1. Dasar Pembentuk Film
Sejak film pertama kali diperkenalkan, orang belum berpikir untuk membuat sebuah kisah atau cerita di dalam film seperti sekarang ini. Mereka hanya melakukan perekaman langsung terhadap aktifitas sehari-hari terhadap seseorang ataupun masyarakat tertentu, seperti halnya sebuah film dokumenter yang kita kenal saat ini dan juga cerita yang ada pada film masih sangat sederhana sekali. Skenario pun pada akhirnya tidak dibutuhkan pada saat itu.
Kemudian perkembangan yang terjadi pada dunia film, memunculkan tiga aspek penting yang mendasari munculnya bentuk di dalam film. Ketiga aspek penting tersebut adalah:
-
Aspek Pengalaman
-
Aspek Kontradiksi, serta
- Aspek Bisnis.
A.
Pengalaman
Film menawarkan kita cara melihat dan merasa bahwa kita menemukan sesuatu yang sangat memuaskan. Film akan membawa penontonnya melalui pengalaman. Pengalaman seringkali didorong oleh cerita, dengan dimunculkannya suatu karakter maka penonton datang dan menonton untuk lebih peduli terhadap suatu peristiwa di dalam cerita film. Sebuah film membawa penontonnya kepada perjalanan, menawarkan pengalaman bermotif yang melibatkan pikiran dan emosi.
Karena Film dihadirkan bukanlah berdasarkan atas suatu kecelakaan (accident). Melainkan bahwa Film dirancang untuk memiliki efek tertentu kepada pemirsanya. Di akhir abad ke-19 gambar bergerak muncul sebagai hiburan publik yang dihadirkan di pasar-pasar malam. Mereka (gambar bergerak tersebut) berhasil karena mereka mampu menghadirkan kebutuhan imajinatif dari khalayak yang banyak dan luas.
Semua tradisi dimunculkan di dalam film, yaitu menceritakan kisah-kisah fiksi, merekam peristiwa-peristiwa aktual, animasi dengan menghadirkan obyek-obyek atau gambaran-gambaran tertentu, eksperimen-eksperimen baik terhadap cerita maupun terhadap teknis garapannya, serta kemudian memunculkan bentuk-bentuk film yang dipandang memiliki nilai yang murni.
Hal ini bertujuan untuk membawa pemirsa film kepada pengalaman mereka dalam menonton yang tidak bisa didapatkan dari media yang lain. Para pria dan wanita yang membuat film menemukan bahwa mereka dapat mengendalikan aspek bioskop untuk memberikan penonton mereka lebih kaya, dan juga memberikan pengalaman yang lebih menarik. Pembelajaran untuk membentuk satu sama lainnya, memperluas dan menyempurnakan dari pilihan-pilihan yang tersedia, pembuat film mengembangkan ketrampilan-ketrampilannya yang menjadi dasar film sebagai sebuah bentuk seni.
Asal-usul populernya bioskop, tempat pertunjukkan film, menunjukkan bahwa beberapa cara yang sangat umum yang telah dihadirkan tidak akan banyak membantu orang dalam memahami sebuah film tertentu. Katakanlah perbedaan antara film yang di produksi untuk seni dan film untuk hiburan. Beberapa orang akan mengatakan bahwa film-film yang bermain di bioskop-bioskop multipleks hanyalah film “hiburan” semata sedangkan film seni yang dikategorikan hanya untuk sebuah film publik yang independen, dengan tujuan bahwa film seni memiliki tempat penayangan yang lebih sempit, atau bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah tiket ke festival film tertentu, ataupun juga sebagai film khusus dari sebuah karya eksperimental. Dengan hal yang seperti ini maka film seni dikatakan sebagai film yang “paling benar”.
Ini seperti pada umumnya dalam menilai seni dan hiburan, bahwa seni merupakan setinggi alis, sedangkan hiburan sangatlah dangkal. Namun hal-hal yang demikian tidaklah sesederhana itu. Tetapi sebenarnya dengan hal tersebut sepertinya kita juga ditunjukkan, bahwa banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai daya tarik estetik pada film-film hiburan yang ditayangkan di bioskop-bioskop yang ditemukan oleh para pembuat film yang bekerja untuk masyarakat umum.
Selama 1910-an, dan 1920-an misalnya, film-film banyak yang bertujuan hanya untuk menghibur tetapi ternyata prinsip dari hiburan tersebut telah membuka kemungkinan baru untuk mengedit film. Dengan kata lain editing pertama kalinya dipergunakan dan diperlihatkan dalam film hiburan. Adapun masalah dalam penilaian dalam hal ini, sangat jelas bahwa tradisi populer yang menghibur ini dapat juga memupuk nilai seni yang berkualitas tinggi.
Sinema adalah seni karena menawarkan cara pembuat film untuk merancang pengalaman-pengalaman bagi penontonnya, dan mereka dapat pengalaman berharga setelah melihat film. Film bagi pemirsa, yang dalam hal ini baik dalam ruang lingkup penonton yang kecil ataupun yang berskala besar memiliki seni yang sangat inklusif yang disebut dengan Sinema.
Kadang-kadang juga, orang memperlakukan film seni sebagai lawan dari film yang bertujuan bisnis. Sebenarnya permasalahan ini kembali hanya berputar pada persoalan hiburan semata, karena hiburan umumnya dijual kepada khalayak ramai. Sekali lagi, pada masyarakat modern, seni sama seperti halnya dengan sebuah pelampung yang sangat bebas, terutama bebas dari keterkaitannya dengan hubungan ekonomi.
Seperti novel misalnya, novel yang baik, novel yang buruk, ataupun novel yang acuh tak acuh tetap saja diterbitkan karena penerbit berharap untuk dapat menjualnya. Pelukis berharap bahwa kolektor dan museum akan mendapatkan hasil dari pekerjaan mereka. Benar, bila dikatakan ada beberapa karya seni yang disubsidi melalui pajak atau sumbangan swasta, tetapi proses itu juga, melibatkan seniman dalam sebuah transaksi keuangan. Meskipuan karya seni yang disubsidi tersebut tidak terlalu mementingkan nilai jualnya. Hal ini juga berlaku terhadap film, tidaklah berbeda jauh.
2.
Bentuk Naratif
Dalam hal ketertarikan penonton pada film, bukan terletak pada pengalaman, persoalan film untuk kesenian ataupun film yang dibuat untuk hiburan, ataupun juga pada sisi bisnis. Melainkan faktor utamanya ada pada bentuk cerita yang ditampilkan atau dihadirkan di dalam sebuah film. Dari sekian banyak cerita yang telah diperlihatkan dan diperdengarkan yang terus bergulir untuk dikisahkan sampai pada hari ini, sekian banyak pula cerita yang mudah dimengerti oleh para penontonnya. Tetapi juga tidak sedikit film-film yang diperlihatkan dan diperdengarkan dengan cerita yang sukar untuk dipahami.
Karena sisi cerita pada film inilah yang pada akhirnya muncul bentuk film. Meskipun telah disinggung sebelumnya, bahwa irisan yang terdapat pada film seni dan film hiburan, seperti dua sisi mata uang, yang mereka sebenarnya dapat saling mengisi sebagai bentuk film, tetapi tetap saja ada pengertian bahwa film seni memiliki cerita yang sangat sukar dipahami, atau film hiburan sangatlah dangkal dalam melayani ceritanya.
Pada sisi tertentu, penonton telah berkorban untuk mementingkan dirinya agar mereka menonton film dan mendapatkan pengalaman dari tontonan tersebut. Meluangkan waktu dan membeli tiket atau membeli materi tontonan lain (video, DVD dan lainnya). Maka menjadi hal yang wajar apabila mereka mendapatkan cerita yang mereka pahami. Tetapi kebutuhan akan mendapatkan pengalaman baru bagi penonton lain dari bentuk film, dengan kata lain penonton yang tidak hanya mementingkan bentuk film yang umum, dapat dikatakan telah menghadirkan bentuk film alternatif dari yang sudah ada. Dengan pemahaman seperti ini maka bentuk cerita pada film terbagi menjadi Naratif dan Non-naratif.
Coba perhatikan apabila ada peristiwa kecelakaan, kemudian peristiwa itu diceritakan oleh seseorang dengan penuturannya seperti layaknya sebuah berita yang ada di dalam suratkabar. Dengan cepat peristiwa kecelakaan tersebut akan sangat mudah kita pahami. Tetapi sebaliknya, apabila peristiwa kecelakaan itu, dituturkan dengan tidak mengindahkan pola bercerita yang umum, maka si pendengarnya akan merasa pusing kepalanya.
Setiap cerita apapun bentuknya dan seberapa pun pendeknya pasti mengandung unsur naratif. Setiap berita di surat kabar, cerita di majalah, ataupun cerita pada film di televisi dan bioskop juga berisi unsur naratif. Novel, cerpen, komik dan lainnya pasti mengandung unsur naratif. Unsur naratif selalu ada di dalam kehidupan masyarakat. Naratif menjadi pola yang umum yang dikenal masyarakat di dalam menuturkan sebuah cerita.
Lalu apa yang dimaksud dengan naratif itu sendiri? Naratif adalah rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lainnya dan terikat oleh logika sebab-akibat yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu.
Sebuah kejadian tidak bisa terjadi begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Segala hal yang terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu dan terikat satu sama lainnya oleh logika sebab-akibat, atau kausalitas. Sebagai contoh, kita bisa mencoba memahami peristiwa ini :
"seorang gadis menangis. Pintu kamar terkunci. Boneka beruang nyaris
hancur. Seorang laki-laki mendatanginya". Kita kesulitan untuk memahaminya sebagai bentuk naratif karena kita tidak
bisa melihat hubungan kausalitas dan waktu dalam peristiwa-peristiwa
tersebut. |
Jika kita mengubah deskripsi dari peristiwa tersebut menjadi seperti dibawah ini:
"seorang gadis baru bertengkar dengan pacarnya. Ia menangis
sepanjang malam. Ia mengunci dirinya di dalam kamar. Pagi harinya ia masih
marah dan memutuskan untuk merobek-robek boneka beruang dari pacarnya hingga
nyaris hancur. Kemudian pacarnya datang ke rumah untuk minta maaf padanya". |
Sekarang, peristiwa tersebut membuat kita dapat memahaminya sebagai bentuk naratif. Bahkan kita juga dapat menghubungkannya secara ruang:
"gadis itu di suatu tempat dengan pacarnya, kemudian di kamarnya,
kemudian di ruang tamu rumahnya untuk menerima kedatangan pacarnya". |
Pada sebuah film cerita sebuah kejadian pasti disebabkan oleh kejadian sebelumnya. Misalnya:
Shot A tampak
seorang bocah sedang menendang bola dan shot
B memperlihatkan kaca jendela yang pecah. Shot
B terjadi karena shot A. |
Penonton akan mudah memahaminya karena adanya hubungan pola sebab-akibat antara shot A dengan shot B. Kaca jendela pecah akibat bola yang ditendang sang bocah. Selain itu penonton juga sadar kalau lokasi pada dua peristiwa tersebut berdekatan dan terjadi dalam waktu yang singkat.
Sedangkan penonton akan sulit memahami karena tidak ada hubungan logika
sebab-akibat apabila shot-shot tersebut diubah urutannya. Shot B (kaca jendela pecah) dihadirkan
terlebih dahulu dan kemudian disusul dengan shot A (bocah menendang bola). |
Kemudian menanggapi bentuk film naratif ini memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa bentuk film naratif pada hal yang sebenarnya cenderung menjadi bentuk yang dominan di dalam film-film fiksi. Namun demikian, apakah semua film-film fiksi yang ada itu dihadirkan dengan bentuk naratif? Atau apakah ada bentuk lain di dalam bentuk film naratif itu sendiri? Kalaupun ada bentuk cerita lainnya, lalu bagaimana hubungan cerita dengan kausalitas (pola sebab-akibat), ruang dan waktu yang dikenal sebagai elemen dasar pembentuk naratif.
Meskipun film-film naratif terikat dengan tiga elemen dasar macam kausalitas, ruang dan waktu, tetapi pada perkembangan film naratif ini, justru sineas melakukan pencarian-pencarian baru terhadap pemahaman dari tiga elemen pembentuk naratif tersebut.
Karena hal tersebutlah yang menyebabkan munculnya alternatif cerita pada film fiksi selanjutnya. Bahwa bentuk film naratif yang modusnya sangat jelas dan ketat memakai tiga elemen dasar pembentuk naratif tersebut, pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan Sinema Klasik Hollywood (Classical Hollywood Cinema). Sedangkan modus yang lain, dengan pola yang melonggarkan terhadap hukum kausalitas, ruang dan waktu, disebut dengan Narasi Sinema Art (Art Cinema Narration).
Berdasarkan sejarah film, kenapa penyebutan naratif yang modusnya cenderung digunakan sebagai tradisi tunggal dan sangat mendominasi dunia cerita film fiksi, dengan penyebutan Sinema Klasik Hollywood, pertama karena mode kata “Klasik” yang memiliki sejarah yang panjang, stabil serta pengaruhnya. Yang kedua mengambil kata Hollywood karena modusnya yang dianggap menguraikan bentuk dari studio film di Amerika.
Modus bentuk yang sama, bagaimanapun, juga telah mengendalikan narasi film tidak hanya di Hollywood saja. Katakanlah film yang dibuat di Indonesia sendiri. Ambil contoh film Naga Bonar Jadi Dua, meskipun ini sebuah film yang berasal bukan dari Hollywood, tetapi konstruksinya dibangun di sepanjang garis Klasik Hollywood. Begitu juga dengan film dokumenter, seperti film Shape Of The Moon, mengandalkan konvensi yang berasal dari narasi fiksi Hollywood.
Konsepsi naratif tergantung pada asumsi bahwa tindakan-tindakan yang terdapat di dalam cerita film fiksi yang dikehendaki oleh dunia ceritanya sangatlah lentur akan keinginan-keinginan, terutama kelenturan ini karena adanya karakter individu (tokoh cerita) sebagai layaknya suatu agen, yakni sebagai agen kausalitas.
Karakter Seringkali sifat dari seseorang menjadi
sangat penting yang fungsinya untuk mendapatkan hasrat dan keinginan agar naratif dapat
bergerak. Karakter menginginkan sesuatu. Karena keinginan tersebut maka terbangunlah sebuah tujuan tertentu dan arah pembangunan naratif kemungkinan besar akan melibatkan proses pencapaian tujuan tersebut. Contoh: Seorang tokoh
memiliki hasrat ingin dicintai kekasihnya, lalu keinginannya mendapatkan
kekasih hati yang sesuai dengan impiannya, sedangkan tujuannya adalah mencari
pasangan hidup yang sejati. Namun menjadi catatan khusus, jika keinginan tersebut hanyalah untuk tercapainya tujuan dan merupakan elemen yang dihadirkan begitu saja, tanpa adanya sesuatu yang dapat mencegah karakter tersebut dalam bergerak cepat agar tujuannya tersebut tercapai, maka tidak akan menimbulkan suatu konflik, yang sebenarnya konflik sangatlah dibutuhkan oleh naratif. Maka seharusnya ada kekuatan yang melawan dari keinginan, dengan pengertian lain bahwa dalam naratif klasik: harus ada oposisi yang menciptakan konflik. Dengan demikian akan memunculkan karakter lain, yang disebut dengan ANTAGONIS. Dalam naratif Sinema Klasik Hollywood, rantai dari tindakan merupakan dominasi dari keberhasilan penyebab psikologis yang cenderung memotivasi peristiwa naratif yang lainnya. |
Waktu Waktu adalah
subordinasi (bagian) dari
rantai sebab-akibat dalam berbagai cara. Plot akan menghilangkan jangka waktu
yang signifikan untuk menunjukkan hanya peristiwa yang penting-penting saja
bagi kausalitas. Dalam film Malena, informasi aktifitas Malena setelah ia diusir dan kemudian pergi meninggalkan sicilia, tidak dihadirkan di dalam film, malahan yang dimunculkan adalah peristiwa datangnya Nino Scorfia, suami dari Malena yang diketahui di awal film kalau laki-laki tersebut adalah seorang tentara yang telah meninggal dunia akibat perang. Sinema Klasik juga cenderung kearah naratif yang cukup terbatas. Bahkan jika kita mengikuti satu karakter saja, ada bagian dari film yang memberikan kita akses ke hal-hal yang karakter tidak melihat, mendengar, atau mengetahuinya. Kembali di film Malena, bahwa di dalam cerita, Malena tidak mengetahui kalau ada surat kaleng yang diterima oleh ayahnya. Surat kaleng tersebut berisi berita yang menjelek-jelekkan dirinya sebagai perempuan murahan. |
Plot Plot waktu
tergantung pada rantai sebab-akibat di
cerita. Penunjukan
waktu akan memotivasi karakter bertemu satu sama lainnya pada
saat-saat tertentu. Plot dalam Malena menghilangkan bertemunya Nino Scorfia dengan Malena. Plot langsung menghadirkan Nino dan Malena berjalan berdua diantara masyarakat Sicilia yang sedang berkumpul yang hanya bisa memandang mereka berdua. Malena bersama suaminya telah kembali ke Sicilia setelah dirinya diusir. |
Sepanjang cerita, motivasi dalam film naratif klasik berusaha untuk menjelaskan semuanya dan selengkap mungkin. Naratif di Sinema Klasik Hollywood mengeksploitasi berbagai pilihan, tapi ada kecenderungan kuat untuk hal itu harus tetap objektif.
Faktor Lain Dalam akhiran
film (film ending), film naratif
yang paling klasik menampilkan derajat yang
kuat di akhir penutupannya.
Meninggalkan akhiran
beberapa kelonggaran yang tidak
terselesaikan, film-film ini berusaha untuk menyelesaikan rantai kausal
mereka dengan efek pada akhirannya (ending).
Kita biasanya belajar nasib
pada tiap karakter, jawaban untuk setiap misteri, dan hasil
dari setiap konflik. Film-film yang dibuat di luar tradisi klasik kadang-kadang memiliki akhiran yang cukup terbuka. |
Untuk semua keefektifannya, modus Klasik Hollywood ini tetap hanyalah salah satu sistem di antara banyak sistem yang dapat digunakan untuk membangun film naratif.
Kemapanan Sinema Klasik Hollywood dalam naratif, terusik dalam suatu kondisi dan berbagai keadaan, yang ternyata telah memunculkan alternatif bagaimana cara bernarasi. Sebagai permulaan, film memiliki tubuh yang menarik dari sisi norma-norma plot dan gaya untuk dikembangkan. Bahwa norma plot dan gayanya dikembangkan karena adanya tuntutan untuk memenuhi tujuan dari cerita itu sendiri. Perkembangan dari norma plot dan gaya inilah yang kemudian memunculkan bentuk film Narasi Sinema Art (Art Cinema Narration) selain bentuk film Sinema Klasik Hollywood.
Dapat dikatakan sebenarnya plot di Narasi Sinema Art ini tidaklah sesuatu hal yang berlebihan seperti yang terdapat di dalam film Sinema Klasik Hollywood, yang hanya menghadirkan peristiwa yang penting-penting saja. Sementara informasi cerita yang lebih mengarah pada hal-hal yang seharusnya menjadi prinsip-prinsip dasarnya, tidak akan mendapatkan tempat, yang memungkinkan pemirsa untuk memahami film.
Objektivitas, Subyektivitas,
Otoritas Untuk Sinema Klasik, "realitas"
diasumsikan
menjadi
aturan yang menjadi tradisi pada film yang dimunculkan diantara peristiwa per
peristiwanya,
harus konsisten
dengan identitas
individu-individunya
sangat jelas. Motivasi
yang realistis dan dengan
melalui rantaian peristiwa sebab akibat menguatkan tercapainya
motivasi tersebut. Hal ini menjadi nilai objektivitas
pada “realitas”. Tapi Narasi Sinema Art, berbeda, hukum di dunia sepertinya tidaklah mungkin dapat diketahui, psikologis pribadi dimungkinkan untuk tak menentu. Pada akhirnya psikologis pribadi ini di klaim sebagai konvensi (pengalaman secara tradisi) baru dari nilai estetika untuk mengatakan "realitas" yang sesungguhnya. Sehingga dengan demikian nilai subjektivitas berlaku pada “realitas” cerita. Sinema kontemporer, di dalamnya sepertinya mencari penggambaran lika-liku kehidupan nyata, dan untuk “dedramatis” ("dedramatize") naratif lebih kepada hal-hal yang bersifat menunjukkan (showing) baik pada klimaksnya ataupun juga pada saat hal yang sepele, dan menggunakan teknik-teknik baru (cutting yang tiba-tiba, ataupun long take) bukan sebagai konvensi yang tetap melainkan sebagai alat yang fleksibel untuk berekspresi. Ini berhubungan dengan pembaharuan sinema terhadap realitas imajinasi dan lebih memiliki otoritas dalam menyampaikan cerita. Orang yang sedang duduk memandang ditampilkan dalam waktu yang lama, merupakan fleksibelitas berekspresi sekaligus juga otoritas penuh dalam menyampaikan cerita. |
Plot Plot bisa
mengarah
ke
situasi
dengan
mendramatisir
rantai
kausal
yang
bersangkutan, Atau
plot
bisa
membatasi
dirinya
lebih
ketat
dengan
batasannya
adalah situasi itu
sendiri, berfokus
pada
situasi yang
dibatasi dengan
durasi
yang padat dan
ruang
yang terbatas. Kebiasaan membatasi plot untuk situasi yang terbatas dan kemudian mengungkapkan kejadian melalui sesuatu yang dapat menceritakan ditetapkan menjadi konvensi yang dominan dari film seni, ini terlihat dalam film Rashomon, yang hanya menceritakan satu kasus pembunuhan sebagai akibat, sehingga memiliki alternatif ceritanya dari penyebab peristiwa pembunuhan tersebut. Penyebab pembunuhan diuraikan dengan memperlihatkannya dengan beberapa pandangan. Pada akhirnya plot menjadi sebuah konstruksi, bukan rantaian. |
Karakter Merupakan pengembangan dari dimensi simbolik
film
melalui
penekanan
pada
fluktuasi
psikologi
karakter. Film seni bertujuan untuk "menunjukkan karakter", sehingga Sinema Art (Art Cinema) cenderung memberikan karakter dengan sifatnya yang kurang jelas pada motif (karena tidak pernah mengungkapkan efek dari tindakan) serta tujuannya. Protagonis dapat bertindak tidak konsisten, atau mereka mungkin mempertanyakan sendiri tentang tujuan mereka. Protagonis Sinema Art disajikan sebagai sesuatu hal yang meluncur secara pasif dari situasi satu dengan yang lainnya, jika protagonis pada Sinema Klasik berjuang, Sinema Art seperti halnya sebuah ensiklopedi pada pola plot yang digunakannya. Batasan situasi yang umum dalam Narasi Sinema Art, merupakan dorongan kausal film yang sering kali berasal dari pengakuan protagonis bahwa dia atau dia menghadapi krisis eksistensi yang sangat signifikan. Hanya dalam pengertian ini bahwa Sinema Art menghadang kepentingan Hollywood dalam "plot" oleh suatu kepentingan "karakter". Sumber utama untuk model film Sinema Art adalah kausalitas karakter dan konstruksi plot. Karakter menjadi hal yang utama, bukan plot! Fokusnya ada pada situasi eksistensial yang terlihat memotivasi karakter mengekspresikan dan menjelaskan keadaan mental mereka. Selain itu juga kurang peduli dengan aksi dari reaksi, Sinema Art umumnya lebih menyajikan dampak psikologis karakter untuk mencari penyebabnya. Karakter memperlambat gerakan plot dengan menceritakan peristiwa-peristiwa berdasarkan cerita otobiografi karakter tersebut (terutama dari masa kanak-kanak), fantasi ataupun mimpi. Narasi Sinema Art menggunakan segala macam subjektivitas pemetaan terhadap mimpi, kenangan, halusinasi, lamunan, fantasi, dan kegiatan mental lainnya yang dapat ditemukan perwujudannya pada gambar atau di soundtrack. Akibatnya, perilaku karakter dalam dunia cerita dan dramatisasi pada plot sama-sama fokus pada masalah tindakan karakter dan perasaan; dengan kata lain dapat dikatakan sebagai "penyelidikan terhadap karakter" (kenapa karakter menjadi karakter yang yang muncul di dalam film) menjadi tidak hanya materi tematik tetapi sebagai sumber utama dari harapan, rasa ingin tahu, ketegangan dan surprise. Seseorang yang memiliki halusinasi yang berlebihan, misalnya, akan menjadi tema yang dapat digambarkan dalam hal Sinema Art dari maksud “penyelidikan terhadap karakter”, mengapa berhalusinasi. |
Mise En Scene Sinema Art mengembangkan berbagai
isyarat
pada wilayah mise en scene untuk
mengekspresikan
mood karakter: postur
yang ditampilkan itu statis,
melirik
adalah sebuah rahasia,
senyum
hal yang
memudar,
berjalan tanpa
tujuan, pemandangan peristiwa yang penuh dengan emosi,
serta sangat terkait
dengan objek
(misalnya,
kawat mainan punya Valentina
di
La Notte
atau
jam pasir milik Catherine
dalam Jules and Jim). Lingkungan bukan hanya ruang Artifisial yang sesungguhnya tetapi dapat diartikan sebagai proyeksi dari pikiran karakter. Mise en scene merupakan segala sesuatu yang terlihat di dalam bingkai seperti: seting (setting), pencahayaan (lighting), properti dan kostum serta make up dan ekspresi figur. Mise en scene dikenal juga sebagai elemen-elemen visual. |
Waktu Demikian pula, plot
dapat
menggunakan psikologis untuk membenarkan
manipulasi
waktu.
Flashback adalah contoh
paling
jelas
(seperti pada film Hiroshima mon amour, Wild Strawbery,
A Man and Woman). Distorsi di Sinema modern seringkali termotivasi bukan oleh waktu yang dikenal secara umum seperti yang ada di Klasik Hollywood ("Newtonian") melainkan dengan waktu "psikologis". Peristiwa dihadirkan dalam kaitannya terhadap nilai kejiwaan. Subjektivitas juga dapat membenarkan kesenjangan waktu (slow motion atau juga freeze bingkais) dan manipulasi frekuensi, sepertinya hal yang penuh gambaran (Hiroshima mon amour). |
Faktor lain Film klasik
berfokus pada harapan penonton terhadap rantai kausal yang sedang berlangsung
dengan membentuk durasi dramatis pada plotnya. Sedangkan pada film Sinema Art secara khusus, sangatlah "terbuka" segala sesuatunya yang menyangkut karakteristik di akhir cerita film yang dapat dilihat sebagai proses dari sebuah naratif. Sederhananya kekuatan Sinema Klasik pada plot sedangkan Sinema Art pada karakter. Film Hollywood dinilai buruk karena mereka sangat tegas pada nilai denotatif, sementara film-film Narasi Sinema Art menjadikan hal yang baik apabila menjadikan denotatif kearah yang membingungkan. Ambiguitas adalah hanya salah satu strategi estetika diantara banyak strategi yang lainnya, semua kepentingan memiliki potensi yang sama, yang terpenting adalah bahwa Narasi Sinema Art seperti membuat pengumuman terhadap ambiguitas, baik pada kisahnya ataupun hal-hal yang dikatakannya, sebagai titik pusat film. Sinema Art berusaha untuk memecahkan masalah dengan cara yang canggih, yaitu: melalui ambiguitas. |
B. Bentuk Non-Naratif
Meskipun cerita yang dihadirkan tidak memiliki pola naratif, tetap saja hal itu merupakan sebuah kisah. Hanya saja efek yang ditimbulkannya akan membuat penonton lebih berusaha memahami peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di dalam sebuah cerita yang tidak memakai pola naratif tersebut. Penonton akan mencari elemen atau unsur yang dapat menghubungkan peristiwa yang satu ke peristiwa yang lainnya.
Bentuk ini dikenal dengan nama Non-naratif. Kalau pada naratif rangkaian peristiwa antara yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan adanya kausalitas (hubungan sebab-akibat), ruang dan waktu. Sedangkan Non-naratif pastinya sama sekali tidak memiliki hubungan kausalitas. Cerita hanya dihubungan dengan ruang dan waktu, ataupun hanya ruang saja.
Sehingga pola non-naratif ini menghadirkan bentuk cerita kepada penonton yang dengan sendirinya penonton akan merangkai peristiwa per peristiwa berdasarkan asumsi pengalaman mereka sehari-hari sampai pada kebebasan penafsiran dalam perihal mengkonsumsi cerita yang diberikan kepadanya.
Katakanlah ada peristiwa dialog antara dua orang. Meskipun dua orang tersebut tidak memiliki hubunagn kausalitas yang jelas dan ketat, tetap saja penonton akan dapat menerimanya berdasarkan asumsi yang hadir pada diri penonton hanya karena berdasarkan karakter tokoh tersebut. Seorang presenter televisi misalnya berdialog dengan seorang wakil rakyat. Penonton akan dapat memahaminya berdasarkan dua karakter tersebut, meskipun berbeda, serta hal ini dihubungkan hanya pada ruang dan waktu dan bukan pada hubungan kausalitas yang jelas dan ketat.
Dengan kasus seperti diatas tersebut, maka bentuk-bentuk non-naratif ini dapat terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
Kategorial (Categorial) |
film disusun menjadi bagian-bagian tertentu atau pengelompokkan atau pengkategorian umumnya digunakan pada film-film dokumenter dan sekarang juga digunakan pada program-program tv. Dokumenter seekor ular misalnya. Ada pengkategorian dari hal bagaimana seekor ular mencari makan. Pada kategori ini dikisahkan pola atau strategi ular untuk dapat menjebak mangsanya. Kemudian setelah itu, dihadirkan bagimana kategori selanjutnya. Misalnya ular akan pergi mencari tempat untuk musim tertentu, dan seterusnya. Penonton tidak dihadirkan penjelasan sang ular memangsa seekor binatang tertentu karena perihal kausalitas. Tetapi hanya berdasarkan kebutuhan bagi kelangsungan hidup sang ular. Begitu pula dengan halnya yang terdapat pada sebuah program televisi. Program tersebut hadir karena kategori-kategori yang dihadirkan. Beberapa program televisi semacam travelling, magazine, variety show ataupun talkshow, termasuk yang menggunakan bentuk ini. Mari kita ambil program acara talkshow semacam Apa Kabar Indonesia Malam yang tayang di TV One. Ada beberapa kategori di dalamnya. Sebut saja kategori pertama membicatrakan tentang Hukum, kemudian pembicaraan yang kedua tentang politik dan seterusnya. Tokoh-tokoh yang dihadirkannya pun disesuaikan dengan kategori tersebut, sehingga penonton akan dapat menerima karakter yang dihadirkan, tanpa harus mempertanyakan kausalitas. |
Retorikal (Rhetorical) |
berupa argumentasi atau propaganda selain digunakan pada film dokumenter juga umumnya digunakan pada program televisi tertentu. Pada dokumenter misalnya, beberapa dokumenter yang merupakan hasil produksi dari subsidi Departemen tertentu, merupakan sebuah karya yang memiliki nilai propaganda. Hal ini dimaksudkan agar tujuan dari program yang terdapat di dalam Departemen tersebut dapat diketahui dan dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan di dalam program televisi, hal semacam ini dapat dilihat pada iklan yang hadir di televisi. Nilai propaganda perdagangan yang terdapat di iklan tentunya dengan sendirinya merupakan bentuk dari retorikal ini. Selain itu program semacam talkshow pun dapat juga memiliki bentuk non-naratif ini. |
Abstrak (Abstrack) |
umumnya digunakan pada film-film eksperimental ataupun film animasi yang berupa bentuk semacam titik dan garis serta warna saja. Dalam film-film yang memiliki bentuk non-naratif seperti ini, pada umumnya penonton akan mendapatkan pengalaman baru. Mereka mencoba untuk memahami cerita hanya sebatas kemampuan mereka pada pengalaman serta berdasarkan apa yang mereka lihat di dalam sebuah bingkai. Atau dapat dikatakan sangat intuitif dan dengan benar-benar melepas unsur kausalitas. Tetapi tidak melepas unsur ruang atau unsur waktu. Karena dengan kedua unsur inilah penonton dapat memahami film semacam ini. Film-film beraliran surealis, yang mengedepankan bawah sadar penonton, termasuk bagian dari bentuk abstrak. Dalam film Un Chien Andalou, oleh Luis Bunuel, misalnya, menampilkan adegan, bagaimana seseorang duduk, layaknya seperti di salon rambut, kemudian seseorang dari belakangnya, seperti layaknya tukang cukur, mendekati orang yang duduk. Lalu dengan tiba-tiba, dengan menggunakan pisau yang tajam, orang seperti tukang cukur rambut ini segera memotong bola mata dari orang yang duduk tersebut. |
Assosiasional (Associational) |
Berupa urutan dari gambar-gambar yang satu, yang kemudian digabungkan
atau dihubungkan dengan gambar yang lainnya. Misalnya gambar pertama merupakan orang tidur, kemudian digabungkan dengan warna merah, lalu muncul gambar lain dan begitu seterusnya. Atau dapat juga menggabungkan film antara animasi dengan fiksi, dan sebagainya. |
Komentar
Posting Komentar