Dokumentasi, Jurnalistik TV dan Dokumenter



Terbit di Jurnal Imaji Edisi 5, Nomor 1 Januari 2013, FFTV-IKJ
Penulis : Budiman Akbar

Abstraksi
Menempatkan sebuah karya audio-visual kedalam bentuk identifikasi seperti dokumentasi, jurnalistik tv dan dokumenter, sepertinya dianggap sesuatu hal yang sangat dimudahkan. Akan tetapi kita bisa lihat dan mendengar hal itu terkesan menjadi sesuatu yang rumit apabila diminta seseorang untuk dijelaskan bagaimana cara menempatkannya pada masing-masing bentuk yang menjadi pembahasan tulisan ini. Meskipun memberikan kesan yang teramat sederhana dalam hal ini, tetapi setidaknya uraian ini memberikan gambaran ringkas bagaimana menempatkan karya audio-visual kedalam bentuk dokumentasi, jurnalistik tv dan dokumenter dengan sudut pandang tertentu.



I. Dokumentasi, Jurnalistik tv, dan Dokumenter

Wacana Umum

“Film Dokumenter adalah jenis film yang didasarkan pada dunia nyata dan orang yang nyata, yang menggambarkan segala sesuatu sebagaimana adanya atau bercerita tentang peristiwa sejarah dengan cara yang dianggap benar atau obyektif “.

“Atau juga dapat dikatakan bahwa film dokumenter itu ada hubungannya dengan realisme“
Hubungan realisme disini lebih kepada syuting yang dilakukan di beberapa lokasi yang sangat nyata (tanpa dekorasi dan membangun set), tanpa aktor dan juga peristiwa atau adegan tidak dibangun/dibuat-buat.

Lebih seenaknya lagi dikatakan bahwa film dokumenter dikutip dan disederhanakan sebagai yang berhubungan untuk "mewakili realitas“ tertentu, yang berbicara banyak tentang "fakta" dan "kebenaran" sebagai kondisi yang diperlukan untuk film-film yang berjenis non-fiksi. Bahkan sangat memungkinkan sekali kalau film dokumenter itu tidak lain hanya suatu kebalikan daripada film-film fiksi.

Bila saja dalam hal definisi yang sangat umum tersebut kita laksanakan, lantas, apakah pengambilan gambar yang dilakukan pada kamera CCTV, juga dapat disebut dengan Film Dokumenter! Tetapi ternyata hal tersebut memberatkan kita! Adegan dalam CCTV, bukanlah hal yang sama dengan Film Dokumenter yang kita maksudkan. Dengan demikian telah timbul friksi terhadap definisi dari film dokumenter itu sendiri.

Begitu pula hal yang sama berlaku pada tayangan yang disiarkan pada Program Berita (News) di televisi. Apalagi sekarang ini program berita di televisi telah memiliki berbagai varian pada jenisnya, sehingga membutakan kita pada hal yang sangat mendasar terhadap perbedaan mendasar antara karya jurnalistik tv dengan dokumenter. Beberapa karya jurnalistik dengan seenaknya dikategorikan sama dengan dokumenter. Padahal hal tersebut dapat dibantah, baik secara definitif ataupun pada sifat dan bentuknya.

Friksi

Dari kasus CCTV tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan perekaman pada sebuah peristiwa yang terjadi dalam dunia yang nyata (bukan rekayasa) dan kemudian menayangkan rekaman tersebut, tidak secara otomatis orang tersebut telah membuat film dokumenter. Bahkan juga tidak disebut dengan seorang filmmaker dokumenter atau dokumenteris.

Hal ini berlaku juga pada kasus-kasus penanyangan program berita atau reportase di televisi, bahwa program tersebut tidaklah memiliki pengertian yang sama dengan film dokumenter yang kita maksudkan. Munculnya istilah “FEATURE” pada program-program non-naratif –penulis tidak menyebutkan drama atau non-drama sebagai bentuk program acara di televisi, karena hal ini bisa didiskusikan lebih lanjut- di televisi sekarang ini, menambah daftar panjang persoalan terhadap karya dokumenter. Dengan sangat mudah sekali beberapa kalangan menyebutkan sebuah tayangan –program dokumenter tv-  disebut dengan karya feature!

Anehnya, begitu para pengusung feature ini diminta untuk menjelaskan apa itu feature? Baik itu secara definitifnya ataupun teknis dan bentuknya, seperti memaksakan kehendaknya, dengan tidak dapat menjabarkannya secara pasti dan terukur. Jangankan mempertanyakan ketiga hal tersebut, mempertanyakan darimana sumbernya saja, dengan seenaknya mereka -para pengusung karya feature ini- akan langsung menjastifikasikannya dengan menyamakan karya feature pada program televisi tersebut dengan tulisan feature pada karya tulis di media cetak.

Persamaan dan Perbedaan

Kembali kepada gambaran atau wari wacana umum dan friksi diatas tentang CCTV dan Program Berita di televisi, bahwa dapat disimpulkan ada tiga kata yang menjadi fokus dan diusung pada wacana tersebut, yakni DOKUMENTASI, JURNALISTIK TV dan DOKUMENTER. Ketiganya bagaikan momok tetapi yang tidak menakutkan, bahkan teramat dangkal kiranya bila kita memberikan istilah ini terhadap sebuah karya audio-visual. Atau sebaliknya, malah membuat kebingungan, karena tidak mengetahui apakah itu hal yang sama atau sesutau yang memiliki perbedaan. Sehingga banyak kalangan dengan serampangan memberikan penjelasan hanya sebatas pengetahuan yang didapatkan entah darimana asalnya, malahan memaksakan kehendaknya tersebut –yang memberi penjelasan- untuk segera menyutujui pendapatnya. Alhasil, karena sudah demikian berkaratnya, permasalahan ini terbawa ke dunia akademis, yang seharusnya menjadi tempat kebenaran melalui proses yang terukur, yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Tetapi secara nyata dan secara umumnya jawaban atas kebenaran hanya mengarah pada perbedaan saja, tetapi tidak dapat memberikan alasan dengan ukuran yang sama ketika ditanya tentang persamaan dari dokumentasi, jurnalistik tv dan dokumenter. Ini yang menyebabkan munculnya polemik terhadap istilah tersebut.

Dengan logika yang teramat sederhana, dapatlah dipertanyakan kenapa ada tiga nama untuk suatu karya audio-visual yang pendekatannya untuk sementara ini kita pahami sebagai sebuah “aktifitas-realitas” yang direkam.

Pemberian nama ataupun istilah tentunya tidaklah didapatkan begitu saja. Pastinya ada dasar dan alasan tertentu. Alasan perbedaan dan persamaan ini yang umumnya dipakai sebagai tolok ukur untuk pemberian nama dan istilah tertentu, sebagai ranah jawaban yang berkaitan dengan definisi dari arti dan makna dibalik istilah dan nama.

Untuk itu sebaiknya mari kita meletakkan dan menguraikan kata dan istilah dari dokumentasi, jurnalistik tv dan dokumentasi kedalam asas persamaan dan perbedaannya. Dengan demikian dapat kita uraikan seperti yang ada dibawah ini:

-          Persamaan
Sebaiknya kita mencari kesepekatan terlebih dahulu untuk Dokumentasi, Jurnalistik TV dan Dokumenter, apakah mereka memiliki persamaan yang mendasar?

Untuk menjawabnya, mari kita mengambil potongan karya ketiganya, lalu memulainya dengan adanya batasan yang dilakukan oleh frame/bingkai dalam penayangan karyanya, tentunya kita sepakat mengatakan iya! Ketiganya memiliki persamaan! Mereka dibatasi oleh frame!

Kemudian pada isi didalam frame/bingkai itu sendiri. Apakah yang terlihat? Dengan sangat pasti dapat dikatakan adanya aktifitas dari suatu peristiwa tertentu, dan ketiganya memiliki hal yang sama!

Selanjutnya, apakah pada ketiganya juga menghadirkan tokoh –karakter-? Jawabannya, iya! Sama-sama menghadirkan tokoh –karakter- tertentu. Lalu yang terakhir, apakah ada suatu setting –ruang dan waktu- tertentu? Iya, ada! Ketiganya memiliki setting.

Dengan kata lain, penjabaran tersebut bila disimpulkan bahwa dokumentasi, jurnalistik tv dan dokumenter memiliki kesamaan yang mendasar, yaitu mereka memiliki OBYEK tertentu yang ditampilkan didalam sebuah frame/bingkai.

Satu hal lagi persamaan yang ada pada ketiganya adalah pada media penayangannya pada masa sekarang ini. Dimana kekuatan teknologi internet menjadikan ketiganya dapat dinikmati oleh siapa saja melalui streaming. Target penonton dalam hal ini tidak lagi memiliki tujuan yang pasti.

-          Perbedaan
Untuk menelusuri pemahaman adanya perbedaan pada ketiga istilah tersebut, dengan menggunakan metode yang sama seperti halnya dalam membahas persamaan, juga dapat dilakukan didalam menguraikan perbedaan dari ketiganya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek seperti, aspek produksi, eksebisi dan distribusi.

Dokumentasi

Aspek produksi

Dalam sebuah produksi film umumnya dikenal tiga tahapan didalam memproduksi sebuah karya film, yakni tahapan pra produksi, tahapan produksi dan tahapan paska produksi. Meskipun pada pelaksanaannya tergantung pada model produksinya. Apakah berskala besar seperti layaknya Hollywood, ataupun berskala kecil layaknya film-film “independent” dalam pengertiannya pada biaya  produksinya. Untuk memproduksi dokumentasi, tidaklah mengenal sistem produksi seperti ini. Dokumentasi hanya langsung mengenal tahapan syuting (produksi), yakni perekaman gambar dan suara yang umumnya biaya produksi pun sangatlah minim dan murah, karena hanya berorientasi pada kamera. Perihal perekaman tidaklah mengenal naskah atau skenario sebagai blueprint dari proses produksi keseluruhannya. Penceritaan tidak memiliki struktur dramatisasi, sehingga tidak memunculkan nilai dramatik didalamnya. Kalaupun ada nilai dramatik, hal tersebut hanyalah bersifat carrier (sifat bawaan, mengambil istilah ilmu genetika) yang ada pada shot disaat merekam suatu peristiwa tertentu atau dengan kata lain sekarang ini dapat dikatakan sebagai spontanitas shot.

Peralatan yang digunakan pun hanya sebatas pada kamera yang mampu melakukan perekaman gambar dan suara sekaligus. Sudah jelas dokumentasi menggunakan kamera amatir, kalaupun menggunakan kamera yang lebih baik, tetap saja prinsip dasarnya sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada posisi ini, produksi dokumentasi berada pada lingkup yang amatir.

Ini dapat dilihat pada hasil-hasil dokumentasi bagaimana perekaman kamera ditujukan hanya terhadap aktifitas didalam suatu peristiwa tertentu. Peristiwa yang terdapat didalam dokumentasi identik dengan potongan aktifitas yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu, dimana kurun waktu ini tergantung dari terselenggaranya peristiwa sebagai tujuan dari dokumentasi.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila dokumentasi merekam hampir sepanjang peristiwa. Akibatnya dalam dokumentasi persentasi shot lebih banyak menghadirkan shot yang teramat panjang. Kalaupun ada shot yang pendek, bukanlah materi yang memang sengaja dibuat, baik sebagai dramatisasi ataupun sebagai materi pengeditan karena durasinya yang teramat singkat, sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan pengeditan.

Karena teknis perekaman gambar tersebut, otomatis juga menyebabkan konsekuensi yang berpengaruh pada suara. Unsur suara, tepatnya pada dialog direkam bersamaan dengan gambar dan menyebabkan dialog yang terdengar panjang dan lama, bahkan teramat panjang dan lama. Ataupun kalau ada unsur suara yang lain, seperti musik, perlakuannya tidaklah berbeda jauh dengan dialog. Musik yang terdapat didalam dokumentasi biasanya musik natural, dimana peristiwa seseorang atau sekelompok orang yang sedang memainkan alat musik ataupun bernyanyi yang kemudian peristiwa ini direkam oleh kamera, sehingga musik bukanlah musik yang dibuat di studio yang kemudian di mixing dengan gambar –musik fungsional-.

Mise en scene yang ada juga merupakan konsekuensi logis dari teknis perekaman gambar, serampangan dan tidak berfungsi sebagai informasi ataupun hal lainnya. Hanya memberikan gambaran setting sebagai wadah dari tempat dan waktu terjadinya peristiwa.

Sedangkan pada editing, karya dokumentasi tidak melakukan proses paska produksi ini. Karena sifat penayangannya yang menginginkan keseluruhan perekaman setidaknya harus ditayangkan, sehingga tidak ada batasan durasi penayangan. Durasi penayangan dapat dikatakan sama dengan hasil perekaman. Sekalipun itu ada proses editing didalamnya, biasanya ditujukan hanya untuk mengurangi atau memendekkan durasi tayangannya.

Dengan sistem produksi seperti ini, yang tidak memiliki sentuhan konsep dan teknis sedikitpun (minim), maka tidak ada ungkapan dan komunikasi yang diarahkan kepada seseorang. Peristiwa-peristiwa yang terdapat didalam dokumentasi hanyalah memiliki tujuan sebagai arsip personal semata.

Peristiwa à Perekaman Gambar dan Suara à Nilai pada Aktifitas à Arsip = Dokumentasi, sebagai contohnya adalah perekaman pada CCTV.

Aspek Eksebisi

Telah disinggung sebelumnya bahwa media penayangan ketiganya memiliki persamaan dalam dunia internet, hanya saja pada kapasitas yang berbeda. Di dunia internet, dokumentasi tidak lain sebagai sebuah eksistensi si pembuatnya.

Selain itu yang membedakan dokumentasi dengan jurnalistik tv dan dokumenter adalah tujuan dan penontonnya. Telah disinggung bahwa tujuan dokumentasi adalah sebagai arsip personal atau sekelompok orang tertentu semata, telah memberikan dampak bahwa nilai eksebisinya menjadi sangat minim –bukan tidak ada-. Sekalipun itu nantinya karya dokumentasi dapat saja dijadikan sebagai materi penelitian ataupun sebagai materi –stock shot- dari karya audio-visual lainnya, tetap saja nilai eksebisinya dapat dikatakan minim. Karena apabila materi dokumentasi digunakan sebagai karya jurnalistik tv ataupun dokumenter otomatis nilainya sudah berubah.

Sedangkan bila dilihat pada penontonnya, dokumentasi sebenarnya telah memiliki pasar tersendiri, bahwa penonontonnya adalah mereka yang terlibat secara emosional yang sangat kuat terhadap karya dokumentasi itu sendiri. Selain itu, faktor romantisme juga dapat dijadikan pertimbangan lain dari penonton dokumentasi. Tapi ada hal yang berbeda ketika dokumentasi merupakan hasil perekaman untuk kepentingan kemanan seperti CCTV. Eksebisi dokumentasi keamanan ini, dapat dikatakan tidak terjadi, baik faktor emosional ataupun romantisme, melainkan sebagai pendataan.

Dari hal tersebut maka eksebisi dokumentasi tidaklah memiliki format penayangan yang terorganisir dengan pasti. Begitupula pada masa putarnya, dokumentasi tidaklah memiliki ketentuan. Dapat diputar dengan waktu keseluruhan dari hasil perekaman, tetapi juga dapat dilakukan masa putarnya hanya dengan waktu yang singkat. Semua didasari atas kesempatan waktu para penontonnya.

Aspek Distribusi

Hal yang sama juga terjadi pada aspek distribusi, bagaimana dokumentasi ini dapat dikatakan tidak memiliki aspek ini. Kalaupun ada sangat kecil kemungkinannya. Umumnya yang dapat dilakukan dalam bentuk copy paste dari para penontonnya yang didasari hubungan emosional dan romantisme tadi. Tetapi sekarang ini, dengan adanya internet –jejaring sosial dsb- dokumentasi telah menemukan wadah distribusinya.

Pada konteks ini, maka tujuan dokumentasi sebagai arsip semata menjadi gugur, karena selain sebagai arsip, didunia internet juga terdapat nilai eksistensi dokumentasi tersebut dan juga si pembuatnya selain ada nilai hiburan. Malah sudah ada indikasi dari strategi pemasaran bagi karya dan si pembuatnya itu sendiri ataupun subyek –atau juga obyek- yang ada didalamnya.

Jurnalistik TV

Aspek Produksi

Pada karya audio-visual semacam ini, perencanaan produksi sudah lebih baik dibandingkan dengan dokumentasi. Tidak seperti dokumentasi, didalam melahirkan karya jurnalistik tv, para pembuatnya telah menggunakan tahapan pra produksi, produksi atau syuting dan paska produksi.

Pada proses pra produksi, meskipun hanya sebuah catatan kecil yang dibuat seorang reporter ataupun kru yang terlibat didalamnya (biasa dikenal dengan TOR), naskah telah menjadi tulang-punggung dari produksi. Naskah tersebut dibuat sebelum syuting dilaksanakan. Ada dua metode yang digunakan dalam membuat naskah ini. Naskah dapat ditulis berdasarkan tujuan dari sesuatu yang ingin disampaikan, atau dapat juga naskah tersebut tidak dalam bentuk tulisan, melainkan spontanitas, walaupun sebenarnya spontanitas ini telah memiliki tema tertentu sebagai dasar naskah. Sebagai contoh spontanitas ini dapat dilihat dalam jurnalistik tv yang menggunakan sistem siaran langsung dari tempat terjadinya suatu peristiwa tertentu –seperti halnya peristiwa tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu-. Beberapa reporter atau jurnalis tv lainnya, hanya menggunakan catatan-catatan kecil sebagai pondasi dalam memberikan informasi.

Metode spontanitas pada naskah yang digunakan pada jurnalistik tv dengan konsep siaran langsung ini, sebenarnya telah digunakan pada awal-awal film diproduksi.

Dari tahun 1896 sampai dengan tahun 1901, seperti yang ditulis oleh Isabelle Raynauld, bahwa “skenario ditulis dalam bentuk sinopsis dan sangat jarang tulisan tersebut lebih panjang dari satu paragraf”. Beberapa model seperti itu sebenarnya sangat banyak, bahkan beberapa diantaranya malah lebih pendek daripada hal tersebut: karena didalam tulisan tersebut sudah termasuk judul dan deskripsi yang ditulis dalam satu baris yang berupa tindakan yang akan diperlihatkan nantinya didalam film”.

Isabelle juga melanjutkan bahwa naskah diawal-awal tersebut juga melayani fungsi dari pemasaran:

“Sebagai contohnya, hal ini merupakan praktek yang umum untuk mencetak skenario secara keseluruhan (yang selama ini praktek tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan karena hanya dianggap sebagai sebuah ringkasan cerita belaka) yang terdapat pada katalog perusahaan film pada waktu itu. Bahkan, naskah awalnya tidak hanya digunakan sebagai bahan publikasi tetapi juga membantu para penonton yang hadir, dimana naskah berfungsi juga sebagai bentuk penjelasan dari cerita bagi film baru, yang diperuntukkan bagi penonton yang sudah berpengalaman. Selama sepuluh tahun pertama, penonton seringkali menyewa seseorang untuk memberikan petunjuk terhadap cerita dan mengomentarinya serta menjelaskan cerita selama proyeksi film dilakukan”.

“From 1896 to 1901,” writes Isabelle Raynauld, “skenarios were written in sinopsis form and rarely were longer than one paragraf. Many, in fact, were even shorter: they included a title and a one-line description of the action to be seen.” She goes on to note how these early protoscripts also served a marketing function:

For example, it was a common practice to print the screenplays in full (long mistakenly considered to be merely summaries) in company catalogues. In fact, early scripts were not only used as publicity material but also helped exhibitors explain the story to new, inexperienced spectators. For the first ten years or so, exhibitors would often hire a lecturer or bonimenteur to comment on and clarify the story during the projection of the film.”
Raynauld, Isabelle. “Screenwriting” in The Encyclopedia of Early Cinema. Edited by  Abel, Richard. NY: Routledge, 2005. Pgs. 834-838.
           
Jadi sangat jelas, bahwa tehnik penulisan naskah yang dilakukan pada jurnalistik tv, juga merupakan tehnik penulisan skenario yang digunakan pada awal-awal film dipertontonkan. Selain untuk memandu pengambilan gambar, naskah tersebut digunakan juga sebagai landasan wawancara kepada narasumber. Sehingga terjadi kesinambungan dramatik, antara naskah, pengambilan gambar dan wawancara. Karena fungsi dari naskah dan wawancara adalah menimbulkan nilai obyektifitas pada karya jurnalistik tv ini.

Selain itu awak atau kru dari produksi umumnya pada jurnalistik tv, tidak pada skup yang besar. Malahan sangat minim, hanya dengan dua orang kru yang berada dilapangan atau mereka yang melakukan syuting, jurnalistik tv ini dapat dilaksanakan sesuai dengan konsep yang diinginkan. Tetapi pada hakekatnya, tehnik produksi ini tetap terdiri dari tujuh bidang keutamaan produksi film umumnya, minus penata artistik. Meskipun bidang-bidang tersebut dirangkap oleh satu orang. Pada ranah stasiun televisi yang mapan sekalipun, produser, sutradara, penulis naskah dan reporter sudah menjadi satu paket bidang. Bahkan juga sampai menangani bidang editing. Sedangkan penata kamera dan suara menjadi paket bidang produksi lainnya yang dibebankan pada seorang penata kamera jurnalistik tv. Sudah barang tentu tujuan paket bidang produksi ini tidak lain sebagai efisiensi dan efektifitas budget.

Pada penata kamera –plus suara karena perihal peralatan video ataupun digital ataupun peralatan lainnya yang dapat melakukan kedua-duanya tersebut- akan lebih baik menggunakan istilah pengambilan gambar dan suara bukan perekaman gambar dan suara seperti halnya yang terjadi pada dokumentasi. Perekaman merupakan modus memanfaatkan teknologi kamera, sedangkan pengambilan sudah modus lebih dari sekedar hal tersebut. Tidak hanya aktifitas perekaman yang dilakukan, melainkan ada motivasi tertentu didalamnya. Kamera ditempatkan dengan maksud-maksud tertentu, yang sebenarnya maksud ini tertuang didalam naskah ataupun wawancara yang telah dilakukan sebelumnya. Sehingga aktifitas pada peristiwa yang terjadi bukan lagi persoalan yang dihadirkan, melainkan sudah ada nilai pemilihan terhadap aktifitas itu sendiri. Dengan sentuhan editing dalam membangunan peristiwa dalam pencapaiannya terhadap informasi yang dramatik pemilihan aktifitas menjadi bentuk dari kemampuan naskah dan wawancara serta penempatan kamera dalam pengambilan gambar yang kesemuanya ditujukan sebagai nilai presentasi. Karena presentasi itulah tayangan jurnalistik memiliki nilai yang obyektif, bagaimana tayangan dihadirkan dalam bentuk informasi-informasi yang langsung memiliki nilai dramatik sebagai bentuk penjelasan dari peristiwa yang terjadi. Bukan hanya sebagai aktifitas belaka.

Bentuk tayangan ini merupakan presentasi yang dapat saja berupa laporan –baik tehniknya secara langsung ataupun tidak langsung- dari suatu peristiwa yang terjadi ataupun dalam bentuk yang lainnya, seperti halnya penayangan video amatir hasil dari kemampuan naskah, wawancara dan editing yang telah diperlakukan sebelumnya terhadap video amatir tersebut.

Peristiwa à Pengambilan gambar dan suara à Nilai pada obyektifitas à Presentasi = Jurnalistik tv.

Eksebisi

Sebenarnya ada dua metode yang digunakan dalam eksebisi pada jurnalistik tv ini, yaitu metode siaran langsung –live- atau siaran non langsung –baik itu typing atau siaran tunda dsb-. Hanya saja  siaran langsung menjadi keistimewaan tersendiri pada karya jurnalistik tv karena pada saat produksi –syuting- berlangsung hasilnya sekaligus langsung dapat disaksikan oleh penonton. Otomatis pada kasus ini produksi sudah menjadi satu rangkaian dengan eksebisi.

Sedangkan pada kasus penayangan non langsung, setelah tahapan produksi maka tahapan eksebisi dilaksanakan sebagai kelanjutannya, dimana televisi menjadi acuan dari tahapan ini.

Penayangan pada televisi sendiri sebenarnya memiliki aturan main yang tidak dimiliki oleh dokumentasi dan dokumenter –yang dimaksud adalah dokumenter sebagai salah satu jenis dari film, sekaligus sebagai dasar dokumenter itu sendiri sebelum televisi sebagai media alternative tayangan dokumenter. Dimana tayangan jurnalistik tv itu sendiri juga dipengaruh oleh kepentingan ekonomi dan industri dari sebuah stasiun tv. Sehingga formatnya sangat ditentukan oleh rating sebagai tolok ukur ekonomi dan industri serta penempatan jam tayang pada program tv secara keseluruhannya sebagai tolok ukur sosiologis dan psikologis penonton.

Karena faktor tersebut maka isi jurnalistik tv menjadi kuat untuk memiliki nilai yang obyektif. Karena dengan sendirinya tolok ukur yang dijelaskan sebelumnya membuat jurnalistik secara prinsipnya ingin menggapai kalangan penontonnya sangatlah luas dan sangat umum. Tidak terbatas pada kalangan, status ataupun jenis kelamin tertentu. adalah salah satu kriteria dalam menggapai kalangan penontonnya.

Distribusi

Pada beberapa distribusi yang telah berlangsung pada jurnalistik tv ini, biasanya menggunakan beberapa metode. Hal ini berkaitan dengan persaingan bisnis antar stasiun tv yang satu dengan stasiun tv yang lainnya. Ciri dari stasiun tv juga dapat mempengaruhi tahapan distribusi jurnalistik tv.

Ciri tersebut dapatlah kita bagi secara sederhana pada stasiun televisi di negeri ini dengan dua bagian yakni stasiun tv yang fokus atau lebih mengedepankan pada penayangan karya jurnalistik tv –untuk tv Skala Nasional seperti tv one dan metro tv- dan yang fokus diluar jurnalistik atau dapat kita istilahkan dengan non jurnalistik –TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar TPI, Antv, Trans dan Trans 7 serta Global tv atau B Channel pada Skala Nasional-.

Meskipun stasiun tv yang mengedepankan tayangan diluar jurnalistik, tetap saja pada jam tayang tertentu mereka menyiarkan berita tv, sehingga kadangkala mereka membutuhkan produksi jurnalistik tv yang tidak diproduksi oleh mereka. Sehingga untuk memperkuat informasi yang disampaikan –umumnya lewat pembaca berita- maka, mereka membeli dari stasiun tv lainnya dengan ketentuan perdagangan –dapat dianggap sebagai kode etik jurnalistik- dilabelkan dengan teks courtesy. Kasus seperti ini tidak hanya dijalankan oleh stasiun tv non jurnalistik, tetapi juga terjadi pada tv jurnalistik yang membeli produksi karya jurnalistik ini kepada stasiun tv non jurnalistik.

Selain jalur diatas, distribusi juga dilakukan melalui jalur internet, dimana keberadaan web sangatlah diperlukan untuk distribusi semacam ini. Selain itu pola jejaring sosial juga menjadi metode yang lainnya. Dengan demikian distribusi jurnalistik tv, seperti paket dagang dari segala bentuk media komunikasi yang ada sekarang ini ataupun juga media komunikasi yang akan datang. Pada media internet, materi jurnalistik dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan web dari stasiun televisi itu sendiri dengan model tayang yang dikenal dengan istilah televisi streaming. Pada kasus copy paste sebeanarnya juga dilakukan pada jurnalistik tv.

Dokumenter

Produksi

Bicara produksi dokumenter tidaklah berbeda jauh dengan apa yang dilakukan pada jurnalistik tv. Namun dalam pelaksanaannya, produksi dokumenter, sepanjang sejarahnya memiliki tiga model yang berbeda.

Pertama, dengan apa yang dilakukan oleh Robert Flaherty, yang terpusat pada tahap produksi (proses syuting) dan gambar yang dihasilkan merupakan hasil dari konsep penataan fotografi.

Kedua, John Grierson lebih mengedepankan pada konsep yang dilakukan pada saat pra produksi berlangsung, seperti sinopsis dan treatment.

Ketiga, Dziga Vertov meyakini bahwa proses editing adalah segala-galanya bagi film dokumenter untuk mengolah materi gambar yang ada, baik berupa materi syuting ataupun stock shot dan footage.

Ketiga metode tersebut dapatlah dilihat bila aplikasikan memiliki dampak tertentu bahwa metode yang dilakukan Flaherty akan menyebabkan hilangnya fokus dalam merekatkan hubungan-hubungan peristiwanya menjadi satu rangkaian utuh menuju ke sebuah pesan yang ingin disampaikan. Gambar hanya ditujukan pada keistimewaan pengambilan gambar, kadang juga atau sangat minim menampilkan imaj tertentu. Serta editing tidaklah menjadi sebuah konstruksi cerita yang utuh.

Selanjutnya pada metode yang dilakukan Grierson, dapat disimak lebih dalam ingin memfokuskan pada penataan struktur peristiwa yang akan membawa dampak storytelling yang akan disampaikan para dokumenteris lebih kuat. Tetapi resikonya, kadangkala mengesampingkan dari unsur penataan fotografi. Sedangkan editing membangun konstruksi melalui materi syuting yang didasari oleh konsep cerita yang telah dibuat.

Sedangkan pada metode Vertov, adalah hasil dari pengaruh kondisi perfilman Rusia (Soviet), dimana editing menjadi pemikiran yang memiliki dampak yang kuat pada film. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pra produksi dan syuting adalah satu tahapan yang langsung dilakukan pada proses syuting itu sendiri berlangsung. Pemikiran “editing thinking” dalam hal ini menjadi kekuatan dalam tahapan syuting. Kadangkala materi yang dipersembahkan untuk editing, menjadi sedemikian banyak pilihannya. Kreatifitas penataan peristiwanya menyebabkan beberapa peristiwa yang lainnya, yang direkam pada saat syuting, menjadi hal yang mubazir. Selain juga mengesampingkan unsur penataan fotografi.

Tidaklah berbeda jauh dari apa yang dilakukan disaat syuting berlangsung, pada tahapan paska produksipun perekaman dengan meraciknya sedemikian rupa menjadi peristiwa yang dapat dilihat dalam kondisi “kekinian” (sekarang) –yang tervisualkan atau terlihat pada filmnya- dan juga otomatis dimulainya pencarian alternatif-alternatif dalam memandang persoalan.


Apa yang dikatakan oleh Grierson merupakan sistem yang sama dengan apa yang telah dijalankan pada produksi film fiksi dan menjadi modus pembelajaraan dalam dokumenter sekarang ini. Terutama diberlakukan pada sekolah-sekolah audio-visual. Mengingat pencapaian dari kedua model yang dilakukan oleh Flaherty dan Vertov, teramat rumit bagi sebagian orang yang mempelajari produksi dokumenter –pada tahapan permulaan-. Apalagi kedua model tersebut paling tidak lebih menunjukkan keakraban antara subyek atau peristiwa yang terjadi dengan pembuat film yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk saling mengerti dan memahami diantara keduanya, dibandingkan dengan model Grierson ini yang lebih mengutamakan prinsip waktu pembuatan, seperti layaknya sebuah industri film fiksi.

Tetapi bukan berarti model Grierson lebih mudah, tetapi sebenarnya dengan menggabungkan metode ketiganya, akan jauh lebih efektif dan efisien, disamping adanya penembahan metode penelitian dari disiplin ilmu sosial yang lain -semacam ilmu antropologi- sebagai pisau pengamatan peristiwa yang terjadi. Hal tersebut seperti apa yang dilakukan oleh Jean Rouch meskipun dia melakukan hanya untuk menggabungkan metode Robert Flaherty dan Dziga Vertov.

Sehingga kamera bukan lagi digunakan sebagai perekaman ataupun pengambilan gambar dan suara saja. Tetapi sudah menciptakan imaj –pencitraan pada gambar dan suara-. Kamera telah menggunakan asas-asas dan pemahaman hukum serta kaidah visual yang jauh lebih kompleks dan lebih tinggi. Intervensi dramatik yang sangat subyektif terhadap perekaman dan pengambilan gambar menjadi pertimbangan tertentu dalam menciptakan imaj pada karya dokumentasi ini. Karena dramatik disini bukan hanya pada shot, melainkan juga film keseluruhannya.

Begitu pula pada aspek suara. Mengimbangi ketentuan gambar yang menciptakan imaj, maka suara juga diperlakukan dengan hal yang sama. Ketiga unsur suara dapat digunakan ataupun juga tidak diperlukan sama sekali. Semuanya diserahkan pada pencapaian makna tertentu.

Hasil pengambilan gambar dan suara tersebut, kemudian dilakukan pengorganisasian pada proses editing selanjutnya, yang juga sudah pasti ada intervensi si pembuatnya –seseorang-, dengan lebih terorganisir dengan menggunakan konsep dan metode editing tertentu. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan naskah (sinopsis/treatment), tetapi lebih jauh lebih kompleks, yakni membangun dramatisasi cerita dari suatu peristiwa yang terjadi, bahkan berlangsung. Sehingga waktu dapat dikondisikan dan kronologi peristiwa pun juga dapat berubah.

Penjelasan diatas memperkuat, bahwa naskah (sinopsis/treatment) dengan sendirinya dibangun berdasarkan dramatisasi untuk mencapai nilai dramatik. Peristiwa dihadirkan bukan sebagai presentasi tetapi sudah masuk sebagai representasi. Presentasi yang memiliki intervensi seseorang yang menjadi nilai yang sangat subyektif si pembuatnya. Karena hasil dari keseluruhan dokumenter merupakan materi ungkapan atau komunikasi yang ditujukan kepada seseorang (penontonnya).

Peristiwa à Penciptaan imaj à Subyektifitas à Dramatisasi/dramatik à Representasi = Dokumenter

Eksebisi

Bila dilihat dari tujuannya, maka ada beberapa jenis eksebisi pada dokumenter ini, yakni: bioskop –dokumenter sebagai jenis film-, festival, televisi, internet dan kekhususan.

Pada bioskop, sepertinya sekarang ini, dokumenter telah melebur dengan dunia fiksi. Film semacam G30S/PKI ataupun John F Kennedy, merupakan pencapaian dari fusi tersebut. Selain film-film semacam Ocean yang benar-benar murni dengan identitasnya sebagai film dokumenter yang beberapa tahun lalu tayang di bioskop Blitz Megaplex.

Beberapa film dokumenter juga secara sengaja dibuat untuk dipersiapkan untuk tujuan sebagai film festival, baik pada ajang kompetisi ataupun sebagai ajang non kompetisi. Tetapi yang menjadi nilai eksistensi dari dokumenter pada masa sekarang ini adalah televisi sebagai media eksistensi dari dokumenter, terbukti dengan berdirinya stasiun televisi yang mengkhususkan materi tayangan programnya dengan dokumenter, semisal National Geographic ataupun Kompas TV. Sedangkan pada media internet, sama seperti halnya pada kasus-kasus dokumentasi dan jurnalistik tv, dokumenter juga memanfaatkan hal tersebut sebagai media tayang streaming, arsip ataupun lainnya melalui web dan jejaring sosial.

Pada media kekhususan, dokumenter disini sebagai pembelajaran, retorikal dan bisnis, seperti halnya pada media tayang sekolah –khususnya film-film dokumenter karya mahasiswa/pelajar sebagai bentuk tugas atau ujian akhir- serta sebagai dokumenter departemen pemerintahan –umumnya dokumenter retorikal- dan perusahaan –company profile-, yang umumnya ditayangkan untuk kepentingan-kepentingan departemen ataupun perusahaan itu sendiri, baik retorikal maupun bisnis.

Distribusi

Mengacu pada film fiksi, sebenarnya dokumenter sendiri pada prinsipnya sama dengan apa yang telah dijalankan oleh distribusi film fiksi. Bahwa dokumenter juga memiliki distribuotrnya sendiri, meskipun si pembuatnya kadangkala juga sebagai distributor. Disamping hal ini merupakan kesinambungan dari apa yang telah dijelaskan pada eksebisi, melalui jalur festival, televisi dan internet.

Selain itu juga bentuk semacam portable tontonan semacam VCD, DVD atau yang lainnya, juga menjadi bentuk distributor dari dokumenter. Meski juga copy paste sebagai konsep dokumentasi digunakan dalam mendistribusikan dokumenter.


Poin Penting Dokumenter

Lebih jauh lagi dapat diuraikan bahwa film dokumenter memiliki beberapa poin penting, yakni bahwa film memiliki:
-          Artistik,
tidak hanya pada garapan, namun juga memilih peristiwa yang dihadirkannya
-          Pesan moral,
dari sudut pandang dan dari berbagai hal
-          ideologis,
yang berasal dari film yang diproduksi

Atau singkatnya dokumenter berkaitan dengan keinginan untuk membuat perbedaan, untuk mengubah dunia, atau setidaknya cara dimana beberapa orang-orang yang relevan dalam hal ini memandang dunia ataupun juga dirinya sendiri.

Pengamatan bukan Perekaman pada Dokumenter

Melihat akar kata dari dokumenter dari bahasa latin  "docere" yang dimaksudkan dalam Bahasa Inggris sebagai teach atau instruct, sebuah film dokumenter pada dasarnya adalah presentasi yang menghendaki sesuatu yang dibuat oleh seseorang dengan cara tertentu dan bertujuan untuk seseorang (penontonnya).

Atau juga dapat diartikan pada kalimat yang lebih modern dan sangat umum bahwa sesuatu yang menjadi "dokumen" (misalnya sesuatu yang merupakan bagian terpenting dalam seseorang, seperti ijasah sekolah) dan kita umumnya akan mengecek kebenarannya serta mendokumentasikannya sebagai arsip dan laporan.

Seorang Sutradara Film Dokumenter, bukanlah seorang perekam, yang hasilnya ditujukan untuk dipresentasikan, melainkan kesadaran akan re-presentasi dari sudut pandang tertentu dan dapat mengadopsi dari apa yang dimaksud dengan PENGAMATAN, karena model syutingnya yang menuntut banyak pilihan, baik disaat perekaman berlangsung. Melalui sarana “editing thinking” saat proses pengambilan gambar dan suara berlangsung, pilihan tersebut dialokasikan sebagai hasil dari pengamatan.

Kesimpulan dan Beberapa Definisi Dokumenter

Ada beberapa pendekatan dalam mendefinisikan dokumenter, hanya saja banyak diantaranya lebih mengedepankan bahwa dokumenter sebagai aktualitas dan fakta sebagai dasar pengertian definisi. Sehingga aktualitas dan fakta menjadi “ibu” untuk pendekatan definitif dari beberapa pendekatan yang ada.

Untuk berikutnya bagaimana dibawah ini merangkum beberapa pendapat mengenai definisi dari dokumenter dari berbagai pendekatan, atau bila dibagi sebenarnya hanya ada empat metode pendekatan didalam mendefinisikan dokumenter, yaitu aktualitas dan fakta, fiksi dan nonfiksi, tujuannya dan subyeknya. Berikut dibawah ini adalah definisi dari beberapa kalangan terhadap dokumenter.

·         Definisi dokumenter dengan pendekatan aktualitas dan fakta:
-          “Dokumenter adalah perlakuan kreatif atas aktualitas”
John Grierson, Cinema Quarterly, 22.1,8.

Pendapat ini merupakan yang pertama kali muncul dan dipublikasikan secara umum dan luas untuk menggunakan kata dokumenter pada sebuah jenis film.

-          “Tidak seperti kebanyakan film fiksi, dokumenter berurusan dengan fakta –sesungguhnya pada orang-orang, tempat dan peristiwa yang bukan ciptaan. Dokumentaris percaya bahwa mereka tidak menciptakan dunia yang begitu banyak sebagai laporan dari yang sudah ada”
Louis Giannetti, Understanding Movies, 7th ed., 339.

-          “Film yang peristiwa-peristiwanya aktual; peristiwa-peristiwa yang didokumentasikan dengan orang yang terlibat nyata, bukan dengan aktor”
Ralph S. Singleton and James A. Conrad, Filmmaker’s Dictionary, 2nd ed., 94.

-          “Sebuah film dokumenter dimaksudkan untuk menyajikan informasi faktual tentang dunia di luar film”
David Bordwell and Kristin Thompson, Film Art an Introduction, 5th ed., 42.

-          “Sebuah jenis film yang ditandai dengan penanganan interpretatif realistis subyek dan latar belakangnya. Kadang-kadang istilah ini diterapkan secara luas untuk mencakup film-film yang muncul lebih realistis dibandingkan gambar komersial yang konvensional; dilain waktu, amatlah terbatas kalau hanya film-film dengan narasi dan lagu serta latar belakang kehidupan yang nyata seperti itulah dikategorikannya”
Edmund F. Peney, Facts on File Film and Broadcast Terms, 73.

-          “Sebuah film yang berhubungan langsung dengan fakta dan bukan fiksi, yang mencoba untuk menyampaikan kenyataan sebagaimana adanya, bukan beberapa versi fiksi dari realitas. Film-film ini sebenarnya berkaitan dengan orang, tempat, peristiwa atau kegiatan”
Ira Konigsberg, The Complete Film Dictionary, 2nd ed., 103.

-          Sebuah film nonfiksi yang faktual mengatur dan menyajikan bahan-bahan untuk membuat sebuah nilai”
Gerald Mast and Bruce F. Kawin, A Short History of The Movies, 7th ed., 646.

·         Definisi dokumenter dengan pendekatan fiksi dan non-fiksi
-          “Sebuah film nonfiksi tentang peristiwa nyata dan orang-orang, yang sering menghindari struktur naratif tradisional”
Timhoty Corrigan, A Short Guide to Writing About Film, 4th ed., 206.

-          “Teks nonfiksi seseorang yang menggunakan rekaman “kenyataan”, yang mungkin berisi rekaman peristiwa hidup dan relevan dengan materi penelitian (yaitu wawancara, statistik dll). Teks semacam ini biasanya diinformasikan oleh sudut pandang tertentu, dan berusaha untuk mengatasi masalah sosial tertentu yang terkait dan berpotensi mempengaruhi penonton”
Paul Wells, The Documentary Form: Personal and Sosial ‘Realities, in An Introduction to Film Studies, 2nd ed., Jill Nelmes, 212.

-          “Sebuah film nonfiksi. Dokumenter ini biasanya disyut, di lokasi, yang menggunakan orang yang sebenarnya bukan aktor, dan fokus tematisnya tentang sejarah, ilmiah, sosial atau mata pelajaran lingkungan. Tujuan prinsip mereka adalah untuk menerangi, menginformasikan, mendidik, meyakinkan, dan memberikan pemahaman tentang dunia dimana kita hidup”
Frank Beaver, Dictionary of Film Terms, 119.

-          “Suatu kebebasan istilah dengan berbagai makna, pada dasarnya digunakan untuk merujuk kepada film atau program apapun yang tidak sepenuhnya fiksi yang alami”
James Monaco, The Dictionaryof New Media, 94.

·         Definisi dokumenter dengan pendekatan tujuannya
-          Documentary tidak mendefinisikan subyek atau gaya, tapi pendekatannya. …Dokumenter bioskop pendekatannya amatlah berbeda dari film cerita –bukan dalam mengabaikan keahlian, tetapi bagaimana tujuan keahliannya ditempatkan”
Paul Rotha, Cinema Quarterly, 2.2, 78.

-          “Dokumenter harus bertindak sesuai hati kita, bukan hanya pada pikiran kita; hal itu ada untuk mengubah cara kita merasakan tentang sesuatu”
Michael Rabiger, Directing The Documentary

-          Suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mem-persuasi) penontonnya. Dengan ini, film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat dengan film-film yang bernuansa propaganda.”
Misbach Yusa Biran, Tehnik Menulis Skenario

·         Definisi dokumenter dengan pendekatan subyek
-          “Banyak praktek di film yang memiliki subyek sebagai orang, peristiwa atau situasi yang ada di luar film di dunia nyata”
Steve Blandford, Barry Keith Grant, and Jim Hillier, The Film Studies Dictionary, 73.
 
Jual Buku Semua Bisa Menulis Skenario | Togamas.com: Toko Buku ...

Daftar Pustaka

Bill Nichols, Representing Reality (Indiana University Press, 1991).

Eric Barnow in Documentary - a history of the non-fiction film (Oxford University Press, 1974).

Based on Bill Nichols' work, eg Introduction to Documentary (Indiana University Press, 2001).






Komentar

Posting Komentar