Siapa yang dapat memutuskan bahwa
seperti apa sebenarnya karya seni itu? Jawaban sederhananya mungkin saja bahwa
karya yang telah dibuat oleh seorang seniman. Kita tahu bahwa seni telah dibuat
selama ribuan tahun: setidaknya sejak manusia pertama kali melukis gambar di dinding
gua, bahkan mungkin juga jauh sebelum itu. Secara umum, seni dari budaya
sebelumnya adalah upaya komunal dimana spiritualitas dan gagasan tentang siklus
kehidupan menjadi tema umum. Seiring berjalannya waktu, seniman membahas
masalah sosial (perang dan kesadaran sosial) dan menciptakan lebih banyak lagi ekspresi-ekspresi
individu dari identitas mereka (jenis kelamin dan ras).
Kuil-kuil besar di Mesir kuno, Yunani,
dan Roma jelas bukan hasil karya satu orang, dan dalam beberapa kasus, kita
tidak dapat memastikan apakah desain keseluruhannya merupakan gagasan dari satu
individu. Para arkeolog telah menemukan di dekat Lembah Para Raja di Mesir
sebuah desa, Deir el-Medina, yang ditempati oleh pengrajin yang membuat makam
yang kita kagumi saat ini. Katedral Eropa abad pertengahan[1]
adalah hasil dari keterampilan banyak seniman dan pengrajin yang berbeda-beda:
pemahat batu, pembuat jendela kaca patri, dan tukang kayu yang membuat
furnitur. Para pekerja terampil ini sebagian besar tetap anonim, kecuali
beberapa yang namanya ditemukan dalam manuskrip[2]
atau diukir pada karya seni. Tetapi meskipun kita mungkin tidak pernah
mengidentifikasi sebagian besar seniman periode awal ini, jelas bahwa manusia
selalu ingin menciptakan seni. Dorongan ini adalah bagian dari sifat kita, sama
seperti kebutuhan kita untuk makan dan tidur.
Karena upaya para seniman Renaisans untuk mengangkat profesi mereka sebagai seni liberal, dunia Barat pun telah mempopulerkan gagasan tentang seorang individu yang menciptakan karya seninya sendiri untuk mengekspresikan sesuatu yang sangat pribadi. Pada abad ke-19 dan ke-20, semakin umum bagi para seniman untuk menentukan penampilan dan isi karya mereka sendiri secara individual, dan dalam pencarian mereka akan bentuk ekspresi diri yang baru, menyebabkan karya seni yang dibuat seringkali sangat kontroversial. Hal ini tetap lah menjadi kebenaran sampai hari ini. Tetapi selama berabad-abad sebelumnya, sangat sedikit seniman yang bekerja sendiri. Bahkan seniman Renaisans sekalipun yang mempromosikan gagasan jenius kreatifnya kenyataanya juga mengoperasikan bengkel seni yang dikelola oleh asisten sang seniman dengan melakukan sebagian besar pekerjaan yang melibatkan asistennya itu dalam mengubah desain master mereka menjadi sebuah karya seni. Di Jepang pada abad kesembilan belas, Katsushika Hokusai yang eksentrik telah terkenal di seluruh dunia karena cetakannya, tetapi dia tidak dapat membuatnya sendirian. Seorang pemahat kayu memotong desainnya menjadi balok-balok dari cetakan yang telah dibuat salinannya. Bahkan saat ini, seniman sering kali mempekerjakan asisten bengkelnya tersebut untuk membantu mereka.
Gambar 2
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Mona_Lisa
Selama berabad-abad, di Jepang, mangkuk teh sangat dihargai karena kecantikannya. Mangkuk yang terlihat di gbr 1 akan dihargai karena variasi warnanya yang halus, sensasi sentuhan yang menyenangkan dari permukaannya yang sedikit tidak beraturan, dari bentuknya. Itu dirancang untuk dinikmati perlahan-lahan saat pengguna menyeruput teh. Sedangkan seniman Renaissance Italia Leonardo da Vinci (1452–1519) yang hidup sekitar 200 tahun lebih awal dari seniman yang membuat mangkuk teh ini, tetapi keduanya memiliki gagasan berbeda tentang apa artinya menjadi seorang seniman. Pembuat mangkuk teh Jepang bekerja dalam masyarakat yang menghargai tradisi. Seniman Jepang mengikuti dengan keterampilan tertinggi metode kerja dan pembuatan yang sudah mapan. Sedangkan Da Vinci, bagaimanapun juga, menjadi terkenal saat era di Eropa menghargai akan halnya kecerdikan individu. Dia adalah seniman yang sangat berbakat dengan minat dan penemuan visionernya yang jauh melampaui seni visual, hingga dari segi teknik dan sains. Antara 1503 dan 1506 ia membuat potret yang sekarang mungkin menjadi lukisan paling terkenal di dunia, meskipun pada masanya karyanya hampir tidak dikenal karena tidak dipesan oleh seorang pelindung seni terpenting. Da Vinci merasa tidak puas dengan membuatnya dalam kesamaan subjek (Lisa Gherardini, istri seorang pedagang sutra di Florence). Mona Lisa tersenyum dan menatap kearah audiens, seakan mengundang kita untuk mencari wajahnya, posenya, dan lanskap sekitarnya sebagai meditasi pada jiwa manusia (gbr 2). Baik itu karya sebuah mangkuk teh maupun potret lukisan merupakan karya seni yang hebat, tetapi mereka menampilkan gagasan yang sangat berbeda tentang apa artinya menjadi seorang seniman.
Kita juga harus mempertimbangkan bahwa
karya seni tidak hanya hasil karya dari mereka yang membuatnya, tetapi juga
dipengaruhi oleh masukan dari orang lain: patron (pelindung dan penyokong
seni) yang mempekerjakan seorang seniman untuk membuat sebuah karya (lihat Gertrude Stein sebagai Pelindung Seni (Art Patron) link https://axbarock.blogspot.com/2022/12/gertrude-stein-sebagai-pelindung-dan.html); kolektor
yang membelinya; dan dealer serta pemilik galeri yang menjualnya. Di zaman
sekarang, baik humas yang menyajikan karya seni maupun kritikus yang
mengulasnya di koran, di TV, atau di Internet telah membantu terhadap karya
seniman terkenal dan diminati. Semua orang ini, bukan hanya seniman, ikut membantu
menentukan seni apa yang kita lihat, dan sampai taraf tertentu mereka dapat
memengaruhi apa yang kita anggap sebagai seni. Dengan mengontrol akses bagi
mereka yang membeli karya seni, tempat-tempat seni ditampilkan, dan media yang
menginformasikan kepada publik tentang seni dan senimannya, mereka juga sering
mempengaruhi jenis seni apa yang sebenarnya dihasilkan oleh seorang seniman.
Ketenaran dan kesuksesan tidak selalu
datang seumur hidup seorang seniman. Mungkin contoh yang paling terkenal adalah
pelukis Belanda Vincent van Gogh (1853–1890). Selama sepuluh
tahun sebagai seniman yang aktif berkarya, Van Gogh sendiri telah menghasilkan
sekitar 1.000 gambar, sketsa, dan cat air, serta sekitar 1.250 lukisan lainnya.
Namun, sangat sedikit orang yang melihat karyanya seumur hidupnya; dia hanya
menerima satu pemberitahuan yang menguntungkan di surat kabar; karyanya hanya
ditampilkan dalam satu pameran; dan dia hanya menjual satu lukisan. Namun hari
ini karyanya sangat terkenal, terjual jutaan dolar, dan di negara asalnya
Belanda seluruh museum dikhususkan untuk karyanya.
Pelatihan bagi seniman juga membantu
menentukan siapa yang membuat karya seni dan karya seni apa yang ditampilkan di
galeri dan museum. Sebagai contoh, pelatihan tradisional bagi para pelukis di
Cina berfokus pada penyampaian keterampilan artistik dari seorang master kepada
murid-muridnya, yang belajar dengan meniru karya-karyanya dan karya-karya
seniman terkenal lainnya. Karena hanya sarjana dan pejabat pemerintah yang bisa
menjadi pelukis profesional. Pelukis lain dianggap hanya pengrajin yang
karyanya berstatus lebih rendah. Demikian pula, di Eropa abad pertengahan,
hanya mereka yang terlatih dalam asosiasi pengrajin yang disebut gilda[3]
yang diizinkan membuat karya seni. Misalnya, ada serikat tukang kayu, pembuat
kaca, dan tukang emas. Sistem di Eropa berubah pada abad keenam belas. Sekolah
yang disebut akademi[4]
pun diselenggarakan (pertama di Italia) untuk melatih seniman dalam kurikulum
yang sangat ketat yang dirancang oleh guru yang khusus. Sangat sulit untuk
berhasil sebagai seniman tanpa di didik di Akademi. Di Eropa modern dan Amerika
Utara, sebagian besar seniman berlatih yang diajarkan di sekolah seni, yang
terkadang merupakan sekolah independen, tetapi sering kali juga merupakan bagian
dari
[1]
Persekutuan: asosiasi seniman, pengrajin, atau pedagang abad pertengahan
[2]
Akademi: institusi pelatihan seniman baik dalam teori seni dan teknik praktis
Komentar
Posting Komentar