Perjalanan proses terciptanya kamera sinema yang begitu cepat dan berjalan secara simultan, ternyata melupakan hal yang menjadi dasar bahwa penonton menikmati sinema bukan karena persoalan teknis semata, tetapi karena adanya cerita yang terdapat di dalamnya, yang menjadikan sinema lepas dari bayang-bayang dunia teater dan sastra. Memang pada awal-awal keberadaan sinema, hanya dipandang sebagai hiburan kelas bawah oleh kalangan para Borjuis Prancis, di mana saat itu teater telah lebih dulu mendominasi perhatian penonton, terutama di kalangan kelas menengah dan kelas atas Eropa.
Setelah era fotografi, maka para ilmuwan Eropa berlomba-lomba untuk mendapatkan sebuah alat yang dapat merekam dan memperlihatkan bagaimana gambar bergerak layaknya sebuah kehidupan. Thomas Alva Edison, penemu termashur pada abad ke 19, juga turut berpArtisipasi dalam hal ini. Kinetograph alat yang dapat memotret gambar bergerak dan kemudian mengembangkan kinetoscope yaitu alat yang dapat memperlihatkan gerakan-gerakan pada gambar yang di potret, merupakan karya Edison. Di mana penonton dapat melihat gambar bergerak tersebut, melalui sebuah kotak seukuran dari kaki ke perut orang dewasa dengan mengintip dari sebuah lubang yang terdapat pada permukaan bagian atas di kinetoscope tersebut.
Hal yang menarik yang dilakukan oleh Edison adalah dengan memberikan sebuah tulisan cerita singkat pada poster pertunjukkan Kinetoscope. Bagaimana cerita singkat ini terdiri atas peristiwa-peristiwa adegan yang disebut sebagai sebuah kontinuitas. Karena kamera hanya ditempatkan pada satu titik tertentu dengan sudut pandang kamera yang tidak bergerak atau diam. Konteks yang sangat sederhana, dan hanya benar-benar merekam peristiwa yang terjadi saja.
Menariknya peristiwa yang dihadirkan oleh Edison juga merupakan sebuah rekayasa cerita yang dilakukannya. Bukan hanya berupa suatu peristiwa kehidupan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat di lihat, saat cerita para gadis yang berada di dalam kamar saling gebuk-gebukan bantal. Pada cerita yang lainnya, Edison juga menampilkan seorang penari dengan pakaiannya yang lebar, lalu penari tersebut memainkan pakaiannya itu dengan begitu atraktifnya, sehingga tarian ini menjadi sangat menarik.
Kiranya apa yang dilakukan oleh Edison dengan menuliskan cerita singkat pada poster pertunjukkan kinetograph-nya, oleh para sejarawan film dianggap sebagai sebuah skenario atau naskah!
Persoalan tersebut berkembang karena kebutuhan ekonomi. Di mana jika cerita dibangun dengan langsung merekam gambarnya, tanpa adanya satu acuan saja atau pegangan untuk merekam gambar, maka biaya akan membengkak. Mengingat tidak adanya keterangan apapun, seperti halnya lokasi yang tidak ditentukan dengan pasti, atau kapan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita, apakah Siang atau malam? Juga belum ditentukan. Ataupun berbagai hal lainnya. Bukankah ini berhubungan dengan biaya?
Faktor lain adalah
dampak dari teknologi, di mana pada periode awal
sinema, teknologi yang ada hanya sebuah kamera yang dapat merekam dan
menayangkan gambar. Sedangkan suara belum dapat diperdengarkan, seperti halnya sekarang yang secara sinkron dapat menyatu dengan gambar. Suara pada saat itu
hanyalah sebuah musik live yang langsung dipertunjukkan dan
diperdengarkan oleh para pemusik. Begitu juga dengan era setelah perkembangan
teknologi suara ditemukan macam gramophone, yang langsung menggantikan para
pemusik live tersebut. Jadi pada
saat itu, kontinuitas tidak ada pada suara, melainkan
hanya ada pada gambar. Kalaupun
ada kontinuitas pada suara, sifatnya lebih kepada aransemen musik yang
dimainkan saat pertunjukan sinema berlangsung.
Perubahan terjadi pada
skenario saat teknologi suara diciptakan. Sebelumnya para aktor hanya melakukan
gerakan tanpa ucapan. Dengan teknologi suara yang dapat sinkron dengan gambar, otomatis diperlukan kata-kata atau dialog untuk di ucapkan oleh para aktor, suara efek serta
musik yang diperlukan film juga perlu untuk ditambahkan di dalam skenario. Fungsi skenario pun bertambah saat era sistem studio
Hollywood di berlakukan, bagaimana skenario menjadi hal yang sangat penting,
karena kedudukannya sebagai suatu yang eksplisit dan seringkali menjadi
legalitas untuk memulai produksi, dengan konsekuensinya “melaksanakan produksi
atau syuting sesuai dengan apa yang tertulis di dalam skenario tersebut...” Margareth
Mehring.[1]
Banyak yang menganggap
bahwa kedudukan skenario pada awal periode sinema merupakan sebuah mitos
belaka. Karena keberadaan skenario itu sendiri dianggap belum muncul pada saat
itu. Sehingga menimbulkan beberapa mitos seperti; Pertama mitos bahwa
skenario pada awal-awal periode sinema merupakan suatu kontinuitas? Apakah
sebuah evolusioner langsung antara kontinuitas ke skenario? Lalu pertukarannya seperti
apa? Apa yang dideskripsikan dari kontinuitas ke skenario?
Kedua, mitos bahwa skenario
merupakan sebuah syarat produksi film, dan kontinuitas itu sendiri dengan
mudahnya didefinisikan begitu saja dalam era dimana mereka digunakan? Lalu
bagaimana selanjutnya, apakah kontinuitas tersebut hanya berupa rangkain
peristiwa saja? dan ketiga, mitos sensasional dari shot diartikan adalah hasil dari apa yang tertulis di dalam
skenario?
Pendapat lain mengatakan bahwa dialog hadir di dalam teks skenario setelah adanya teknologi suara, yang pada kenyataannya pendapat tersebut dianggap tidak relevan, mengingat perhitungan adegan demi adegan dan tindakan tokoh di dalam cerita termasuk di dalamnya terdapat inter-tittle, yang merupakan bentuk lain daripada suara dalam periode awal sinema. Dalam film Cricks and MArtin yang berjudul “A Visit to Peek Frean and Co.’s Biscuit Works” (1906), sebuah film aktualitas, inter-tittle teks diberikan seperti layaknya narator dalam dokumenter pada saat ini. Atau juga inter-tittle yang terdapat dalam film Ali Baba et Les Quarantes Voleurs (1905) milik Pathe merupakan bentuk lain dari penggunaan suara pada masa itu.
Suara dalam sinema awal juga ditegaskan dalam sudut pandang lainnya, bahwa dialog hadir dalam kontinuitas sebelum terdengar karena sebenarnya dialog ada dalam bentuk judul. Dengan kata lain suara memang tidak diperdengarkan, tetapi suara sudah dihadirkan dalam periode awal sinema ini.
Sehingga dari pertanyaan-pertanyaan terhadap mitos tersebut, kenyataannya harus ditinjau bahwa skenario berhubungan langsung dengan sejarah, teori dan praktek dari film itu sendiri. Karena mitos-mitos tersebut telah lebih dahulu popular dibandingkan dengan fakta-fakta baru untuk mematahkannya. Pekerjaan yang sangat rumit mengingat sejarah skenario tidak seperti sejarah sinema itu sendiri, sangat sulit untuk dilacak dan menemukan bukti-bukti yang konkret. Apalagi film secara durasi masa putarnya mengalami perkembangan dari berdurasi pendek hingga berdurasi panjang yang fungsi kedua-duanya ditujukan bagi pertunjukkan film bioskop.
Komentar
Posting Komentar