Surrealisme, kenyataan itu seperti mimpi. Kedua gerakan film tersebut merepresentasikan kenyataan dalam bentuk yang paling radikal, serta paradox dengan dunia nyata yang kita kenal sehari-hari.

 

Ekspresionisme dan Surrealisme sama-sama meyakini realita yang mereka anut. Kemudian seandainya kenyataan mereka tidak sama dengan realita yang sehari-hari pada saat direpresentasikan dalam film, hal ini bukan berarti film mereka tidak nyata. Sebab bagaimana mungkin kita mengatakan keduanya tidak ada dan menetapkan klaim atas kenyataan yang sehari-hari sebagai satu-satunya realita seperti pada film-film Lumiere, karena memang seperti itulah kenyataannya yang ada. Tapi ini tidak berarti bahwa realita seperti yang diyakini Ekspresionisme dan Surrealisme bukanlah kenyataan. Sebab masalahnya kembali lagi pada debat tentang realita menurut Idealisme dan Materialisme yang sama-sama melakukan klaim atas realita yang dari sudut pandangnya masing-masing. Dengan demikian pada intinya melalui film orang berbicara tentang realita melalui sudut pandangnya masing-masing, karena hal itu merupakan obsesinya dan film merupakan media yang paling cocok untuk memuaskan dahaga masyarakat terhadap realitas yang sama-sama diyakini semua orang melalui aksentuasinya masing-masing tapi tujuannya sama. Bukankah perkembangan teknologi film, seperti suara dan warna yang dihasilkan makin membuktikan tujuan orang mencapai realitas.

 

Jika film merupakan jawaban atas kebutuhan orang akan realitas, dan berdasarkan itulah tradisi teori film realis melihat bahwa tujuan film untuk mengabdi pada realitas sesuai dengan potensinya. Maka seorang wakil utama dari tradisi teori film realis, yakni Andre Bazin melangkah lebih jauh lagi.

 

Bazin adalah seorang pendeta Katolik yang sangat terobsesi pada film. Dimana sebagai konsekuensi dari keyakinan ideologinya pada ajaran tentang doktrin-doktrin Katolik, ia mengatakan bahwa kekuatan realism sinematik terletak pada kemampuan kamera film dalam merekam dunia, yang menjadi saksi atas keajaiban dari ciptaan Tuhan.[1] Dalam hal ini argumentasi ideologis dari tradisi realism Bazin bergerak lebih jauh, menjadi alasan yang mengandung tendensi teologis. Bila sebelumnya film diimpikan orang karena kemampuannya dalam menyerupai realitas yang sebenarnya, maka kemampuan mendekati realitas tersebut disambut secara antusias dari kacamata Bazin dalam rangka mengabadikan dunia yang merupakan hasil karya Tuhan. Dunia yang kita kenal merupakan kemungkinan yang paling baik dari semua dunia yang mungkin.[2]

 

Konsekuensi dari pandangan tradisi teori film realis atas tujuan dari film yang dianut oleh Bazin, menjadi salah satu penyebab kritiknya atas teori film formalis. Sebagaimana kita ketahui bahwa editing menjadi salah satu cara dalam penuturan sinematik yang sangat dominan. Mungkin hampir semua film yang dihasilkan didunia, terutama Hollywood membuktikan betapa dominannya penggunaan editing dalam sejarah film dunia. Dalam hal ini, penggunaan editing yang dominan sepanjang sejarah film dapat saja dimaksudkan untuk meminimkan resiko kesalahan yang akan ditimbulkan melalui metode long take karena faktor perhitungan biaya menjadi salah satu pertimbangan khusus yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Atau seperti halnya dengan tradisi teori film formalis yang menganggap editing merupakan suatu kode filmis yang khas dan menjadikan film sebagai seni yang menjadi pemikiran dominan tradisi teori film Rusia tahun 1920-an, yang dikenal dengan montage-Soviet.

 

Akan tetapi menanggapi fenomena editing tersebut, pandangan yang berbeda dilontarkan oleh Bazin. Tujuan diciptakannya film itu sudah jelas, bahwa tidak ada keperluan lain daripada merekam dunia (realitas). Jadi masalahnya adalah bagaimana mengusahakan agar tidak terdapat hambatan yang bisa mengganggu pengabdian realitas tersebut, yang dalam konteks pemikiran Bazin menjadi suatu tugas suci sebagai perekaman dunia ciptaan Tuhan yang mengandung keajaiban? Berdasarkan cara berpikir seperti itulah, maka Bazin mengeritik penerepan editing (montage) dalam film.

 

Menurut Bazin, editing atau montage yang terdapat dalam tradisi pemikiran teori film Formalisme Rusia seperti pada sutradara film dan teoritikus Sergei Eisenstein, memperlihatkan pemecahan realitas menjadi bagian-bagian shot-shot yang terisolasi yang kemudian terkumpul melalui seni editing (montage).[3] Pandangan Bazin terhadap editing, merupakan suatu konsekuensi dari cara berpikir ideologisnya dalam memandang realitas. Berdasarkan hal itu maka dapatlah dipahami ketidak-setujuan Bazin terhadap penerapan montage karena dianggap memilah-milah realitas yang seharusnya ditampilkan dalam satu kesatuan yang utuh.

 

Ketidak-percayaan Bazin terhadap montage (seni editing) adalah sebagai akibat dari dasar editing, yang telah melakukan juxtaposisi gambar-gambar kepada penonton sambil menyusun perhatian. Tujuan dari pengkonstruksian realita buatan tersebut dalam rangka mendukung pesan yang bersifat propaganda. Bagi Bazin, penyusunan realita lewat juxtaposisi gambar adalah suatu pengkhianatan kecil. Sebab itu sama dengan merebut kekuasaan Tuhan, yang memberikan anugerah sesuatu menjadi berarti dalam alam semesta. Tapu Tuahn melepaskan dirinya dari dunia dan menyerahkan manusia untuk mendeteksi tanda-tanda keagungannya.[4] Disini tendensinya jelas, dimana pengkonstruksian realitas lewat montage terkesan dipaksakan melalui penyusunan (juxtaposisi) gambar-gambar. Sebab montage mengesankan adanya pengaturan sesuatu arti yang tentunya tidak lepas dari ideologi pembuat filmnya. Itulah sebabnya Bazin menawarkan solusi lain dalam merepresentasikan realitas, dimana metode sequence shot yaitu menampilkan keseluruhan sequence atau scene tanpa terputus secara terus-menerus tanpa harus di edit seperti yang terlihat pada sinema-sinema awalnya Lumiere, menjadi metode yang paling tepat dalam merepresentasikan realitas. Juga dalam konteks yang lebih jauh mengenai pandangan Bazin tentang deep focus sebagai ruang tajam yang membuat foreground dan background pada gambar menjadi tajam, merupakan suatu argumentasi kebebasan penonton dalam menafsirkan dan memahami sesuatu gambar seperti halnya dengan dunia ciptaan Tuhan, yang tentunya diiringi dengan long take ataupun sequence shot.

 

Dalam rangka mengagungkan realitas itulah, Bazin melakukan penilaian terhadap film-film yang dihasilkan pada periode film bisu. Menurut dia terdapat dua jenis sutradara film. Pertama, jenis sutradara yang mengedepankan gambar dan kedua adalah jenis sutradara yang mengagungkan realitas.[5] Berdasarkan pemilahan tipe-tipe sutradara tersebut, maka sutradara yang percaya pada gambar terbagi menjadi orang yang mengkonsentrasikan plastis pada gambar seperti film-film Ekspresionisme Jerman, dan yang melakukan juxtaposisi gambar seperti motage-Soviet. Sementara sutradara seperti Robert Flaherty, F.W. Murnau, Jean Renoir berada dalam tipe sutradara yang mempercayai realitas. Kalau kita memandang berdasarkan perspektif dari Bazin, maka tentu saja para sineas pendukung realitas menjadi berada pada posisi yang lebih diutamakan dalam masalah penciptaan karya dibandingkan dengan para sineas pendukung gambar.

 

Jika kita lihat argumentasi tentang realitas seperti halnya yang diusung oleh Bazin, mungkin akan segera terlintas kesan naif dalam memperjuangkan realitas tersebut. Pandangan Bazin akan realitas dalam film yang tidak lain adalah ideologi yang dipegangnya itu seperti yang layaknya pada tradisi teori film Realisme merupakan sesuatu hal yang mustahil untuk diperbincangkan.

 

Realitas adalah suatu masalah yang terlampau sulit dan kompleks. Apakah pandangan Bazin dan para teoritikus film realis tentang realitas tidak terkesan seperti terlalu menyederhanakan realitas? Realitas dalam konteks bagaimana yang dibicarakan oleh Bazin dan para teoritikus film realis. Bukankah bila kita berbicara tentang realitas berarti harus memakai ukuran tertentu, yang berdasarkan pandangan Bazin tentang pengkhianatan kecil dari montage atas realitas yang tidak sesuai dengan kenyataan dari dunia yang diciptakan Tuhan memiliki tendensi yang universal sifatnya, sebab harus dirasakan oleh semua orang dan serealis mungkin.

 

Sampai disini realitas menjadi sesuatu yang mustahil karena problem subyek akan muncul sebagai yang merepresentasikan kenyataan (dunia) kembali. Tidakkah realitas universal tersebut menjadi hancur karena ia dibangun kembali dalam film yang pasti memiliki subyektifitasnya sendiri-sendiri. Sampai disini akan nampak betapa kontradiktifnya pandangan Bazin dalam membicarakan realitas. Sebab di satu sisi dibicarakan tentang perekaman dunia sebagai tujuan film melalui cara pandang ontologis, sementara saat merepresentasikan kembali media tersebut dibatasi oleh frame. Semua pemikiran tersebut walaupun memiliki nilai kontradiktif yang kuat, akan tetapi merupakan hasil dari ideologi yang dipegangnya sebagai konsep teori film Realisme.

 



[1] Matthews, Peter. Divining The Real. In Sight and Sound. August 1999

[2] Voltaire. Candide. Wordsworth: 1993.

[3] Ibid, Matthews

[4] Ibid, Matthews

[5] Bazin, Andre. The Evolution of The Language of Cinema. In Film Theory and Criticism. Edited by Gerald Mast & Marshall Cohen. New York: Oxford University Press. 1979.


Komentar