Teori film, seperti semua tulisan, adalah palimpsestik; ia membawa jejak teori-teori sebelumnya dan dampak dari wacana-wacana yang berdekatan. Penuh dengan kenangan refleksi sejarah yang panjang, teori menyimpan banyak perdebatan di pendahuluannya. Teori film harus dilihat sebagai bagian dari tradisi lama yang merefleksikan secara teoretis tentang seni pada umumnya. Para ahli teori film dari pergantian abad kedua puluh melalui Andre Bazin dan Jean Louis Baudry serta Luce Iragaray telah dikejutkan, diantaranya, oleh kemiripan yang luar biasa antara gua alegorisnya Plato dengan perlengkapan sinematik. Keduanya, baik itu gua Plato ataupun sinema sama-sama menampilkan cahaya buatan, dilemparkan dari belakang para orang yang terhukum/penonton. Di gua Plato, permainan cahaya telah menggambarkan manusia dan hewan, dan membuat orang-orang yang terhukum itu tertipu sehingga menyebabkan kekacauan karena begitu tipisnya antara pekerjaan meniru (simulasi) dengan realitas ontologis[1]. Para ahli teori kontemporer yang berseteru terhadap sinema seringkali memutar ulang, baik secara sadar ataupun tidak, menolak Plato terhadap seni yang fiktif karena telah menempatkan ilusi dan menimbulkan gairah yang lebih rendah.
Beberapa perdebatan terdahulu yang diwariskan oleh teori film yang cenderung ke estetika, medium yang spesifik, genre, dan realisme, merupakan tema yang akan menjadi motif utama di seluruh buku ini. Pembahasan estetika film, misalnya, mengacu pada sejarah panjang estetika pada umumnya. Estetika (dari kata Yunani aesthesis yang berarti persepsi, sensasi) muncul sebagai disiplin ilmu tersendiri pada abad kedelapan belas sebagai studi tentang keindahan artistik dan terkait isu-isu yang maha agung, yang aneh, yang lucu, dan yang menyenangkan. Dalam filsafat, estetika, etika, dan logika membentuk tiga serangkai atau triad ilmu "normatif" yang dikhususkan untuk menyusun aturan suatu yang indah, yang baik, dan yang benar, masing-masingnya. Estetika (dan Anti Estetika) mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah keindahan dalam sebuah karya seni? Apakah kecantikan itu "nyata" dan dapat diverifikasi secara objektif, atau subjektif, soal selera? Apakah estetika dari medium-yang spesifik? Haruskah sebuah film mengeksploitasi ciri khas dari mediumnya? Apakah "seni" itu merupakan suatu kehormatan jika dikaitkan hanya dengan beberapa film saja, atau apakah semua film adalah karya seni hanya karena status sosial mereka yang ditentukan secara institusional? Apakah film memiliki "panggilan" yang alamiah terhadap realismenya, atau untuk kecerdasan dan gayanya? Haruskah teknik itu menarik perhatian pada dirinya sendiri atau menonjolkan dirinya? Apakah ada gaya yang ideal? Apakah ada cara yang benar untuk bercerita? Apakah gagasan tentang keindahan selamanya benar atau apakah mereka dibentuk oleh nilai-nilai sosial di sekitarnya? Sejauh mana estetika terkait dengan masalah etika dan sosial yang lebih besar? Dapatkah keindahan dipisahkan dari kegunaan dan fungsi sosial, seperti yang disarankan oleh tradisi Kantian tertentu? Apa hubungannya antara teknik film dan tanggung jawab sosial? Apakah menyusuri shot, seperti yang dikatakan Godard, adalah masalah moralitas? Apakah ada korelasi estetis dengan ideologi tertentu seperti perbedaan fasisme dalam film Leni Riefenstahl dan Busby Berkeley, seperti yang disarankan oleh Susan Sontag? Bisakah film fasis atau rasis seperti Triumph of the Will atau Birth of a Nation menjadi “mahakarya” dari sisi artistik tapi hal yang menjijikkan dari sisi etika/politik? Apakah estetika dan etika begitu mudah dipisahkan? Apakah semua seni telah diubah secara permanen oleh Auschwitz, seperti yang diusulkan Adorno? Apakah kita membutuhkan estetika, atau apakah estetika itu dikompromikan tanpa harapan, seperti yang dikatakan Clyde Taylor (1998), dengan asal-usulnya dalam wacana rasis abad kedelapan belas? Atau dapatkah seseorang membedakan antara "Estetika" kapital-A, yang berakar pada pemikiran rasis Jermanik, dan "estetika" kecil sebagai perhatian, umumnya untuk semua budaya, dengan bentuk formal representasi dunia sensasional?
Argumen “Medium yang spesifik”, sama halnya, dengan menelusuri berapa lamanya keberlangsungan mereka dalam tradisi pemikiran yang panjang. Pendekatan spesifikasi medium tersebut berjalan setidaknya sejauh Poeticsnya Aristoteles, yang kemudian ke dalam perbedaan yang dibuat oleh filsuf Jerman Lessing (dalam Laocoön, 1766) tentang bagaimana seni spasial dan seni temporal, serta desakan untuk menetapkan apa yang penting bagi setiap media, itu yang menjadikannya “kebenaran” (para ahli teori film dari Eisenstein hingga Carroll secara eksplisit merujuk pada esai Laocoön tersebut). Pertanyaan tentang spesifikasi media juga membayangi terhadap latar belakang ketika kritikus (atau penonton biasa) menyebut film “terlalu teatrikal” atau “terlalu statis” ataupun juga “terlalu sastra”. Sepertinya penonton begitu percaya diri menyebutkannya, seolah-olah mereka sendiri yang menciptakan idenya daripada menerimanya dari industri, bahwa mereka “percaya kalau film itu adalah hiburan”, mereka juga mengajukan argumen medium yang spesifikasi, meskipun secara khusus hal tersebut bukanlah suatu bentuk pemikiran.
Pendekatan medium yang spesifik terhadap sinema mengasumsikan bahwa setiap seni memiliki norma bentuknya dan kemampuan akan ekspresi yang unik. Seperti yang ditunjukkan oleh Noël Caroll dalam Theorizing the Moving Image, dimana pendekatan ini memiliki dua komponen, yang pertama adalah internal, hubungan antara medium dan bentuk seni yang muncul darinya, dan satunya eksternal, merupakan hubungan diferensialnya antara bentuk seni dan media yang lainnya. Pendekatan esensialis mengasumsikan (1) bahwa film begitu pandai melakukan hal-hal tertentu (misalnya menggambarkan gerakan animasi) dan bukan yang lain (menatap objek statis), dan (2) bahwa film harus mengikuti logikanya sendiri dan bukan turunan dari seni lain, yaitu bahwa media harus melakukan yang terbaik dan bukan yang terbaik dilakukan oleh media lain.
Isu medium yang spesifik juga membawanya ke dalam masalah prestis komparatif. Terutama sastra seringkali dilihat sebagai media yang lebih terhormat, lebih unggul, dan pada dasarnya lebih “mulia” daripada film. Hasil ribuan tahun produksi sastra dibandingkan dengan produksi rata-rata film dalam satu abad, dengan sastra dinyatakan lebih unggul. Kata-kata yang dituliskannya, telah membawa aura kitab suci, yang secara intrinsik dikatakan sebagai media yang lebih lembut dan tepat untuk menggambarkan pikiran dan perasaan. Namun sinema dengan mudahnya dapat mengatakan hal itu, justru karena materi ekspresi sinema yang heterogen, mampu memiliki kompleksitas dan kelembutan yang lebih besar daripada sastra. Sifat audio-visual sinema dengan lima trek di dalamnya memungkinkan kombinasi sintaksis dan semantik yang jauh lebih kaya. Sinema memiliki sumber daya yang sangat bervariasi, meskipun itu jika beberapa sumber daya tersebut jarang digunakan (seperti halnya beberapa sumber daya sastra yang jarang digunakan). Film membentuk situs yang ideal untuk berorkestrasi berbagai genre, sistem narasi, dan bentuk tulisan. Yang paling mencolok adalah tingginya kepadatan informasi yang tersedia di sinema. Jika frasa klise menunjukkan bahwa “gambar bernilai seribu kata”, betapa lebih berharganya ratusan pengambilan gambar film biasa (masing-masing dibentuk oleh ratusan bahkan ribuan gambar) saat mereka berinteraksi secara simultan dengan suara fonetik, derau, materi tertulis, dan musik? Menariknya, sastra itu sendiri terkadang mengungkapkan semacam “kecemburuan” terhadap sinema, seperti ketika novelis Robbe-Grillet yang mencita-citakan bentuk masa kini akan keabadian sinema, atau ketika Humbert di Humbert karya Nabokov meratapi Lolita bahwa dia, tidak seperti seorang sutradara film, yang harus “memberikan dampak dari visi seketika itu juga ke dalam urutan kata-kata” yang sedemikian rupa sehingga “akumulasi dari fisik mereka dalam halaman sebenarnya telah merusak dalam sekejap saja, kejelasan kesan yang telah menyatu”.
Pertanyaan tentang kekhususan sinematik dapat melalui pendekatan (a) secara teknologi, dalam hal peralatan film yang diperlukan untuk memproduksinya; (b) secara linguistik, dalam hal “bahan ekspresi” film; (c) secara historis, dalam hal asal-usulnya (misalnya daguerreotypes, diorama, kinetoscpes); (d) secara kelembagaan, dalam hal proses produksinya (kolaboratif daripada individu, industri daripada artisanal[2]); dan (e) dalam hal penerimaan prosesnya (membacanya secara individu versus menerimanya dengan berkelompok di sinema). Sementara penyair dan novelis (biasanya) bekerja sendiri, sedangkan pembuat film (biasanya) berkolaborasi dengan sinematografer, art director, aktor, teknisi, dll. Sementara novel memiliki karakter, film memiliki karakter dan pemain, hal yang sangat berbeda. Dalam, Novel The Woman and The Puppet karya Pierre Louys tahun 1898 hanya menampilkan satu entitas (karakter Conchita) sedangkan adaptasi Bunuel dari novel That Obscure Object of Desire justru menampilkan tiga (atau lebih) entitas: ada karakter, dengan dua aktris yang memainkan peran, dan ada dubber yang mengisi kedua aktris.
Teori film juga mewarisi sejarah yang mencerminkan genre sastra. Secara etimologis diambil dari kata genus dari bahasa Latin (“jenis”) kritik “genre” pun dimulai, setidaknya dalam apa yang kemudian dikenal dengan “Western”, sebagai klasifikasi dari beragam jenis teks sastra dan evolusi dari bentuk sastra. Dalam Poetics, Aristoteles mengusulkan untuk memperlakukan “puisi ke dalam berbagai jenisnya, sehingga tidak terdapat kualitas esensial dari masing-masing jenis.” Definisi Aristoteles yang terkenal terhadap tragedi yang menyentuh berbagai aspek genre berkisar: terhadap jenis peristiwa yang digambarkan (tindakan dengan skala tertentu); kedudukan sosial dari karakter (bahwa bangsawan lebih baik dari diri kita sendiri); kualitas etika dari karakter (“kurang tragisnya” mereka); struktur naratif (menjalankan dramatisnya); dan efek penonton (menyingkirkan rasa kasihan dan ketakutan melalui “katarsis”). Dalam buku ketiga Republiknya Plato, Socrates menjelaskannya untuk membaginya menjadi tiga bagian (tripartite) bentuk sastra, yang didasari atas cara penyajiannya: (1) imitasi yang murni dialog (tragedi, komedi); (2) resital langsung (dithyramb atau bersifat puji-pujian); dan (3) campuran dari keduanya (seperti halnya yang ada dalam epik). Menyempurnakan Plato, Aristoteles malah membedakan antara media representasi, objek yang diwakili dan mode representasi. ‘Cara representasi’ menghasilkan triad (tiga serangkai) dari epik, drama, dan lirik yang familiar, sedangkan dari “objek” imitasi menghasilkan perbedaan yang berbasis pada kelas, antara tragedi (merupakan tindakan bangsawan) dan komedi (merupakan tindakan bangsawan yang dianggap lebih rendah). Dunia film, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, mewarisi kebiasaan menata karya seni ke dalam jenis-jenisnya, bahkan beberapanya diantaranya diambil dari sastra (komedi, tragedi, melodrama) dan yang lainnya lebih dikhususkan dari sinematik seperti: pemandangan, aktualitas, tableaux, travelogue, dan kartun animasi.
Sejumlah keraguan telah lama mengganggu teori genre. Apakah genre keberadaannya benar-benar sesuatu yang ada “di luar” dunia tersebut, atau hanya sebuah konstruksi analis? Apakah ada taksonomi genre yang terbatas atau pada prinsipnya tidak terbatas? Apakah genre adalah esensi Platonis yang abadi atau entitas yang fana dan terikat waktu? Apakah genre terikat budaya atau tidak berbudaya? Apakah istilah “melodrama” memiliki arti yang sama baik itu di Inggris, Prancis, Mesir, dan Meksiko? Haruskah analisis genre bersifat deskriptif atau proskriptif? Taksonomi genre dalam film terkenal tidak tepat dan heterotopik[3], memiliki beberapa kualitas ensiklopedia Cina seperti yang dijelaskan Foucault. Sementara beberapa genre didasarkan pada isi cerita (film perang, war film), yang lain dipinjam dari sastra (komedi, melodrama) atau dari media lain (seperti film musik, musical film). Diantaranya juga ada yang didasarkan pada performa pemain film (film Astaire-Rogers) ataupun berbasis pada anggaran (blockbucters), sementara yang lainnya berdasarkan pada status artistic filmnya (Art Film), identitas rasial (Black Cinema), lokasi (Western) atau orientasi seksual (Queen Cinema). Sedangkan hal lain seperti dokumenter dan satir, mungkin lebih baik dilihat sebagai “transgenre”. Materi pokok dapat dianggap sebagai kriteria terlemah dalam pengelompokan generik karena gagal memperhitungkan bagaimana subjek diperlakukan. Subjek perang nuklir, misalnya, secara umum dapat diterjemahkan sebagai satir (film Dr Strangelove), docu-fiction (War Game), porno (Cafe Flesh), melodrama (Testament, The Day After) dan dokumenter kompilasi yang satir (Atomic Cafe). Film Hollywood sendiri dapat berupa melodrama (film A Star is Born), komedi (Show People), musikal (Singin 'in the Rain), dokumenter verite (Lion's Love), parodi (Silent Movie), dan sebagainya.
Genre film, seperti genre sastra sebelumnya, juga dapat ditembus oleh ketegangan sejarah dan sosial. Seluruh aliran sastra Barat, menurut Erich Auerbach (1953) dalam Mimesis, telah bekerja untuk mengikis "pemisahan gaya" elitis yang melekat dalam model tragis Yunani, melalui dorongan demokratisasi (berakar pada gagasan Yudaik tentang “semua jiwa sama sebelum Tuhan”) yang melalui hal itu martabat gaya yang utama secara bertahap diberikan kepada kelas orang “rendahan”. Kemudian genre pun dilengkapi dengan konotasi kelas. Dalam sastra, novel, yang berakar pada dunia akal sehatnya dari fakta kalangan borjuis, menantang romans, yang terkait dengan gagasan aristokrat tentang kesopanan dan kesatriaan. Seni merevitalisasi dirinya dengan memanfaatkan strategi bentuk dan genre yang sebelumnya terpinggirkan, sesuai dengan apa yang disebut Viktor Shklovsky sebagai “law of the canonization of the junior branch” (“hukum kanonisasi cabang junior”). Beberapa film secara eksplisit menghubungkan kelas dan genre. King Vidor di film Show People, misalnya, membenturkan slapstick vaudevillian sebagai genre yang mewakili orang-orang yang bersahaja, dengan drama kostum sebagai genre kaum elit yang diidentifikasikan sebagai bangsawan.
Teori film juga mewarisi pertanyaan anteseden tentang artistiknya “realism”. Sebuah perjuangan yang luar-biasa karena elastisnya istilah tersebut, “realism” datang ke teori film yang sarat dengan tahta milenium dari perdebatan pendahulunya dalam filsafat dan sastra. Filsafat klasik membedakan antara realisme Platonis –penegasan tentang keberadaan universal yang absolut dan objektif, yaitu keyakinan bahwa bentuk, esensi, abstraksi seperti “keindahan” dan “kebenaran” terlepas dari persepsi manusia– dan realisme Aristotelian –pandangan bahwa universal hanya ada di dalam objek-objek di dunia luar (bukan di alam esensi ekstra-material). Istilah “realism” membingungkan karena penggunaan filosofis awal ini sering tampak bertentangan dengan realisme “akal sehat” –kepercayaan pada keberadaan fakta yang objektif dan upaya untuk melihat fakta-fakta ini tanpa idealisasi.
Konsep realisme, sementara pada akhirnya berakar pada konsepsi mimesis (imitasi) Yunani klasik, yang memperoleh signifikansi yang terencana hanya pada abad kesembilan belas, ketika datang untuk menunjukkan sebuah gerakan dalam seni figuratif dan naratif yang didedikasikan kepada pengamatan dan representasi yang akurat dari dunia kontemporer. Sebuah neologisme yang diciptakan oleh kritikus Prancis, realisme pada awalnya dikaitkan dengan sikap oposisi terhadap model romantis dan neo-klasik dalam fiksi dan lukisan. Novel-novel realis dari penulis seperti Balzac, Stendhal, Flaubert, Geroge Eliot dan Eca de Queiros membawa karakter yang sangat individual dan serius ke dalam situasi sosial kontemporer yang khas. Dorongan realis berdasarkan pada teleologi implisit dari demokratisasi sosial yang mendukung munculnya artistik “kelompok manusia yang lebih luas dan inferior secara sosial ke posisi subjek untuk merepresentasikan masalah eksistensial” (Auerbach, 1953, hlm. 491). Kritikus sastra membedakan antara realisme yang mendalam dengan demokratisasi ini, dan “naturalisme” yang dangkal, reduksionis, dan obsesif –yang paling terkenal dengan diwujudkan ke dalam novel-novel Emile Zola– dimana memodelkan representasi manusianya pada ilmu biologi.
Awal mula sinema bertepatan dengan semacam krisis dalam beberapa rancangan veristik[4] seperti yang diungkapkan dalam novel realis, dalam drama naturalis (seperti daging asli yang digantung di toko tukang daging yang sedang dipajang), dan dalam eksebisi mimetik yang obsesif. Perdebatan estetika yang sedang berlangsung dalam teori film berkaitan dengan argumen tentang apakah sinema harus naratif atau anti-narasi, realis atau anti-realis; singkatnya, yang berhubungan film dengan modernisme. Modernisme artistik, yaitu gerakan-gerakan seni (baik di Eropa maupun di luar Eropa) yang muncul pada akhir abad kesembilan belas, berkembang pada dekade awal abad kedua puluh, dan melembaga sebagai “modernisme tinggi” setelah Perang Dunia II, tertarik pada seni non-representasional yang dicirikan oleh abstraksi, fragmentasi, dan agresi. Terlepas dari modernitasnya yang dangkal dan kekaguman teknologinya, sinema dominan mewarisi aspirasi mimesis yang telah ditinggalkan oleh Impresionisme dalam lukisan, yang telah diserang oleh Alfred Jarry serta para simbolis di teater, dan yang telah dirusak oleh James Joyce dan Virginia Woolf dalam novel. Namun di dalam sinema dikotomi realis/modernis ini dapat dengan mudah dilebih-lebihkan. Ketika Hictchock berkolaborasi dengan Salvador Dali pada urutan mimpi di Spellbound apakah dia masih pra-modernis? Ketika Bunuel membuat film bergenre dalam industri Meksiko, apakah dia tetap menjadi avant-gardis?[5]
Isu realisme juga berkaitan dengan dialog antar budaya. Dalam kasus modernisme Eropa, seperti yang dikemukakan Bakhtin dan Medvedev (1985) dalam The Formal Method in Literary Scholarship, budaya non-Eropa menjadi katalis untuk supersesi, di Eropa, dari verisme[6] yang terikat dengan budaya yang mundur ke belakang. Afrika, Asia, dan Amerika telah menyediakan bentuk wadahnya dan sikap trans-realis alternatif. Dalam teori film, Sergei Eisenstein menggunakan tradisi ekstra-Eropa (yang diambil dari Hindi rasa, kabuki Jepang) sebagai bagian dari upayanya untuk membangun estetika film yang melampaui mimesis belaka. Gaya realis atau, lebih baiknya, sebagai ilusionis diungkapkan oleh gerakan modernis sebagai salah satu dari banyak strategi yang memungkinkan, yang salah satunya ditandai, dengan lebih jauh lagi, oleh provinsialitas[7] tertentu. Kawasan dunia yang begitu luas, dan periode sejarah seni yang panjang, telah menunjukkan sedikit kesetiaannya ataupun minatnya pada realisme. Kapila Malik Vatsayan berbicara tentang estetika yang sangat berbeda yang berpengaruh di sebagian besar dunia:
Sebuah teori estetika yang umumnya mengatur semua seni, baik yang dipertunjukkannya maupun yang mempengaruhinya, di Asia Selatan dan Tenggara. Kurang lebihnya dapat dikatakan, bahwa hal ini lebih ditujukan untuk menjelaskan penolakan terhadap mengidentifikasikan dari prinsip imitasi realistis dalam seni, yang membentuk hierarki realitas yang secara prinsipnya berupa petunjuk melalui pemindahan diikuti dengan manifestasi dalam seni kepercayaan bahwa waktu adalah siklus daripada linier. ...Tradisi seni ini tampaknya telah meyakinkan dari Afghanistan dan India hingga Jepang dan Indonesia selama lebih dari dua ribu tahun sejarah. (Dikutip dalam Armes, 1974, hlm. 135).
Di India, tradisi teater yang telah ada dua ribu tahun yang lalu, telah mempengaruhi sinema India, untuk berputar kembali ke drama Sanskerta klasik, yang menceritakan mitos budaya Hindu melalui estetika yang kurang didasarkan pada karakter yang koheren dan plot linier tapi lebih kapeda modulasi halus dari suasana hati dan perasaan (rasa). Lukisan Cina, dalam nada yang sama, sering mengabaikan perspektif dan realisme. Seni Afrika yang merevitalisasi lukisan modernis, juga mengembangkan apa yang disebut Robert Farris Thompson “mid-point mimesis“ (“mimesis titik tengah”), yaitu gaya yang menghindari realisme ilusionis dan hiperabstraksi.
Tentu saja, tradisi non-realis juga ada di Barat, dan bagaimanapun juga tidak ada yang secara intrinsik menganggapnya sebagai suatu yang “buruk” tentang realisme barat. Tetapi sebagai produk dari budaya dan momen sejarah tertentu, itu hanyalah salah satu dari banyak kemungkinan estetika. Memang, realisme sebagai norma dapat dilihat sebagai hal yang bersifat kedaerahan bahkan itu juga terjadi di Eropa. Dalam Rabelais and His World Bakhtin berbicara tentang “carnivalesque” sebagai tradisi kontra-hegemonik dengan sejarah yang membentang dari festival Dionysian Yunani dan Saturnalia Romawi, dan melalui realisme aneh model “carnivalesque” abad pertengahan, terus melalui Shakespear dan Cervantes, yang akhirnya ke Jarry dan Surealisme. Seperti yang diteorikan oleh Bakhtin, karnaval sendiri menganut estetika anti-klasik yang menolak harmoni dan kesatuan yang formal serta mendukung yang asimetris, yang heterogen, yang oxymoronic, yang beraneka ragam. “Realisme aneh” Karnaval mengubah estetika konvensional di atas kepalanya untuk menemukan jenis baru terhadap kecantikan yang lebih populer, kejang-kejang, pemberontak, yang lebih berani mengungkapkan keanehan akan suatu kekuatan dan keindahan laten akan “vulgar”. Dalam karnaval, semua perbedaan hierarkis, semua hambatan, semua norma dan larangan, untuk sementara dihentikan, sementara jenis komunikasi yang berbeda secara kualitatif, berdasarkan “kebebasan dan keakraban hubungan”, justru dibangun dan didirikan. Dalam kemeriahan kosmik karnaval, tawa memiliki makna filosofis yang dalam; itu merupakan perspektif khusus tentang pengalaman, yang tidak kalah mendalam dari keseriusan dan air mata.
Dalam Poetics, Problems of Dostoevsky’s Bakhtin berbicara tentang “Menippea”, genre artistik yang abadi yang terkait dengan visi karnaval tentang dunia dan ditandai oleh karakter oxymoronic, berbagai gaya, pelanggaran terhadap norma etika, dan konfrontasi kelucuan atau komik dari sudut pandang filosofis. Meskipun awalnya tidak dipahami sebagai instrumen analisis sinematik, kategori Menippea memiliki kapasitas untuk mendeprovinsialisasi[9] wacana kritis film, yang terlalu sering dikaitkan dengan konvensi verisimilitude[10] abad kesembilan belas. Pembuat film seperti Bunuel, Godard, Ruiz, dan Rocha dalam perspektif ini, bukan sekadar negasi dari tradisi dominan, melainkan pewaris tradisi lain ini, renovator mode abadi yang dicirikan oleh vitalitas protean[11].
[1]
Dimensi ontologis ini, digunakan untuk memperoleh atau melihat sudut pandang
dari ilmu pengetahuan, atau mengetahui bagaimana seseorang memperoleh dan
mengunakan ilmu pengetahuan. Dan dimensi ini ialah sesuatu yang suguh ada dan
nyata. Seperti dunia ini ada, dan memang benar-benar ada.
Sumber : https://www.kompasiana.com/lailatulmasruro0273/5da85307097f361d5400d062/pengertian-ontologis-epistemologi-aksiologis-rasionalisme-dan-empirisme?page=all
[2] Kata Artisan
itu sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti seorang
pekerja yang sangat ahli dibidangnya dan membuat satu produk dengan tangannya
sendiri/individual.
[3]
Heterotopik adalah sesuatu di luar tempatnya.
[4] Penguraian kembali suatu teks (karangan) dalam bentuk (susunan kata-kata)
yang lain, dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yang tersembunyi.
[5]
Untuk informasi lebih lanjut tentang Hitchock sebagai modernis, saya melihat “Hitchock and Bunuel” di Film Hitchock
yang tela di rilis. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang sifat problematik
melihat Hollywood sebagai yang "lain" modernismenya, lihat Morrison
(1998).
[6] Preferensi (yang disukai) materi pelajaran kontemporer sehari-hari untuk
heroik atau legendaris dalam seni dan sastra; suatu bentuk realisme. Kata
tersebut berasal dari bahasa
Latin verus (benar).
[7]
kampungan, tingkah laku
yang ke desa-desaan
[10]
Hal yang seakan-akan benar
[11]
Berubah-ubah atau berbagai macam
Komentar
Posting Komentar