Dokumenter atau Feature pada Program TV



Terbit di: Jurnal Imaji, Edisi 7 No. 1, FFTV-IKJ Jakarta, 1 Januari 2015

Jual Buku Semua Bisa Menulis Skenario | Togamas.com: Toko Buku ...

Abstraksi
Sejak televisi mengisi ruang tontonan di rumah, dokumenter mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat. Media tontonan dokumenter menjadi tidak hanya menjadi tayangan alternatif, tetapi sudah begitu menjadi identitas televisi semacam kompas tv atau National geographic. Persoalan muncul saat dokumenter yang berkembang ini, didalam kontennya bersinggungan dengan pola-pola dramatik pada fiksi, serta kemasannya yang dianggap sebagai semacam sebuah karya baru yang disebut dengan Feature. Penamaan yang sampai saat ini menjadi persoalan di masyarakat, terutama para akademisi dan praktisi dunia pertelevisian di Indonesia. Bagaimana feature sepertinya menjelma sebagai sebuah mahluk yang identitasnya seperti abu-abu. Apakah feature merupakan sebuah karya baru pada media audio-visual, atau hanya merupakan sebuah arbitrer, kesepakatan umum tentang kata dikalangan professional dan praktisi televisi, terutama di Indonesia, yang pada kenyataannya para insan televisi ini, secara sejarah beranjak dari media cetak, yang mengenal tulisan feature sebelumnya.

Abstraction
See, how documentary of television now in the growing up very fast,

Latar Belakang

Sejak berdirinya televisi swasta di Indonesia, geliat masyarakat akan kebutuhan komunikasi, informasi dan hiburan yang ada pada media ini terus bergerak meningkat. Stasiun televisi public nasional, stasiun televisi swasta nasional, lokal dan tv internet dan sebagainya –pribadi ataupun kelompok- membutuhkan program-program yang harus tayang dan menjadi isi dari televisi tersebut, untuk memenuhi jam tayangnya. Sehingga program-program televisi menjadi hal yang sangat penting.

Program televisi yang disiarkan oleh televisi ini merupakan kemasan hasil dari produksi acara tertentu, dengan orientasi produksi tentunya dapatlah ditinjau atas bentuk produksinya.  Pendekatan isi didalam produksi acara atau program televisi dapatlah terbagi atas adanya konstruksi cerita, mengingat kemunculan sebuah program pastilah memiliki cerita tertentu. Hanya saja kecenderungan orang –di Indonesia- mengasumsikan cerita hanya ada pada film, atau pola film yang terdapat dalam tayangan televisi –seperti sinetron atau sitkom dan semacamnya, dimana cerita memiliki peristiwa, tokoh, seting dan sebab-akibat, baik yang cukup ketat ataupun sederhana seperti sinetron-.

Padahal cerita adalah kisah yang membungkus setiap program yang tayang di televisi, meskipun program tersebut bukanlah cerita seperti didalam film, macam dokumenter, berita atau olahraga sekalipun. Namun itulah cerita yang dikisahkan yang menjadi isi program tertentu. Hanya saja tidak dibungkus dengan elemen sebab-akibat.

Maka dari penjelasan diatas, dapatlah terbagi bentuk program televisi ini pada naratif dan non naratif. Dimana naratif dapat digambarkan sebagai program televisi seperti halnya film, sedangkan non naratif sebagai program yang ditempatkan pada program diluar naratif tersebut. Namun program-program naratif menjadi hal yang akrab pada para penonton, karena telah berlangsung telah lama. Bahkan cerita-cerita rakyat dan juga kisah di buku-buku suci merupakan bentuk naratif. Malah diawal-awal televisi menjadi bagian tontonan masyarakat, naratif –film Hollywood- menjadi isi program yang ditayangkan oleh stasiun televisi di Amerika. Sehingga penggambaran naratif dalam program televisi pun menjadi kebutuhan penonton dan bersifat permanen. Katakanlah program sinetron dalam hal ini. Sedangkan program-program non naratif, digemari penonton hanya berkala disaat-saat tertentu ataupun program-program tertentu, sehingga bersifat fluktuatif, tidak konsisten.

Salah satu program televisi, yakni Dokumenter, menjadi hal yang sangat menarik keberadaannya. Mengingat documenter sekarang ini bukan lagi hanya sebagai salah program yang ditayangkan, melainkan sudah menjadi identitas dari stasiun televisi tertentu, yang membedakan dengan stasiun televisi yang lainnya. Sebut saja stasiun televisi National Geographic. Tayangan documenter hampir menjadi isi keseluruhan dari program acara yang ditayangkan di National geographic.

Masalah

Begitu banyak bentuk dan jenis program televisi yang tayang, pada akhirnya memberikan peluang untuk menempatkan program tertentu pada nama tertentu, berdasarkan kriteria tertentu. Wajar apabila terjadi banyak penamaan pada bentuk dan jenis program. Namun menjadi sebuah polemik apabila didalam penamaan tersebut tidak disertai dengan alasan-alasan berdasarkan data dan sumber yang ada, terutama pada sudut pandang sejarah.

Dokumenter menjadi bentuk hal yang menarik dalam program televisi, terutama pada jenis dokumenternya. Program feature di televisi sepertinya menjadi hal yang sangat sepele dalam hal ini. Tetapi pada kenyataannya tidak. Banyak yang berpendapat bahwa program feature merupakan salah satu program televisi yang keberadaannya merupakan hal yang berdiri sendiri begitu saja, terutama hal ini dari kalangan yang dasar pemikirannya ilmu komunikasi.

Semarak berdirinya Fakultas ataupun jurusan komunikasi di kampus-kampus, menambah kekeliruan program feature yang dianggap ada ini, menjadi hal yang perlu diluruskan. Karena sangatlah sempit bila ditanyakan kembali apa itu program feature pada mereka yang menyebutkan program feature merupakan program televisi yang berdiri sendiri.

Adanya tayangan Dokumenter Televisi dianggap kalangan televisi di Indonesia, merupakan hal yang tidak ada hubungannya dengan media Film Dokumenter, malah sangat erat kaitannya dengan jurnalistik media cetak. Hal yang perlu kiranya untuk ditinjau kembali.

Lebih dari sekedar Gambar Bergerak

Dengan menelusuri sejarah bagaimana gambar dapat bergerak (motion picture), maka sebelum televisi menjadi media komunikasi, informasi dan hiburan, film telah memulainya terlebih dahulu. Sehingga program-program yang terdapat pada media televisi, secara berkala, merupakan adaptasi dan pengembangan dari jenis dan bentuk film. Oleh karenanya membahas suatu gejala program yang ada di tv, alangkah baiknya memulai dari sudut pandang sejarah. Mengingat begitu menggeliatnya pendidikan dan pengajaran di bidang produksi film dan televisi, sehingga persoalan program televisi feature, yang menjadi topic pembahasan kali ini mungkin dapat menjadi lebih terang.

Film-film pertama sangat sederhana sekali baik dalam bentuk maupun gaya. Film biasanya konsisten hanya menggunakan satu shot dan juga diambil dari jarak yang tidak dekat dengan peristiwanya (long shot). Cinematographe, kamera milik Lumière bersaudara ini lebih mudah dibawa dan ditempatkan ke mana saja, di jalan-jalan, taman, pantai dan tempat-tempat umum lainnya untuk mengambil gambar kegiatan sehari-hari atau even-even aktual. Hal ini terlihat dari karya-karya mereka seperti, Workers Leaving the factory (1895), yang merupakan karya pertama mereka dimana mereka mengambil gambar di jalan di depan pabrik mereka sendiri. Juga dalam Arrival of a Train at a Station (1895) juga mengambil gambar di stasiun kereta api dekat tempat tinggal mereka. Sedangkan dalam Baby’s Lunch (1895), Louis mengambil gambar saudaranya, Auguste bersama istri dan anaknya di rumah mereka sendiri.

Kemudian selanjutnya seorang operator kamera Lumiere, Eugene Premio, di tahun 1896 menghasilkan visual dari perekaman yang inovatif, dimana kamera diletakkan pada pada sebuah kapal yang bergerak. Sehingga gambar terlihat bergerak, seperti halnya gambar yang dihasilkan atas perekaman gerak kamera pan (panoramic).

Operator Lumière, Eugene Promio banyak mempengaruhi pembuat film di awal-awal sinema dengan menempatkan kamera di kapal bergerak untuk membuat merekam gambar sebagai kebutuhan film-filmnya, termasuk Egypte: Panorama des Vusi du Nil ("Mesir: Panorama dari Bank Sungai Nil," 1896).






Namun di tahun 1897, pendapatan atas hasil film yang terus menurun, membuat Lumiere menjual kamera cinemathographe-nya lebih terbuka. Sedangkan di Inggris di tahun yang sama populer menggabungkan beberapa gambar dalam satu rol film (tehnik super impouse). Lalu Robert William Paul pun membuat film dengan tehnik seperti halnya perekaman gambar dalam warta berita, yakni film yang terdiri atas beberapa shot-shot pendek. Operator kamera hanya akan memulai dan menghentikan perekaman gambar pada kamera hanya untuk merekam terhadap tindakan-tindakan yang diinginkannya, sehingga film berupa potongan atau cuplikan (highlight).

Sedangkan trik yang dilakukan oleh George Méliès, seorang pesulap Prancis –mendapatkan proyektor dari RW Paul-, pada filmnya The Vanishing Lady, 1897, yaitu menghentikan perekaman yang dilakukan kamera terhadap seorang lady, dan kemudian mengubah lady menjadi sebuah kerangka, lalu kamera merekam kerangka tersebut. Trik tersebut kemudian menjadi lebih popular saat digunakan Méliès pada film fantasinya yang berjudul Trip to The Moon.

Peristiwa-peristiwa diatas yang telah diuraikan tersebut, membuat film terbagi menjadi dua bentuk, yaitu Realitas (Dokumentasi dan Dokumenter) yang terlihat pada film karya Lumière, dan film-film Ekspresionis (Fantasi dan imajinatif) melalui film karya Méliès.

Sampai disini, keberadaan film telah melebihi dari apa yang dikehendaki orang sebagai gambar bergerak -motion picture-. Film telah menghadirkan dua sudut pandang yang berbeda dalam merekam suatu peristiwa tertentu, bagaimana peristiwa tersebut hadir didalam kamera. Meskipun sangat terlihat bahwa dominasi teater masih kentara pada cerita film, seperti yang disinggung sebagai tableuex yang sangat mendekatkan representasi film pada teater. Hal yang wajar mengingat teater pada saat itu dipandang sebagai seni kelas tinggi oleh masyarakat barat, terutama di kalangan menengah keatas, sedangkan film pada periode awal ini, mencoba untuk lebih memfungsikan peristiwanya dari film –“realitas” Lumière menuju pada film fantasinya Méliès.

Namun yang perlu dicatat pula, bahwa memfungsikan film untuk lebih sekedar sebuah perekaman peristiwa, juga dikembangkan secara teknis cara merekam peristiwanya. Popularnya tehnik super impouse di Inggris, yang dilakukan oleh George Albert Smith, dari Inggris, yang terlihat dalam filmnya The Corsican Brothers di tahun 1898. Kemudian Ferdinand Zecca, yang melakukan perekaman seorang wanita dengan menciptakan trik seperti mengintip dari lubang sebuah teleskop (1901).







Salah satu trik yang dilakukan Zecca, di periode awal sinema dan film agak bersifat cabul, “Scenes from Balcony” memperlihatkan seorang pria yang melihat melalui teleskop, diikuti oleh shot seorang wanita membuka baju, yang memberikan kesan pria tersebut sedang melihat wanita.









Film sepertinya ingin tetap memperlihatkan keberadaannya sebagai suatu eksplorasi yang memiliki nilai seni yang khas, bukan sekedar komunikasi yang hanya menyampaikan suatu pesan tertentu. Masalahnya adalah tampilan gambar yang diperlihatkan hasil dari teknis tersebut, dianggap bukan sebagai sebuah ungkapan yang khas dari film, hasil eksplorasi potensi keseluruhan yang memang sebenarnya terdapat di film, sehingga teknis tersebut terjadi karena didasari atas keinginan bahwa teknis tersebut dilakukan untuk pencapaian cerita sebagai sebuah kisah. Dengan kata lain eksplorasi teknis bertujuan untuk mempertunjukkan atraksifitas saja. Cerminan para pembuat film yang sebenarnya tetap berusaha agar film dapat diterima oleh masyarakat Barat di semua kalangan.

Sayangnya pertunjukkan film yang masih sebagai tontonan rakyat di pasar malam, menjadikan trik-trik tersebut, dan juga koherensi cerita dengan teknis pengambilan shot tersebut yang dianggap belum menemukan pandangan yang baik, menjadikan hal tersebut sebagai suatu alasan bahwa film belum menemukan cara bertutur dan berekspresi yang khas dari mediumnya dan dianggap masih sangat tergantung oleh teater.

Dari gambaran singkat tentang kemunculan bahasa film pada periode awal tersebut terdapat dua hal penting, yang pertama bahasa film telah muncul pada tahap-tahap awal dari sejarah perkembangan film di dunia meskipun telah dilakukan tetap dianggap tidak lebih hanya untuk kepentingan sensasi semata. Kedua, bahasa film sangat dipengaruhi oleh medium-medium ekspresi lainnya, khususnya teater dalam menuturkan kisah-kisahnya. Namun demikian, di periode awal ini, sebenarnya film telah memperkaya dirinya menuju kesebuah ungkapan bahasa film yang khas, film lebih dari sekedar gambar bergerak.

Pada persoalan kisah cerita, periode awal film, melalui Lumiere, hanya menghadirkan peristiwa keseharian yang sederhana, yang kemudian melalui Melies, cerita menjadi sangat tereksploitasi dengan kreatif.

Bernama Dokumenter

Hadirnya film-film milik Méliès, membuka pintu masuknya keinginan-keinginan dan tujuan-tujuan dalam film, yang ternyata membuat film mengembangkan potensinya. Perkembangan selanjutnya, cerita menjadi bagian penting dari film. Pembuatan cerita pun dilakukan. Selain itu juga memfilmkan karya-karya sastra yang sudah dikenal mesyarakat umum. Hadirnya Hollywood sebagai industri film, menjadikan segala sesuatunya berorientasi pada nilai faktur, termasuk cerita. Pola cerita pun pada akhirnya terbentuk. Teknis pengambilan gambar pun disiasati bukan hanya sekedar sensasi, melainkan suatu maksud eksplorasi dari tatanan bahasa. Film pun menjadi sebuah bahasa yang khas adan unik. Sinema Klasik Hollywood, menjadi struktur tontonan yang familiar di masyarakat Amerika dan Eropa, dan seterusnya berlanjut ke Seluruh Dunia. Sinema Klasik Hollywood telah membangun dan menenamkan naratifnya pada penonton didalam film-filmnya.

Sedangkan film-film yang berorientasi pada Lumiere, memunculkan nama Dziga Vertov sebagai seorang yang membawa bentuk karya lebih mengedepankan “realita”, mengusung apa yang telah dilakukan Lumière Bersaudara (Auguste dan Louis). Karya Vertov, dinilai banyak kalangan sebagai sebuah film reportase, yakni salah satu bentuk film yang dianggap kalangan sebagai jenis film warta berita, meskipun sebelumnya telah dijelaskan bahwa RW Paul telah memulainya di tahun 1897.

Kemudian di tahun 1922, Robert Flaherty dengan karyanya yang berjudul Nanook of The North, yang masa putarnya sangat panjang/lama –pada saat itu- sehingga disebut sebagai film dokumenter feature pertama yang dibuat sineas (penggunaan feature disini berhubungan dengan durasi tayang film, bukan bentuk ataupun jenis film).

Lalu di tahun 1926, John Grierson, seorang akademisi muda yang sedang meneruskan minatnya pada ilmu komunikasi, bukan praktisi pembuat film, menulis tinjauannya di New York Sun, tentang pendapatnya terhadap film etnografi Flaherty yang berjudul Moana, yang dalam tulisannya tersebut menggunakan dokumenter sebagai istilah.

Selanjutnya meskipun film-film dokumenter tetap di produksi, akan tetapi ruang dokumenter untuk tayang di bioskop-bioskop, kiranya menjadi persoalan sendiri. Munculnya media tv dan evolusi terhadap kamera yang lebih portable, menyebabkan dokumenter seperti menemukan kehidupan keduanya. Dokumenter pun di produksi dengan berbagai macam jenis, dengan sasaran tayangannya ada pada media tv. Kompas tv di tanah air dan National Geographic di Amerika dan dunia, merupakan stasiun televisi yang pada akhirnya mengusung dokumenter sebagai basis tayangan televisi.

Penayangan Awal Program TV Di Dunia (Amerika)

Pengaruh film tidak akan pernah terlepas dari penayangan program-program televisi diawal-awal berdirinya televisi. Pemahaman penonton akan naratif yang telah berlangsung beberapa tahun sebelumnya di film, menjadikan televisi mendapatkan dampak yang sangat signifikan. Pada akhirnya aliansi film dan tv pun terjadi. Padahal sebelumnya, dimana tahun-tahun setelah perang dunia II, studio film Amerika dan industri Televisi saling bertentangan yang disebabkan beberapa hal, diantaranya:

-          TV telah mencuri pelanggan bioskop yang telah menganut pelangggan bioskop yang telah menganut sistem studio dan telah mendominasi pasar naratif Amerika.
-          Di tahun 50-an telah menjadi decade terakhir bagi pemirsa USA yang mengandalkan bioskop sebagai hiburan.
-          Di tahun 60-an, tv telah menggantikan peran bioskop di Amerika sebagai bentuk hiburan, dan industri film pada saat itu telah mengalami hal yang sangat pahit.
-          Situasi ini sebenarnya sama halnya dengan yang dirasakan oleh para eksekutif film tv yang membenci adanya kepentingan tertentu yang sangat berkuasa di tv yang dirasakan mengganggu.
-          Begitu pula sebaliknya, rekan-rekan mereka yang ada di industri tv, ragu-ragu untuk berurusan dengan studio film.
-          Produser tv ingin menciptakan materi mereka sendiri dan tidak harus bergantung pada keinginan dari industri film bagi produk mereka.

Sehingga pada saat itu terlihat bahwa tv lapar akan naratif untuk produksinya; sedangkan studio film masih dikontrol oleh ribuan film. Kesadaran akan kebutuhan satu sama lainnya, menyebabkan situasi terbalik dari pertentangan menjadi aliansi.

Setelah awal-awal mereka berjalan, film-film semacam warehoused, jarang terdengar lagi, dan dengan demikian tidak menjadikannya aset finansial. RKO, Monograme dan Republic –yakni tiga studio yang lebih kecil- adalah yang pertama kali untuk memulai penyewaan film-film mereka, yakni film-film yang diproduksi beberapa waktu yang lalu/film lama/usang. Untuk tayang di tv. Melihat peluang, dengan segera studio-studio besar pun mengikuti jejak mereka.

Tak lama setelah itu produksi film baru pun dilakukan, bahkan diproduksi dengan lebih cepat yang memang disajikan khusus untuk tayangan tv. Keberhasilan rating pada program Saturday Night at The Movie (1961) menyebabkan semua jaringan siaran mengikuti pola menampilkan “bioskop malam”. Pada akhir decade ini, belakangan banyak muncul pula pertunjukkan bioskop yang mengacu pada film-film yang berjalan di tv hampir setiap malam minggunya.

Sejak saat itu pula hubungan antara film dan televisi telah menjadi hal yang sangat kompleks. Dengan demikian, tv yang pada awalnya diremehkan, pada kenyataannya, telah membuat sebagian besar studio film turut memiliki dan mengoperasikan produksi tv, dan mengaburkan perbedaan ekonomi diantara kedua media tersebut.

Standarisasi dengan sendirinya tercipta dari naratif yang digunakan pada film sebagai standar program tv, meskipun standar naratif tv tidaklah seketat dengan apa yang ada pada film. Ini dapat dilihat pada program-program semacam Saturday Night, film teatrikal di WGN, WWOR dan WTBS, tv model Ted Turner.

Tidaklah berbeda jauh dengan Amerika, di Indonesia hal yang sama pun terjadi. Dimana konsumen tv, telah akrab sebelumnya dengan naratif film bioskop. TVRI sebagai media tv pertama, juga mengandalkan tayangan yang bersifat naratif –bukan istilah drama atau non drama, tapi akan lebih tepat bila program di televisi itu terbagi atas naratif dan non naratif, karena kata drama dan non drama tersebut berasal dari kata dran yang berasal dari Yunani yang memiliki arti tindakan (action), sehingga kalau kata drama dan non drama yang dipakai, maka akan memiliki pengertian bahwa program di televisi terbagi atas program yang memiliki tindakan (action) dan program yang tidak memiliki tindakan (non-action), sehingga sangat mustahil bila hal ini diberlakukan pada program-program di televisi, padahal sekalipun itu program memasak di televisi, sangat jelas ada tindakannya- sebagai standarisasi program di televisi.

Di Indonesia Para Jurnalis Media Cetak ke Industri TV

Di Indonesia sendiri, munculnya RCTI telah memberikan gambaran bahwa liberalisasi pertelevisian pada akhirnya telah dibuka oleh pemerintah, khususnya orde baru yang berkuasa pada saat itu. TVRI yang menjadi satu-satunya media layar kaca, tidak memberikan peluang terhadap obyektifitas informasi karena sikap preventif pemerintah. TVRI menjadi media propaganda terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Khususnya dalam hal ini pada tayangan jurnalistik televisi, siaran berita –news- atau siaran-siaran lainnya yang merupakan memang dikhususkan untuk menginformasikan dari program yang dianggap sebagai keberhasilan pemerintah.

Berdirinya RCTI sebagai televisi swasta, otomatis membutuhkan tenaga kerja untuk dapat menjalankan program-program televisi, yang pada saat itu sumber daya manusia sangatlah terbatas. Dimana keterbatasan disini maksudnya adalah profesi yang bergelut di bidang pertelevisian ataupun audio-visual hanya didapat dari pelatihan-pelatihan TVRI ataupun karyawan TVRI itu sendiri serta dari kalangan perfilman, baik pada karyawan PPFN ataupun pekerja lepas yang telah berpengalaman dalam produksi film. Selebihnya adalah mereka yang berpengalaman pada bidang media masa lainnya, seperti surat kabar dan radio. Kemudian beberapa kalangan akademisi yang berada pada jalur komunikasi ataupun produksi film di luar negeri –itupun dengan catatan masih minim sekali lulusannya-. Meskipun beberapa kalangan dari bidang diluar pertelevisian ataupun audio-visual dan komunikasi, juga direkrut dengan pertimbangan nantinya diadakan pelatihan-pelatihan khusus terhadap kalangan tersebut.

Dengan hal tersebut, dengan keterbatasan sumber daya manusia, serta hanya beranjak pada pengalaman kerja dibidangnya masing-masing, sangat memungkinkan sekali adanya sikap arogansi pengetahuan masing-masing dalam mencermati ataupun menciptakan karya program tertentu baik terhadap teknis ataupun konten dari program, terutama pada program dokumenter di televisi. Unsur dokumenter di televisi pada umumnya mengadopsi dari dokumenter yang telah ada –film dokumenter- baik secara teknis ataupun cara bertuturnya. Ada beberapa gaya dan jenis dokumenter dengan beberapa pendekatan pada film dokumenter, yang kemudian dikembangkan didunia pertelevisian. Sehingga pencapaiannya pada saat ini dapat dilihat dengan apa yang dikenal dengan program-program reality show. Tetapi belakangan dengan sangat nyaring bahwa ada sebuah program televisi yang mengidentifikasikan dirinya dengan istilah FEATURE. Dimana program sejenis identik dengan dokumenter baik secara teknisnya maupun secara kontennya.

Sebenarnya persoalan seperti ini muncul karena dokumenter tidak ditempatkan secara bijaksana. Perekrutan sumber daya manusia yang dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi, terutama dengan direkrutnya para jurnalis media cetak ke televisi, telah menyebabkan pergesekan ini sampai sekarang. Selain penyebab juga diamininya hal tersebut oleh para praktisi dan juga kalangan akademisi terhadap adanya karya feature di televisi ini. Entah kenapa hal ini seperti dibiarkan dan tetap dijaga kelestariannya. Padahal sudah sangat jelas bahwa karya feature itu sendiri sekali lagi ditegaskan merupakan karya dokumenter semata. Meskipun itu dalam media yang dianggap berbeda antara televisi dan film.

Mungkin ada baiknya kalau persoalan feature ini muncul karena beberapa faktor, seperti:
-          Teknis perekrutan sumber daya manusia di televisi yang merekrut beberapa jurnalis media cetak ke industri televisi telah membawa pengetahuan jurnalistik media cetak ke televisi.
-          Minimnya informasi pengetahuan pada awal-awal stasiun televisi swasta berdiri, terutama menyangkut pengetahuan dokumenter.
-          Masih membedakannya media tayang antara televisi dengan film pada karya dokumenter. Malahan dalam hal ini ada yang menyebutnya dokumenter yang sangat film terhadap beberapa karya dokumenter secara keseluruhannya apabila menampilkan shot yang memiliki konsep pencahayaan (lighting) low key dan banyak menampil shot extreme close up. Sekarang ini banyak ditayangkan Kompas tv.
-          Sikap arogansi dan seniorisasi para pelaku industri kreatif televisi dalam menempatkan dokumenter itu sendiri.
-          Tidak adanya penelitian, baik sebuah catatan kecil di media ataupun penjelasan dalam bentuk lainnya yang memberikan solusi pada persoalan semacam ini oleh kalangan tertentu, baik akademisi ataupun praktisi.

Metode Informasi pada Film sebagai dasar Bercerita Feature

Banyak beranggapan bahwa plot yang dihadirkan pada karya feature sangatlah berbeda dengan yang terdapat pada dokumenter secara umumnya. Padahal plot yang ada pada dokumenter sebenarnya telah selesai dibahas pada film. Jadi bukanlah sebuah persoalan yang menjadi perbedaan. Mengingat film memiliki beberapa jenis, seperti film fiksi, dokumenter animasi dan eksperimental.

Plot menghadirkan atau menyiratkan informasi cerita. Plot juga dapat mengatur isyarat dengan cara menahan informasi demi rasa ingin tahu atau kejutan. Atau plot dapat memberikan informasi sedemikian rupa untuk menciptakan harapan atau ketegangan agar dapat lebih meningkat. Semua proses ini merupakan narasi, bagaimana cara plot menyebarkan informasi cerita untuk mencapai efek tertentu. Narasi adalah proses dari peristiwa-per-peristiwa untuk membimbing penonton dalam membangun cerita dari plot. Banyak faktor yang masuk ke dalam narasi, tetapi yang paling penting adalah untuk tujuan para kreator film dalam melibatkan keluasan dan kedalaman informasi plot cerita yang dihadirkan.

Informasi yang ada didalam cerita film baik itu film fiksi ataupun film dokumenter, memiliki nilai yang luas dan dalam. Plot, yang berisi peristiwa-peristiwa tertentu, dengan terstruktur memberikan rentang informasi tersebut yang berada pada batas keluasan dan kedalaman. Bagaimana informasi dapat memberikan pengertian rentangan yang luas pada informasinya bila saja peristiwa-peristiwa yang dimunculkan merunut pada hukum periode atau masa. Sebagai hal yang paling mudah dipahami dalam memberikan informasi yang luas, apabila peristiwa-peristiwa yang dihadirkan didalam cerita film, diurutkan berdasarkan nilai kronologis yang ada pada suatu peristiwa.

Lebih tepatnya untuk sebuah contoh, film-film dokumenter yang peristiwanya disusun berdasarkan alpabetikal, memiliki rentang informasi yang luas. Dokumenter Biografi yang memiliki informasi tokoh yang disusun berdasarkan periode dari perkembangan kehidupan dirinya –anak-anak, remaja dan dewasa-, adalah contoh keluasan dalam memberikan informasi.

Sedangkan untuk menyimpulkan bahwa isi cerita film memiliki rentang informasi yang dalam adalah, apabila peristiwa-peristiwa yang dihadirkan didalam film bertujuan untuk mengupas tuntas suatu masalah tertentu. Lebih mudahnya dapat kita lihat pada film-film dokumenter investigasi.

Dokumenter TV lebih tepat untuk menyebut istilah Feature

Pada buku Teknik Produksi Program TV yang ditulis oleh Fred Wibowo, dijelaskan definisi dari feature, yaitu suatu program yang membahas suatu pokok bahasan satu tema, diungkapkan lewat berbagai pandangan yang saling melengkapi, mengurai, menyoroti secara kritis dan disajikan dengan berbagai format (bab 9 : 188).

Kemudian dijelaskan kembali pada paragraph berikutnya pengertian dari format tersebut adalah wawancara, show, vox-pop, puisi, musik, nyanyian, sandiwara pendek atau fragmen (9:188). Selanjutnya juga dijelaskan didalam buku tersebut bahwa feature merupakan gabungan antara unsur dokumenter, opini dan ekspresi (9:189).

Kemudian beberapa kalangan jurnalistik tv yang menyebutkan program tv feature, sebagai sebuah bentuk karya yang berbeda dengan karya dokumenter, dengan alibi yang tidak memiliki dasar yang pasti, mengungkapkan bahwa karya feature ini adalah sebuah karya yang lebih menitik-beratkan pada kedalaman informasi, jelas-jelas hanya mencari-cari alasan yang tak pasti dan terkesan membela dirinya. Film dokumenter seperti yang telah dijelaskan telah mencakup kedua hal tersebut didalam melayani informasinya.

Dengan penjabaran diatas, jelas sudah bahwa karya program tv yang dimaksudkan dengan feature, hanyalah istilah yang digunakan dengan mengadopsi secara serampangan. Begitu beragamnya bentuk program televisi yang mengusung isi dan tema sebuah realitas tertentu, hanyalah varian dari format awalnya, yakni dokumenter. Kata feature hanyalah diperuntukkan bagi durasi jam tayang atau masa putar sebuah film, yang lebih tepatnya film panjang, karena berdasarkan durasinya film terbagi atas film pendek –short film-, film menengah –middle film- dan film panjang –feature film-.

Maka dengan pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya, karya feature pada televisi dapat dikatakan TIDAK ADA, atau istilah ini tidak dikenal pada karya-karya yang dimaksudkan oleh kalangan yang mengusung istilah ini, karena nama dari program ini sudah begitu identik dan sudah menemukan jati dirnya sebagai DOKUMENTER, kalaupun untuk membedakan karya dokumenter, hanyalah sebatas pada ruang media penayangannya saja, yaitu film dan tv, maka akan jauh lebih baik dan lebih bijak dengan memberikan istilah karya feature ini sebagai karya DOKUMENTER TV.

Sedangkan untuk penegasan sekali lagi, kata feature secara umumnya dikenal hanya sebagai persamaan dari durasi atau masa putar tayangan sebuah film, baik itu film fiksi dan film dokumenter.

Maka fakta yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut, bahwa:
-          Sejak kemunculannya, film telah mempertunjukkannya kedalam dokumenter, meskipun masih teramat sederhana.
-          Film memiliki bahasanya yang unik dan khas, tidak hanya pada unsur teknis, tetapi juga pada kisahnya. Dengan kata lain, film apapun akan memberikan kisah, meskipun itu sebuah film abstrak.
-          Kehadiran TV telah memberikan ruang baru terhadap dokumenter. Eksplorasi dokumenter pun semakin kaya.
-          Di Indonesia, berdirinya stasiun TV Swasta menyebabkan masuknya para jurnalis media cetak dan membawa apa yang menjadi cirri media cetak kedalam media elektronik, tv. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya istilah feature di media tv.
-          Definisi feature yang tidak jelas dan serampangan bahkan tidak memiliki sumber yang pasti, menyebabkan kebingungan, bahkan diantara para jurnalis tv itu sendiri.
-          Kekuatan senioritas dikalangan jurnalis media cetak tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan media film dan tv.
-          Unsur teknis dan penuturan naratif pada film (bioskop dan dokumenter) merupakan fakta bahwa karya feature bukanlah karya audio-visual, melainkan karya tulisan media cetak.
-          Rentang informasi naratif yang diberikan baik pada film ataupun dokumenter, bukanlah sebuah standar definisi dari isitilah yang dimaksud dengan karya feature.
-          Feature hanyalah istilah yang digunakan sebagai durasi pada film (bioskop dan dokumenter) yang penayangannya lebih dari 1 jam/60 menit.

Dengan demikian dari uraian yang telah dijelaskan diatas sebelumnya, dapatlah menjadi tolok ukur kita dalam menggunakan istilah feature pada karya dokumenter televisi. Untuk itu sebaiknya hanya ada satu pertanyaan yang harus dijawab dari pembahasan ini, yaitu:

Akankah para jurnalistik media cetak juga mau mengakui dan setuju untuk memberikan istilah pada karya tulis feature di suratkabar dengan istilah dokumenter?






Daftar Pustaka

Biran, Misbach Yusa, Tehnik Menulis Skenario, Pustaka Jaya

Buttler, Jeremy, Television Methods and Aplication,

Bordwell, David and Kristin Thompson, Film History an Introduction, New York-Americas, McGraw-Hill Higher Education, 2003

Bordwell, David and Kristin Thompson. Film Art an Introduction, eight edition, Mc Graw-Hill Higher Education – New York, 2008.
Wibowo, Fred, Teknik Produksi Program Televisi



Komentar

Posting Komentar