MELIRIK SINEMATOGRAFI SEBAGAI MUATAN LOKAL



Penulis : Budiman Akbar
Terbit di: Jurnal Imaji, Edisi 5, No 1, FFTV-IKJ Jakarta, 1 Januari 2013.

 
 
Abstrak
Meskipun di tahun 2013 ini pemerintah akan diberlakukan sistem pendidikan yang berbeda dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebelumnya, tetapi dengan tetap mempertahankan mulok, setidaknya hal ini adalah peluang sebagai pintu masuk keilmuan sinematografi untuk diberikan di sekolah-sekolah, baik sekolah menengah pertama ataupun sekolah menengah atas. Hal ini guna menunjang pendidikan perfilman nasional pada khususnya dan produksi film pada umumnya. Oleh karenanya diperlukan kurikulum yang menyeluruh sebagai konsekuensi dari keinginan tersebut. Tidak adanya arahan dari sebuah visi perfilman nasional, menyebabkan manejerial pendidikan mulok sinematografi sepertinya terkesan tidak memiliki fungsi dan manfaat bagi perfilman. Apalagi ditambah dengan tidak adanya institusi perguruan tinggi yang melakukan penelitian secara konkrit, tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar pendidikan mulok sinematografi, semakin memperkuat ketidak-pedulian dan ketidak-seriusan para insan perfilman untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan perfilman nasional.

Kata kunci: mulok, sinematografi, kurikulum, perfilman

Jual Buku Semua Bisa Menulis Skenario | Togamas.com: Toko Buku ...


Latar Belakang

Kurikulum Pendidikan Menengah memasukkan Mata Pelajaran Muatan Lokal sebagai berbasis kompetensi dasar responsif untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (4), Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 60 ayat (4), dan Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mata Pelajaran Muatan Lokal ini selanjutnya dikenal dikalangan sekolah dengan singkatan mulok.

Dalam mengembangkan model mata pelajaran muatan lokal sebenarnya peserta didik harus diberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Lebih jelas lagi terutama agar peserta didik dapat:
·         Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya.
·         Memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya sebagai bekal siswa.
·         Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional.

Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran muatan lokal dapat ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan.

Mencari kemudian menelaah dan pada akhirnya mengambil keputusan dalam mengaplikasikan dari, atas apa yang dijelaskan inti dari sebuah mata pelajaran Muatan Lokal, bahwa memiliki pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan, pada akhirnya menempatkan Sinematografi sebagai salah satu –dapat dikatakan- primadona Mata Pelajaran Muatan Lokal di beberapa sekolah negeri, dan mungkin sedikit melebih-lebihkan kedudukan sinematografi telah menggeser Pelajaran Bahasa Asing –Bahasa Prancis, Bahasa Jerman, Bahasa Mandarin dan lain-lain. Pelajaran Sinematografi sekarang ini tidak hanya diberikan pada sekolah-sekolah menengah atas, tetapi juga sudah merambah dan diberikan pada sekolah-sekolah menengah pertama di Jakarta beberapa tahun belakangan ini –meskipun belum ada data yang konkrit, tetapi hal tersebut dapat dilihat pada semaraknya beberapa festival film tingkat pelajar dalam even sekolah-sekolah. Bahkan meskipun sudah menjadi mata pelajaran mulok disekolah, Pendidikan Sinematografi mendapatkan jam tambahannya (bersama Pelajaran Fotografi) kedalam bentuk Ekstra Kurikuler di beberapa sekolah yang muatan lokalnya sinematografi. Sedangkan di beberapa sekolah tertentu sinematografi dan fotografi masih sebagai Ekstra Kurikuler. Bahkan pada kasus yang lain di sekolah swasta Pelajaran Sinematografi dimasukan kedalam Pelajaran Bahasa seperti di Sekolah High Scoope –sampai tulisan ini dibuat keberadaan pembahasan sinematografi belum ada informasi di Sekolah High Scoope ini terjadi perubahan.

Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Republik Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, yang juga guru di SMAN 13 Jakarta Utara ini, yang dikutip dari Koran Jakarta, selama ini mulok dilaksanakan dengan memilih mata pelajaran berupa bahasa Inggris, sinematografi, bahasa daerah, komputer, dan sebagainya. Mengindikasikan bahwa sinematografi memang benar-benar menjadi pilihan pihak sekolah tertentu.

Pelajaran Sinematografi sebagai mulok, memang masih terbatas pada sekolah-sekolah unggulan di wilayah-wilayah Jakarta (Selatan, Barat, Pusat, Timur dan Utara) yang berpredikat SSN (Sekolah Standar Nasional) dan RSBI (Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional), sebut saja beberapa diantaranya adalah: SMAN 6, SMAN 8, SMAN 28, SMAN 55, SMAN 60 yang semuanya ada di wilayah Jakarta Selatan, SMAN 13 Jakarta Utara, SMAN 78 Jakarta Barat, SMAN 39 Jakarta Timur dan SMAN Unggulan Mohammad Husni Thamrin Jakarta Timur.

Meskipun di tahun 2013 ini pemerintah akan mulai memberlakukan kurikulum yang baru, akan tetapi pendekatan yang digunakan kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), akan tetap digunakan. Salah satu konsekuensinya, sekolah akan tetap memiliki keleluasaan menggelar kegiatan muatan lokal (mulok).

Mengutip pernyataan Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, yang diambil dari Koran Jakarta, 28 Januari 2013 secara online, yang mengungkapkan bahwa kurikulum KTSP yang sudah berjalan sejak 2005 akan tetap ada meski mulai tahun depan kurikulum baru sudah mulai diterapkan. Pasalnya, secara yuridis, KTSP merupakan amanah dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). "Namun, pendekatan KTSP tetap ada karena itu merupakan amanah UU,"kata Nuh di Jakarta, Jumat (30/11).

Nuh menjelaskan salah satu ciri dari kurikulum KTSP ialah adanya kegiatan muatan lokal. Kurikulum muatan lokal ialah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah. "Konsekuensinya, sekolah akan tetap diberikan keleluasaan untuk menggelar muatan lokal di luar mata pelajaran wajib,"terang Nuh.


Kasus Mulok Sinematografi di sekolah

SMAN 13 Jakarta Utara
Beralamat di JL. Seroja No. 1 Rawa Badak Utara Koja, yang juga dikenal dengan nama GALAS, berdiri pada tanggal 18 Agustus 1964, awalnya hanya sebagai kelas jauh dari SMAN 1 Jakarta, hingga ditetapkan menjadi sekolah mandiri pada tahun 1968, dan pada tahun 1994 sekolah ini menjadi sekolah unggulan di wilayah Jakarta Utara, yang kemudian di tahun 2004 ditetapkan sebagai sekolah unggulan di wilayah DKI Jakarta.

Sekolah ini memiliki visi terwujudnya generasi berakhlak mulia, cerdas, dan demokratis mengakar pada budaya bangsa serta mampu bersaing di era global. Di tahun 2007, pada saat mulok sinematografi dilaksanakan di sekolah tersebut, sekolah ini memiliki 9 kelas untuk setiap tingkatannya, yaitu kelas X, kelas XI dan kelas XII. Sehingga jumlah keseluruhannya adalah 27 kelas dengan 2 kelas di setiap tingkatan kelas –keseluruhannya berjumlah 6 kelas- adalah Kelas Internasional, yang kurikulumnya mengacu pada kurikulum Cambridge, yang salah satu ciri dari kelas Internasional ini adalah menggunakan sistem bilingual didalam kegiatan belajar mengajarnya. Sedangkan sisanya, 7 kelas adalah kelas regular –berjumlah 21 kelas-, yakni kelas yang sistem pendidikannya merujuk pada Standar Isi Nasional, dengan konsentrasi pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Bahasa. Dengan adanya kelas Internasional tersebut maka menurut sistem manajemen pendidikan, sekolah ini menganut sistem pendidikan RSBI (Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional) –pada tulisan ini dibuat RSBI telah dikalahkan di pengadilan konstitusi dan harus ditiadakan menurut keputusan MK.

Tetapi meskipun demikian, tidak semua tingkatan kelas mendapatkan materi pendidikan mulok sinematografi. Karena untuk tingkatan kelas XII, peserta didik tidak diberikan mata pelajaran mulok karena dikonsentrasikan untuk ujian nasional. Sehingga mulok diberikan pada tingkat kelas XI dan kelas X, baik kelas regular ataupun kelas Internasional. Tetapi untuk mulok sinematografi di sekolah ini, terjadi perubahan peserta didik. Di semester awal mulok sinematografi ini diberikan pada siswa-siswi kelas X dan kelas XI, tetapi pada semester selanjutnya hanya diberikan pada kelas X saja.

Sekarang ini SMAN 13 Jakarta Utara tidak lagi menyelenggarakan Sinematografi didalam Mata Pelajaran Muatan Lokal, tetapi setidaknya sekolah ini telah menyelenggarakan Pendidikan Sinematografi selama dua semester, dimana penyelenggaraan mulok ini dilaksanakan selama dua tahun, karena mulok sinematografi dilakukan pada semester gasal saja, sedangkan mulok untuk semester genapnya, SMAN 13 membaginya dengan pendidikan lainnya. Sehingga dalam satu tahun ajaran, mata pelajaran mulok sinematografi yang diajarkan kepada para peserta didik hanya satu semester saja.

Kurikulum mulok sinematografi di SMAN 13 kurikulumnya dirancang dengan indikator pendidikan dan pengajarannya berupa film pendek fiksi di semester pertamanya dan film dokumenter pendek pada semester selanjutnya. Dengan demikian selama mulok sinematografi lebih berorientasi pada produksi film semata.


SMAN Unggulan Mohammad Husni Thamrin
Lebih dikenal dengan singkatan SMAN MHT atau MHT saja, merupakan sekolah yang baru berdiri 3,5 tahun lalu atau tepatnya pada tahun 2009 yang baru saja meluluskan angkatan pertamanya di tahun 2012 ini, dalam menyelenggarakan pendidikannya tidaklah sama dengan SMAN 13 Jakarta Utara, dan sekolah regular serta RSBI lainnya.

Dengan visinya menjadi sekolah sains bertaraf  Internasional menghasilkan lulusan unggul dalam Imtaq dan Iptek serta dan berdaya saing global,  SMAN MHT ini hanya difokuskan pada bidang pendidikan dan pengajaran ilmu pasti, yakni matematika, fisika, kimia dan biologi dengan jumlah peserta didik yang terbatas hanya 60 orang siswa sampai tahun ketiganya, sedangkan di tahun ke empat mereka menerima 80 siswa peserta didik. Dengan demikian MHT tidak menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran ilmu Sosial dan Ilmu Bahasa. Ini yang membedakan MHT dengan sekolah model RSBI lainnya –termasuk SMAN 13.

Dengan visi yang seperti itu, maka pada pelaksanaannya, SMAN MHT memiliki 3 kurikulum yang harus ditempuh oleh para peserta didiknya, yaitu Kurikulum Standar isi Nasional, Kurikulum Cambridge dan Kurikulum Olympiad dengan metode sks sebagai pendekatan kegiatan belajar mengajarnya yang diberlakukan di SMAN ini.

Peserta didik di tahun pertama (kelas X) diberikan Mata Pelajaran Kurikulum Standar Isi Nasional, tetapi kurikulum yang seharusnya ditempuh oleh siswa di sekolah lain secara skala nasional tiga tahun, di SMAN Unggulan MHT hanya ditempuh dalam kurun waktu satu tahun. Kemudian di tahun keduanya, para peserta didik (kelas XI) masuk kedalam Mata Pelajaran Kurikulum Cambridge, dan selanjutnya di tahun terakhir (kelas XII), siswa menerima Mata Pelajaran Kurikulum Olympiad dengan dimasukkan juga pembekalan dan pembahasan materi untuk Ujian Nasional. Meskipun dengan kurikulum seperti ini SMAN MHT termasuk kedalam sekolah RSBI, tetapi sekolah ini tidak mengharuskan bilingual dalam kegiatan belajar mengajarnya. Hanya saja para peserta didik menerima program native speaking.

Untuk Mata Pelajaran sinematografi pada awalnya dirancang sama dengan apa yang dilakukan oleh SMAN 13, yaitu hanya satu semester dalam satu tahun ajaran, tepatnya pada semester genap. Karena di semester selanjutnya, sinematografi harus berbagi dengan mulok mata pelajaran Robotic. Penyelenggaraan mulok ini masuk kedalam kurikulum standar isi tetapi anehnya diberikan kepada peserta didik kelas XI, yang kurikulumnya adalah kurikulum Cambridge, sehingga di kelas XI, MHT ada beberapa mata pelajaran standar isi nasional yang juga diberikan kepada peserta didik, termasuk mata pelajaran agama. Disinilah menariknya Sekolah MHT ini, karena telah menggabungkan kurikulum standar isi nasional dan Cambridge.

Tetapi pada tahun ajaran berikutnya, melihat keberhasilan yang dilakukan mulok sinematografi, menurut pihak sekolah penyebabnya adalah antusiasnya para peserta didik serta keinginan untuk kemandirian peserta didik setelah terlepas dari sekolah untuk dapat membuka lahan pekerjaan, maka penyelenggaraan sinematografi pun berubah menjadi dua semester dalam satu tahun ajaran, dengan kegiatan belajar mengajar mulok ini diberikan kepada siswa-siswi Kelas X, dan menjadi mata pelajaran standar isi nasional yang berkedudukan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Sedangkan untuk Mulok Robotic, tetap ada dan diberikan pada siswa-siswi Kelas XI.


Permasalahan

Standar kompetensi dan kompetensi dasar sinematografi

Didalam mengarahkan pendidikan pada umumnya, setiap mata pelajaran memiliki standar kompetensi dan kompetensi dasar tertentu. Muatan lokal, yang didalamnya dapat diisi dengan bidang-bidang yang disesuaikan dengan keinginan pihak sekolah, memanglah tidak diharuskan memiliki standar kompetensi dan kompetensi standar yang berbasis nasional. Muatan lokal diberikan kebebasan didalam menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasarnya pada para pelaksananya di kelas. Hal ini cukup membuka peluang yang sangat luas dalam menyusun standar kompetensi dan kompetensi dasar pada bidang yang menjadi ketentuan sekolah sebagai mata pelajaran yang mengisi muatan lokal ini. Termasuk sinematografi.

Tetapi dengan hal yang demikian tersebut, pada visi dan misi sebagai upaya meningkatkan perfilman nasional, menjadi semakin berbalik arah. Kebebasan didalam menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mulok sinematografi, menjadikan pendidikan ini menjadi tidak terarah dan tidak fokus terhadap sasaran yang dinginkan perfilman nasional dan masyarakat film Indonesia yang perduli terhadap perkembangan dan kemajuan perfilman nasional.

Karena pada umumnya, pihak sekolah hanya menginginkan hasil dibandingkan proses pendidikan yang diberikan didalam kelas. Pada kasus sinematografi, keinginan pihak sekolah pada peserta didik pada akhirnya mereka hanya mengarahkan bagaimana film itu ada dan dibuat -memproduksi sebuah film. Sekilas melihat ini menjadi kegembiraan, karena tanpa bersusah payah film diperkenalkan dan diproduksi serta diapresiasi secara langsung kepada intelektual remaja. Tetapi menjadi permasalahan bila dilihat bahwa film yang diproduksi oleh sekolah yang menyelenggarakan mulok sinematografi tidak seragam. Bila dilihat hasil produksinya sebagai bentuk film pendek, mungkin masih dapat diterima, tetapi bila hasil akhirnya berupa dokumenter, video musik ataupun iklan, bahkan program tv, inilah yang menjadi persoalan serius. Bahkan hasil ini juga dipaksakan harus dilakukan pada peserta didik yang masih duduk di sekolah menengah pertama. Tidak hanya pada hasil akhir dari mulok sinematografi ini, tetapi proses yang dilakukan oleh peserta didik dalam memproduksi, juga dapat dipertanyakan apakah memang sudah sesuai seperti yang diinginkan oleh arah dan kebijakan pendidikan perfilman nasional ataupun perfilman nasional itu sendiri.

Karena standar isi yang tersusun dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar merupakan penyesuaian apa yang diatur pada PP no. 19 tahun 2005, yaitu Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Pada Mulok Sinematografi ini, sebenarnya keberadaan pendidikan tersebut tidak hanya didasari pada kedudukannya sebagai mata pelajaran muatan lokal, yang landasan hukumnya ada pada:
         UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan pasal 38 ayat (2).
         Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Akan tetapi dapat berasaskan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa muatan seni budaya tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan.

Pada prakteknya, banyak Pendidikan Sinematografi ini diarahkan kedalam nilai-nilai pengetahuan praktis produksi semata, atau responsif atas kedudukannya didalam mendukung keinginan pemerintah yang menekankan industri kreatif sebagai kemandirian wirausaha masyarakat. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sinematografi yang menjadi tujuan arahan Mulok Sinematografi ini, otomatis diarahkan pada bagaimana peserta didik menghasilkan sebuah karya film –entah itu dalam bentuk film-film berdurasi pendek, dokumenter berdurasi pendek ataupun juga video musik. Sehingga pada konteks tersebut pemahaman Pendidikan Mulok Sinematografi yang diberikan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas tidak menyentuh pada aspek dasar sinema itu sendiri dan juga pemahaman didalam memberikan materinya tidak memiliki perbedaan terhadap tingkatan atau kualitasnya. Sehingga materi mulok sinematografi standar kompetensi dan kompetensi dasarnya menjadi sama antara sekolah menengah pertama dengan sekolah menegah atas,

Pada pendidikan dan pengajaran mulok, sudah sangat umum, bila mulok itu didalam sebuah sekolah memiliki dua pemelajaran yang berbeda dalam 1 tahun ajaran, karena harus berbagi dengan pemelajaran yang lainnya.  Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa mulok sinematografi harus berbagi dengan robotic di SMAN Unggulan MHT. Cukup menjadi kendala sebenarnya dalam pencapaian tujuan pemelajaran sinematografi, dengan ketentuan dalam 1 kali pertemuan hanya memiliki waktu pemelajaran 2 sks (2X45 menit = 90 menit), yang materi pemelajarannya diisi dengan teori, apresiasi dan praktek yang tujuannya mengetahui, memahami dan mampu memproduksi. Hasil akhir adalah film pendek berdurasi maksimal 15 menit.

Sehingga bila dilihat dalam hitung-hitungan keberadaan mata pelajaran mulok sinematografi di kelas pada setiap tatap mukanya tersebut, dengan pencapaian tujuannya seperti yang dijelaskan, sangatlah tidak memungkinkan. Meskipun tujuan mengetahui, memahami dan mampu memproduksi film bukanlah harga mati mengingat tidak adanya standar kompetensi dan kompetensi dasar tertentu yang memang disusun dan dirancang khusus. Dapat saja pemelajaran ini hanya pada mampu memproduksi film.


Peralatan

Mulok Sinematografi pada prinsipnya sangatlah bergantung dengan peralatan sebagai penunjang kebutuhan mulok ini. Meskipun peralatan perekaman gambar dan suara sudah begitu variatif dan mudah, tetap saja menjadi perhitungan pihak sekolah dalam menyelenggarakan mulok sinematografi. Sehingga sangatlah wajar apabila mulok sinematografi ini, mendapatkan respon yang cukup baik dan tumbuh subur di sekolah-sekolah unggulan –yang dimaksudkan di Jakarta pada kali ini. Apalagi pada sekolah-sekolah unggulan ini, bila dikalkulasikan, rata-rata para peserta didiknya adalah siswa-siswi yang orangtua/wali mereka berada pada status sosial di kelas menengah keatas, yang dalam kedudukan status sosial inilah, menjadi salah satu alasan, mengapa SMAN 13 Jakarta Utara tidak lagi menyelenggarakan Mulok Sinematografi pada periode selanjutnya, karena di tahun tersebut peserta didik SMAN 13 hanya memiliki dua kelas internasional dan sisanya merupakan kelas regular dengan peserta didik dalam lingkup status sosial menengah kebawah.

Seperti mata uang, permasalahan antara peralatan dan status sosial peserta didik di sekolah, meskipun peralatan untuk Mulok Sinematografi ini dapat saja peralatan yang sangat sederhana (misalnya kamera handycam), tetap saja tidak dapat dipandang sederhana pada konteks penyediaan peralatan. Apalagi pada sekolah-sekolah yang memiliki kelas yang banyak dalam menampung peserta didiknya –sekolah regular-, yang di Jakarta ini, rata-rata sekolah memiliki sembilan kelas dalam satu angkatannya –kelas X berjumlah 9 kelas, kelas XI berjumlah 9 kelas dan kelas XII berjumlah 9 kelas. Sehingga peralatan kamera masih bergantung pada peserta didik itu sendiri. Karena pada umumnya, sekolah-sekolah regular terikat dengan peraturan, dengan daya tampung peserta didiknya tidaklah dapat dibatasi dengan cara status sosial siswa-siswinya. Sekolah-sekolah tersebut juga tidak dapat berharap banyak terhadap pemerintah dalam kasus penyediaan barang kamera ini, mengingat Sinematografi dipandang masih berkedudukan mutan lokal.

Pada permasalahan peralatan sebenarnya tidak hanya pada kamera saja, akan tetapi permasalahan juga terjadi pada peralatan komputer editing. Selain juga peralatan perekaman suara juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Tetapi peralatan suara menjadi tidak terlalu besar karena pada prakteknya perekaman suara akan teratasi apabila peralatan kamera –yang sekarang ini juga sudah dapat melakukan perekaman suara, seperti halnya handycam- sudah dimiliki. Begitu pula pada pada persoalan mixing suara, dengan kemampuan komputer editing sekarang ini, selain mampu mengedit gambar juga sudah langsung dapat melakukan mixing suara. Tetapi pada kasus di SMAN 13 Jakarta Utara di tahun 2007, para peserta didik beberapa diantaranya telah memiliki komputer editing, tetapi hal itu dapat dihitung dengan mudah, selain siswa-siswi yang memiliki komputer editing tersebut juga mengalami permasalahan dengan mampu tidaknya para siswa-siswi tersebut mengoperasikannya.
 

Pembahasan

Diperlukannya keseriusan dan arah pendidikan mulok sinematografi

Tidak adanya tujuan yang pasti dalam mulok sinematografi, menyebabkan pengajaran mulok ini sepertinya sangat mudah untuk dilaksanakan oleh siapapun, yang penting hasil dari mulok ini terlihat jelas, yakni ada film yang dihasilkan atas produksi yang dilaksanakan oleh para peserta didik. Dengan demikian hal tersebut tentunya juga berdampak pada para tenaga pendidiknya. Karena sangatlah memungkinkan tenaga pendidik hanya dibekali atau hanya memiliki kemampuan berproduksi ataupun tahu produksi film, sudah dapat berdiri di depan kelas untuk memberikan pemelajaran sinematografi dengan hasilnya adalah film. Padahal yang diharapkan adalah penanaman bagaimana sinema itu merupakan hasil dari pemikiran kehidupan, naratif sederhana dan memadukannya dengan teknis sinematografi, yang tentunya masih pada tahap dasar yang harus diberikan kepada peserta didik.

Dengan tidak melupakan dengan aturan mainnya seperti yang telah digariskan pada PP. no 19 tahun 2005, pada Pasal 19, ayat (1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Beberapa aspek tersebut merupakan pemahaman yang harus dimiliki oleh para tenaga pendidik sinematografi yang sebenarnya persoalan tenaga pendidik, juga sudah diatur pada Pasal 19 ayat (2) didalam PP. no 19 tahun 2005.

Standar kompetensi dan kompetensi dasar dan tenaga pendidik sebagai inti muatan lokal sinematografi ini, bukan tidak mungkin malah menambah daftar persoalan perfilman yang sampai saat ini, dari kacamata pemerintah sendiri juga tidak memiliki arah yang jelas –yang sekarang saja terbukti terjadi dualisme dalam memandang Film sebagai Fiksi/Hiburan dan Dokumenter antara Kementrian Industri Kreatif dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Padahal dengan adanya mulok sinematografi inilah letak permulaan dalam membangun perfilman nasional. Namun anehnya kasus mulok sinematografi sepertinya tidak terlalu berarti bagi masyarakat film nasional. Terbukti dibeberapa seminar, sampai saat ini belum ada yang mengangkat persoalan mulok tersebut menjadi pembahasan. Bahkan dalam tulisan-tulisan intelektual belum tersentuh sama sekali. Kalaupun ada sifatnya hanyalah pada persoalan apresiasi film terhadap pelajar.

Untuk itu akan jauh lebih baik apabila mereka yang perduli terhadap perfilman nasional, memberikan solusi atas persoalan mulok sinematografi ini. Terutama hal ini ditujukan pada para intelektual perfilman yang memiliki kedudukan di ranah pendidikan dan pengajaran, khususnya yang perduli pada bidang keilmuan film dan perkembangannya. Kenapa demikian? Dengan menitikberatkan persoalan mulok menjadi sebuah keseriusan yang dipandang perlu untuk dijawab, maka bukan tidak mungkin pada akhirnya nanti mulok sinematografi disiasati sebagai pintu masuk akan munculnya mata pelajaran sinematografi di sekolah-sekolah yang bukan lagi kedudukannya didalam muatan lokal. Sinematografi menjadi standar isi materi pelajaran yang memang wajib diberikan dan diterima oleh para siswa disekolah, mengingat adanya PP no 19 tahun 2005 bahwa muatan seni budaya tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan.

Masih kurangnya kepedulian untuk mengarahkan penelitian dalam bidang ini, memang tidak dapat dipersalahkan juga bagi mereka yang memberikan pendidikan dan pengajaran yang terjun langsung di lapangan. Mereka hanya mengarahkan mulok sinematografi atas apa yang diketahui secara umum dan praktisnya saja. Apalagi umumnya pihak sekolah dalam hal muatan lokal, dalam 1 tahun pengajaran selalu diisi dengan dua bidang pemelajaran muatan lokal.

Karena kurangnya keseriuasan dan kepedulian masyarakat film itu sendiri, maka pada konteks permasalahan peralatan, sudah pasti menjadi kendala mulok sinematografi. Pada SMAN 13 Jakarta Utara, SMAN ini sangatlah beruntung, karena pihak sekolah telah mengantisipasinya dengan mengadakan kerjasama bilateral dengan FFTV-IKJ sehingga kendala-kendala tersebut setidaknya dapat diatasi, meskipun tetap saja menimbulkan persoalan yang lain, seperti halnya pada saat proses editing, para peserta didik harus berkunjung ke Kampus FFTV-IKJ. Ketika waktu yang telah ditentukan untuk mengedit film di FFTV disepakati, kedisiplinan waktu muncul sebagai persoalan yang lain.

Berbeda dengan SMAN 13, di SMAN Unggulan MH Thamrin, yang memang dari awal berdirinya sekolah ini, memang sudah dipersiapkan saran dan prasarananya, termasuk peralatan sinematografi ini, meskipun sederhana, tapi terbilang lebih dari cukup, bila dibandingkan dengan Sekolah Menengah Kejuruan yang berbasis multimedia dan broadcast. Beberapa peralatan multimedia seperti seperti halnya Kamera Foto DSLR Canon 500D 2 buah, Kamera Panasonic MD 10000, lampu Red Head, printer dan proyektor, komputer PC merk Hp yang dirancang untuk 50 orang peserta didik, pemancar radio, serta peralatan produksi televisi mini dan sebagainya, telah disiapkan.

Melihat sarana dan prasarana seperti itu, tentunya amatlah sesuai apabila keinginan pihak sekolah memasukkan Sinematografi dan Robotic menjadi Pelajaran Muatan Lokal. Khususnya untuk sinematografi, dengan adanya Kamera Foto DSLR Canon 500D dan Kamera Video Panasonic MD 10000 sangat memudahkan pelaksanaan keseluruhannya dalam mata pelajaran muatan lokal sinematografi ini termasuk dalam menyusun standar kompetensi dan kompetensi dasarnya, yang merupakan garis-garis besar pemelajaran sinematografi.


SMAN MH Thamrin, Bambu Apus – Jaktim
Tampak ditengah gedung perpustakaan,
kiri gedung sekolah dan kanan gedung auditorium
(bertiang).


Waktu ideal pemelajaran Mulok Sinematografi

Karena belum adanya ketentuan yang pasti berdasarkan penelitian dengan pendekatan dan metode sebagaimana mestinya dalam manajemen pendidikan, maka dari kasus di dua sekolah –SMAN 13 Jakarta Utara dan SMAN Unggulan MH Thamrin- maka mulok sinematografi tidak dapat dilakukan secara optimal apabila hanya diberikan dalam kurun waktu 1 semester, mengingat tentunya dengan pendekatan isi pemelajaran yang terdapat teori, apresiasi dan praktek.

Bersyukur ternyata hal tersebut dapat dimengerti oleh pihak SMAN Unggulan MH Thamrin. Sehingga pihak sekolah memberikan ruang dan waktu untuk menjadikan mulok sinematografi ini menjadi 2 semester dalam 1 tahunnya. Sehingga memang, menjadikan kelas sinematografi terbagi dalam metode pemelajaran 1 yang diarahkan pada fotografi dan pemelajaran 2 mengarah pada sinematografi dalam menyusun standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.

Pengembangan lainnya dalam mulok sinematografi ini, terutama pada kasusu SMAN Unggulan MHT, juga dapat dilakukan dengan cara membagi porsinya dengan memantapkan proses pasca produksi masuk kedalam pemelajaran mata pelajaran TIK –Teknologi Informasi dan Komunikasi. Sehingga materi pemelajaran TIK difokuskan pada mengedit gambar dan suara selain juga mengisi musik untuk film.


Film tidak hanya produksi semata, film juga seni

Mengutip apa yang dituliskan oleh David Bordwell di History Film bahwa: “…Movies would become the most popular visual art form of the late Victorian age…” menunjukkan bahwa film bukanlah sebuah persoalan produksi semata. Benar bahwa film ada sejak tahun 1890-an. Meski begitu evolusi film tidak hanya terjadi pada persoalan perangkat teknologi yang fokus pada produksi semata. Melainkan melebar pada persoalan-persoalan sosial sebagai bentuk baru hiburan dan media artistik baru.

Selama dekade pertama keberadaan sinema, para penemu bekerja untuk memperbaiki mesin-mesin untuk membuat dan menampilkan film-film. Seiring hal tersebut ternyata tuntutan lain diarahkan terhadap para pembuat film yang juga harus mengeksplorasi jenis gambar apa dan bagaimana yang harus mereka rekam, yang kemudian selanjutnya para eksibitorpun harus mencari cara untuk menyajikan gambar-gambar yang layak dan mempesona ke khalayak umum, sampai sekarang ini yang masuk pada era digital.

Dengan dinamika sosial seperti itu, terlebih lagi pada titik dimana para pembuat film dituntut mengeksplorasinya, maka disinilah letak film sebagai nilai seni, sama seperti pada bidang kesenian lainnya –pada konteks ini akan lebih tepat pada seni musik dan seni rupa yang telah terlebih dahulu dipelajari di sekolah-sekolah. Dalam bukunya Film Art, Bordwell malah menguraikannya bagaimana seni film lebih jelas lagi. Hubungan film secara luas dijelaskan dengan konteks seni, bisnis dan teknologi. Bahwa hubungan cerita dengan aspek teknis –teknologi- syarat dengan beberapa seni film yang tidak dimiliki oleh bidang seni lainnya. Selain juga hubungan bisnis dalam uraiannya yang terbagi atas produksi, eksebisi dan distribusi. Pada hubungan-hubungan tersebut dapat kita dudukkan bahwa keberadaan film bersinggungan dengan konteks sosial yang kompleks.

Lain itu untuk menguatkan pada bentuk film sebagai seni dan juga film sebagai bidang keilmuan yang terukur, maka dapat dijelaskan atas apa yang diuraikan oleh Rudolf Arnheim, yakni:

Now obviously, when art was thus asserted to be an equivalent rather than a derivative, photography and film represented a test case. If a mechanical reproduction of reality, made by machine, could be art, then the theory was wrong. In other words, it was the precarious encounter of reality and art that teased me into action. I undertook to show in detail how the very properties that make photography and film fall short of perfect reproduction can act as the necessary molds of an artistic medium. The simplicity of this thesis and the obstinate consistency of its demonstration explain, I believe, why a quarter of a century after the publication of Film the book is—still and again—consulted, asked for, and stolen from libraries”.

Pendekatan inilah yang menjadi SMAN Unggulan MHT menjadikan sinematografi sebagai mulok yang dipelajari di sekolah ini.

Hal lain juga dapat dilihat pada UU no. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman pada Pasal 1ayat 1 yang mengatakan bahwa “Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Kemudian dipertegas lagi pada ayat 3 yang berbunyi “Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Selain di pasal 3,  tujuan film diuraikan secara terperinci yang isinya sangatlah berkaitan dengan seni dan budaya bangsa.


Fotografi sebagai dasar Pemelajaran Sinematografi

Selanjutnya Bordwell juga menuliskan: “A third prerequisite for the invention of the cinema was the ability to use photography to make successive pictures on a clear surface”, dapatlah menjadi rujukan bahwa pemelajaran snematografi pada dasarnya tidak akan pernah terlepas dari pemelajaran fotografi diawal-awal pemelajarannya. Selain juga dapat diambil dari beberapa buku dan catatan tentang sinematografi, bahwa sejarah sinema dimulai dari fotografi. David Bordwell didalam bukunya Film History an Introduction, menjelaskan apa yang dilakukan Claude Niepce, menjadi proses penggerak Lumiere untuk pencapaiannya didalam sinematografi.

Dengan konsep 1 tahun 2 semester untuk pemelajaran sinematografi pada sekolah-sekolah umum –non kejuruan-, maka menjadi kabar terbaik bagi bidang fotografi. Dengan adanya mulok sinematografi ini dan konsep pemelajaran 1 tahun ajaran 2 semester, otomatis untuk mengisi semester awalnya, akan jauh lebih baik untuk memberikan ruang ini pada pemelajaran fotografi. Dimana pemelajaran ini diarahkan pada pengetahuan dasar aspek fotografis serta memperkenalkan cara bercerita melalui still foto (foto story).

Pada kasus mulok sinematografi di dua sekolah yang berbeda antara SMAN 13 dan SMAN Unggulan MHT, sangat terlihat perbedaan dari cara memandang para peserta didik terhadap film. Di SMAN 13, fotografi tidak diajarkan dalam satu semester. Mulok sinematografi di sekolah ini langsung dititik-beratkan pada pendidikan dan pengajaran sinematografi dengan tujuan para peserta didik di semester awal mampu menghasilkan film pendek maksimal 15 menit. Kemudian pada semester keduanya, para peserta didik diarahkan pada produksi film dokumenter. Ada kecenderungan para peserta didik dengan kurikulum seperti ini, tidak siap, sehingga memberikan dampak bahwa mereka tidak mendapatkan hasil dari pemelajaran sinematografi. Meskipun pemelajaran ini dilaksanakan dalam 2 semester. Mereka hanya mendapatkan pengalaman memproduksi sebuah film pendek, tetapi tidak pada pemahamannya.

Sedangkan pada SMAN Unggulan MH Thamrin, dengan kurikulum diawal diberikannya pemelajaran fotografi, setidaknya mereka mendapatkan hasil dari kelas muatan lokal sinematografi. Terbukti dengan beberapa para peserta didik dalam kurun waktu 1 bulan pengajaran di kelas, beberapa diantaranya telah memiliki kamera DSLR. Memang kasus kepemilikan kamera erat kaitannya dengan status sosial para peserta didik. Akan tetapi ada kecenderungan bahwa memulai mulok sinematografi dengan fotografi terlebih dahulu, membuat para peserta didik merasa mereka ingin lebih terampil, terutama dalam membuat foto.

Pembuktian lain, dengan segera beberapa para peserta didik segera membuat ekstra kurikuler sinematografi dan jurnalistik foto –pada saat tulisan ini dibuat, hal tersebut masih belum disetujui proposalnya oleh pihak sekolah. Pada bentuk yang berbeda, dalam hal keseriusan para peserta didik terhadap mulok sinematografi, pada even sekolah yang telah menjadi even tahunan yang bernama Thamrin Olimpiade Cup (TOC), memasukkan rally foto sebagai ajang kompetisi pelajar SMA dan SMP se-jabodetabek, yang pada saat pelaksanaannya, terdapat 35 peserta siswa SMA dan 15 peserta siswa SMP dari target panitia yang hanya 20 orang peserta.

Dengan berbekal pemahaman fotografi sebagai bahan pemelajaran 1 didalam menyusun standar kompetensi dan kompetensi dasar mulok sinematografi, maka untuk memenuhi teori, apresiasi dan praktek, maka materi disusun berdasarkan pada:
-          Elemen Dasar Fotografi
Memperkenalkan, mengetahui dan memahami fungsi dari peralatan kamera still foto; body dan lensa.
-          Teori Dasar Fotografi
Memperkenalkan, mengetahui dan memahami dari aperture/diafragma, speed dan ISO/ASA.
-          Praktek Dasar Fotografi
Memahami dalam membut type of shot, komposisi: point of interest, simplicity, rule of third, lines,  framing dan available lighting(siluet).
Memahami bagaimana bercerita pada gambar dengan membuat foto story.

Hal tersebut menjadikan tujuan dari pemelajaran fotografi ini memiliki hasil pada Pameran Fotografi sebagai ajang pembuktian dari materi dan metode pemelajaran fotografi itu sendiri.

 
Salah satu karya foto Andre Valerian siswa SMAN Unggulan MH Thamrin, Bambu Apus – Jaktim.

Dari mulok menuju standar isi

Sebenarnya mulok sinematografi ini adalah hal yang sangat terbuka untuk mengembangkan perfilman nasional dan juga ilmu film itu sendiri serta menjadikan masyarakat, khususnya intelektual remaja dapat berapresiasi film lebih mendalam tanpa adanya unsur paksaan. Tanpa harus mengeluarkan dana yang besar menyebarkan film sebagai sebuah bidang keilmuan dan ketrampilan dan juga industri, maka mulok ini sangatlah memiliki fungsi yang sangat efektif dan efisien bagi perfilman nasional.

Mungkin dapat kita ambil contoh pada kasus komputer. Di era sekitar awal 90-an, komputer merupakan sebuah bentuk barang yang mahal dan sangat menyulitkan untuk digunakan. Tetapi dengan semakin dikenalnya komputer di masyarakat dan juga menjadi kebutuhan yang tidak hanya pada konteks fungsi, tetapi juga keilmuannya, maka komputer menjadi industri dan keilmuan yang semakin berkembang, bahkan semakin dibutuhkan masyarakat. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, maka beberapa perguruan tinggi, kemudian kursus membuka keilmuan komputer tersebut. Selain itu, komputer sekarang ini menjadi ilmu standar isi di sekolah-sekolah yang dikenal sebagai Mata Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi atau disingkat dengan TIK.

Sekalipun persoalannya tidak sama, akan tetapi, melihat PP no 19 tahun 2005, maka hanya membutuhkan nyali dengan metode analisis yang tepat dan sesuai secara ilmiah untuk memperkuat sinematografi tersebut diarahkan kedalam bidang seni dan budaya pada pemelajaran di sekolah-sekolah, dan bukan lagi hanya sebatas pada pemelajaran muatan lokal saja. Sehingga sinematografi dapat disejajarkan dengan mata pelajaran kesenian lainnya seperti halnya seni musik dan seni rupa yang terlebih dahulu menjadi mata pelajaran standar isi di sekolah-sekolah.


Para siswa dan siswi SMAN MHT
sedang melaksanakan syuting
dalam mata pelajaran Mulok Sinematografi


Dengan demikian penyusunan materi seharusnya didasarkan atas apa yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tersebut, sehingga bukan hanya didasarkan atas tujuan pemahaman sinematografi pada praktis produksinya saja. Penyusunan materi sinematografi ini akan membentuk kurikulum yang dapat disejajarkan dengan kurikulum standar isi mata pelajaran lainnya dan memiliki tujuan lebih jauh lagi sebagai bentuk penanaman pemahaman pendidikan sinematografi yang sebenarnya yang memang dibutuhkan oleh Pendidikan berskala Nasional. Sehingga nantinya dapat menjadi pedoman dan petunjuk bagi para pelaku pendidik dan pengajar Sinematografi ini.


Penutup

Karena saat ini diperlukan adanya sebuah arahan dan kesinambungan serta isi yang jelas pada standar kompetensi dan kompetensi dasar pemelajaran sinematografi dalam memanfaatkan mata pelajaran muatan lokal disekolah-sekolah umum, baik pada tingkat sekolah menengah pertama ataupun pada sekolah menengah atas, maka diperlukannya sebuah kurikulum pedagogik sinematografi berskala nasional, yang sekarang ini terlebih dahulu dikhususkan pada kedudukan sinematografi sebagai muatan lokal.

Dengan adanya mata pelajaran muatan lokal pada pendidikan sekolah umum, ini merupakan peluang yang sangat terbuka bagi keilmuan sinematografi untuk dapat masuk menjadi ilmu yang dipelajari secara luas dan terbuka bagi siapa saja. Agar nantinya sinematografi menjadi sebuah kebutuhan yang memang diperlukan oleh masyarakat secara lebih luas lagi.

Untuk mewujudkannya, ada keluwesan dalam membuka kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait dari beberapa organisasi perfilman ataupun kalangan akademisi perfilman nasional, seperti membuka kerjasama dengan:
         Tim Pengembangan Kurikulum (TPK), tingkat sekolah
         Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP),
         Instansi/lembaga di luar Depdiknas, misalnya: 
            - pemerintah Daerah/Bapeda,
            - Dinas Departemen lain terkait,
            - dunia usaha/industri,
            - tokoh masyarakat

Sudah sepantasnya institusi perguruan tinggi yang bergerak khusus pada bidang film, memikirkan dan berbenah diri untuk lebih merespon hal mulok seperti ini. Dengan demikian tidak hanya mencetak para kreator-kreator perfilman yang mampu memproduksi sebuah film, tetapi juga menghasilkan para tenaga pendidik yang trampil dan berbekal keilmuan film yang baik, yang nantinya diharapkan sebagai tenaga pendidik dan pengajar pada muatan lokal sinematografi di sekolah-sekolah. Karena tenaga pendidik dan pengajar sinematografi memang memiliki kriteria tertentu untuk tercapainya program perfilman dimasa mendatang seperti yang telah diatur didalam PP. no 19 tahun 2005, pada pasal 28. Juga tertera pada UU no. 33 2009 Tentang Perfilman, dimana tercantum Peran Serta Masyarakat pasal 67 baik ayat 1, 2 maupun ayat 3. Sekaligus pada Pasal ini juga tertulis tentang penelitian dan pengembangan perfilman.

Dengan menyimak ketentuan diatas tersebut, maka diharapkan adanya sebuah sistem dalam penyelenggaraan sinematografi ini kedepannya tidak hanya berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sinematografi saja, tetapi jua pada tenaga pendidik dan pengajar, yang dalam mempersiapkan tenaga pendidik dan pengajar ini harus ada sebuah lembaga yang nantinya dapat memberikan dan mengeluarkan lisensi yang memang dibentuk dan ditunjuk oleh pemerintah dan “masyarakat film” dalam menjembatani hal ini.

Karena begitu pentingnya pendidikan dalam menentukan arah perfilman nasional, maka perencanaan-perencaan untuk jangka pendek, menengah dan panjang juga harus disusun oleh akademisi, organisasi film dan pemerintah serta pelaku industri perfilman dengan lebih menatap kedudukan film nasional didalam kancah perfilman dunia -internasional. Bukanlah hal yang sulit sebenarnya untuk dapat diwujudkan mengingat institusi perguruan tinggi perfilman yang ada masih tergolong sedikit, lebih mudah untuk diorganisir, demi kepentingan perfilman nasional itu sendiri dan juga untuk menyelamatkan mata pelajaran muatan lokal sinematografi serta menjadikannya sebagai mata pelajaran standar isi nasional.

Dengan mewujudkan hal tersebut, maka semakin terbukanya lapangan pekerjaan bagi lulusan perfilman yang tidak hanya sebagai kreator film –pembuat film. Tetapi diharapkan sebagian lulusannya sebagai lulusan yang mampu memberikan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah. Atau juga dapat lulusan tersebut nantinya dapat duduk sebagai birokrat pemerintah yang menentukan kebijakan-kebijakan perfilman nasional, yang sebenarnya saat ini dibutuhkan oleh perfilman nasional.

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang demikian, kesadaran dan keseriusan masyarakat film memang harus lebih didorong, terutama kepada pelaku praktis perfilman, baik itu produksi ataupun akademisi, serta organisator untuk mempersiapkan garis-garis besar pendidikan perfilman berskala nasional. Kurikulum institusi perguruan tinggi yang mengkhususkan dirinya pada keilmuan film, sudah seharusnya tidak lagi hanya memikirkan kurikulum yang menginjak pada ranah produksi saja, akan tetapi juga didisain didalam kurikulumnya adalah materi pemelajaran film dengan teori-teori yang tepat dalam memahami dan memandang film sebagai sebuah keilmuan, bukan hanya sebagai sebuah seni ketrampilan khusus produksi.

Selain itu juga mendorong pemerintah untuk mempersiapkan konsekuensi sekolah yang mengadakan mata pelajaran muatan lokal sinematografi dengan mendapatkan peralatan yang sesuai. Kemudian dapat saja untuk sementara waktu, sebagai bahan pertimbangan khusus, melalui pemerintah pusat dan daerah mewajibkan sekolah-sekolah tertentu agar mata pelajaran muatan lokal sekolah tersebut diisi oleh sinematografi. Terutama sekolah-sekolah yang menjadi unggulan dalam wilayah sebuah propinsi ataupun kabupaten. Karena dengan mempelajari sinematografi, peserta didik tidak hanya memiliki satu ketrampilan saja, melainkan mereka dapat sekaligus memiliki 3 ketrampilan –syaratnya fotografi sebagai dasar pemelajaran sinematografi- yaitu: fotografi, sinematografi dan komputer editing.

Dalam kurun waktu tertentu, setidaknya kurun waktu 5 tahun setelah adanya standar kompetensi dan kompetensi dasar muatan lokal sinematografi yang mapan, selanjutnya menyikapi akan PP no. 19 tahun 2005 tentang pendidikan seni dan budaya, dengan mendorong pemerintah untuk menjadikan sinematografi sebagai pendidikan seni dan budaya, sehingga muatan lokal sinematografi menjadi mata pelajaran standar isi kesenian pada sekolah-sekolah umum yang juga wajib dipelajari setiap siswa-siswinya, menjadikan mulok sinematografi bukan hanya sekedar memantapkan mata pelajaran mulok. Tetapi lebih jauh lagi, dengan disain pendidikan yang jelas dan terarah, maka tidak ada salahnya untuk memasukkan sinematografi sebagai mata pelajaran standar isi bidang kesenian yang harus dipelajari disekolah-sekolah.

Dengan demikian diharapkan perfilman nasional tidak hanya menjadi sebagai sebuah produksi industri dan media tontonan saja, tetapi juga menjadi sebuah disiplin ilmu yang harus dipelajari dan dikembangkan kedepannya. Sehingga film nasional akan mendapatkan jati dirinya sebagai perfilman bangsa yang memiliki ciri serta mewakili identitas budaya bangsa. Semoga.
Daftar Pustaka

Arnheim, Rudolf. Film as Art, University of California Press, Berkeley and Los Angeles – California, 1957.

Bordwell, David and Kristin Thompson. History Film an Introduction, second edition, Mc Graw-Hill Higher Education – New York, 2003.

Bordwell, David and Kristin Thompson. Film Art an Introduction, eight edition, Mc Graw-Hill Higher Education – New York, 2008.

Galer, Mark. Essential Skill Digital Photography in Available Light, third edition, Focal Press is an imprint of Elsevier, Oxford, 2006.

Kodak. Guidelines for Better Photographic Composition, fotoinfo.com, 2003-2005.

Sisdiknas. Undang-Undang no. 20 tahun 2003

Sisdiknas. PP no.19 tahun 2005

UU no. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman

www.dikti.go.id/files/atur/KTSP-SMK/12.ppt

Jakarta, Koran. online 28 Januari 2013


Komentar