Adakah Struktur Alternatif pada Film Box Office Indonesia Pasca Reformasi? (Struktur Film Jelangkung)



Telah diterbitkan pada: JURNAL Online PUBLIPRENEUR
https://polimedia.academia.edu/publipreneur

Abstraksi
Struktur pada film umumnya menggunakan pola yang sudah lama dikenal oleh penonton, yakni struktur tiga babak yang diperkenalkan sejak jaman Yunani Kuno oleh Aristoteles. Namun belakangan ini diketahui bahwa film-film box office Hollywood menggunakan struktur alternative yang dikenal dengan nine act structure. Lalu film-film box office Indonesia pasca reformasi yang memiliki semangat perubahan perlu kiranya untuk dikaji lebih jauh lagi, apakah menggunakan struktur yang sudah lama dikenal penonton pada umumnya, atau menggunakan struktur alternative.
Kata kunci: Struktur, alternative dan film box office.

Abstraction
The structure of the films generally use pattern that has long been recognized by the audience the three act structure known since the days of ancient Greece by Aristoteles. But lately known that films Hollywood box office use alternative structure known as the nine act structure. Then the films box office Indonesia after the reform that has the spirit of change, would need to be studied further, whether using a structure that has long been known to the audience in general or the use of alternative structure.


Pendahuluan
Film bagi para kreator sebagai media ekspresi yang terlepas dari unsur dagang dan industri. Mereka berdiri atas nama seni dan tingginya nilai kreatifitas. Sedangkan yang kedua atau yang lainnya adalah hal yang sebaliknya. Film sebagai unsur dagang dan industri, para kreator film membuat film karena didasari mendapatkan keuntungan dari hasil film tersebut.

Sangat menarik memang apabila ada seorang kreator film dapat langsung menjamin film yang dihasilkannya itu dapat disenangi dan diterima oleh khalayak umum. Sehingga dengan berbondong-bondong, publik datang ke bioskop untuk menonton film yang dihasilkan oleh si kreator film tadi. Tentunya hal ini hanya sebuah keinginan diluar batas kemampuan siapapun. Entah itu kreator yang memenangi berbagai macam festival film di dunia ini sekalipun. Ataupun juga kreator film yang telah banyak membuat film seumur hidupnya. Malah sampai-sampai ada istilah hidup dan matinya hanya untuk film. Mustahil hal itu ada. Namun dibalik itu semua, sebenarnya peristiwa itu bukannya tidak dapat ditelusuri lebih jauh. Mungkin tidak akan pernah ada kalau film laris itu tergantung kepada siapa orang di balik film tersebut. Tetapi menjadi pandangan yang berbeda bila dalam membuat film menerapkan pola-pola yang telah dikenal oleh publik, katakanlah publik disini adalah para penonton film, tentunya berdasarkan analisa-analisa yang dilakukan sebelumnya, mungkin hal tersebut dapat diatasi. Walaupun itu masih dalam bentuk coba-coba.

Ada beberapa analisa yang dilakukan oleh beberapa orang mencoba untuk mencari pola-pola tersebut. Bagaimana menjadikan sebuah karya film itu laku dipasaran dan menjadikan suatu pola tertentu, yang baku diterapkan pada film. Sehingga film sebagai sebuah bisnis yang sangat menguntungkan. Salah satunya dengan menelusuri dari konsep bertuturnya sebuah film.

Dijelaskan dalam buku Film Art An Introduction Seventh Edition[1] adanya tiga tahapan dalam produksi sebuah film, yaitu Preporation atau Pra Produksi, Shooting atau Produksi, serta Assembly atau Pasca Produksi.

Pada tahapan Preporation termasuk proses pembuatan skenario, dimana hal ini merupakan ujung pangkal pemikiran sebuah film. Skenario menjadi titik yang paling dasar dalam hal ini. Bagaimana film dari awal sudah diperhitungkan dengan konsep yang sedemikian rupa bentuk dan polanya.

Namun begitu dalam tubuh skenario pun memiliki elemen-elemen didalam merangkai bentuk dan isi skenario tersebut. Bagaimana elemen-elemen yang terdapat didalam skenario paling tidak ikut menentukan berhasil atau tidaknya film di mata penonton atau publik. Kemudian elemen-elemen didalam skenario itu disusun dan dibuatkan bentuknya dengan memakai struktur atau pola. Dalam skala yang besar atau mayoritas struktur cerita yang digunakan dalam produksi film saat ini semuanya merujuk pada Struktur Hollywood Klasik. Karena ada faktor dalam pembuatan film itu dapat dikenal membuat sebuah produk, maka menjadi logika dagang dan industri yang masuk akal dengan tidak mencoba-coba untuk mencari alternatif lain. Tentu saja dapat dipastikan struktur ini karena telah lama dikenal oleh masyarakat. Pembuktian tentang ini dapat dicontohkan kembali pada studi yang dilakukan oleh Vladimir Propp, yang menganalisa foklor atau cerita rakyat negeri Rusia. Atau ada hal lain seperti penonton memang mengharapkan film yang ditontonnya itu adalah hal-hal yang sudah dikenal dan sudah dekat dengan dirinya. Sehingga tidak perlu bagi para kreator film untuk memberikan struktur yang lain kepada penonton.

Dengan adanya gambaran diatas, menjadi sangat menarik bila melihat film-film yang diproduksi didalam negeri. Apalagi dalam kurun waktu yang cukup lama produksi film nasional mengalami tidur yang sangat panjang, artinya disini hanya beberapa buah film saja yang dihasilkan dalam kurun waktu hampir lebih kurang 10 tahun. Padahal di era 70an dan 80an, film nasional bagaikan raja dinegerinya. Namun belakangan memasuki awal tahun 90-an sampai pada era reformasi atau memasuki milenium baru, rasa-rasanya film nasional sepertinya benar-benar “mati suri”. Sebuah istilah yang digunakan untuk produksi film-film nasional yang jumlahnya berkurang.

Baru setelah era lahirnya reformasi, atau tepat memasuki abad baru, muncul beberapa film yang dibuat oleh generasi baru kreator film Indonesia, dan sepertinya produksi film nasional pun dari tahun ke tahun mengalami kemajuan yang cukup pesat sampai tulisan ini dibuat. Beralihnya generasi kreator film, kiranya menjadi salah satu faktor yang tidak dapat ditutup sebelah mata, karena generasi inilah yang membuat perfilman nasional bangun dari peraduannya. Ini dapat dilihat dengan terus meningkatnya film yang diproduksi sejak reformasi.

Adakah Film Nasional Menggunakan Struktur Alternatif?
Skenario merupakan hasil dari bentuk teknis dalam menyusun elemen-elemen yang terdapat didalam sebuah cerita yang dikhususkan bagi produksi film. Dengan sendirinya susunan tersebut memiliki sebuah bentuknya atau struktur. Untuk lebih jauhnya struktur atau pola apa yang digunakan dalam pembuatan film, tentunya tidak menjadi sebuah struktur atau pola yang baku. Baik itu film produksi Hollywood ataupun film produksi dalam negeri. Namun film-film Hollywood selalu menjadi gambaran produksi film di dunia sehingga menjadi mainstream. Film-film Hollywood sangat mengandalkan naratif, dengan struktur ceritanya yang dikenal dengan 3 babak, dan hal ini berlangsung sudah cukup lama, sehingga struktur berceritanya dikenal dengan Struktur Klasik Hollywood.[2] Struktur ini pulalah yang kemudian menjadi acuan film-film diseluruh dunia, termasuk film-film produksi dalam negeri.

Film-film Box Office atau film yang laku dipasaran, merupakan materi yang menarik untuk dikaji, terutama dari bentuk struktur film. Demikian halnya dengan film-film box office Indonesia, terutama pada pasca reformasi. Adakah film-film nasional, menggunakan struktur atau pola yang sama dengan film-film produksi Hollywood pada umumnya, atau menggunakan struktur yang lain?

Pada akhirnya struktur 3 babak versi Hollywood ini menjadi bahan pertimbangan para kreator film dalam memproduksi film mengingat beberapa hal, yakni:

- sangatlah relevan untuk digunakan pada film-film yang memang sengaja dibuat untuk kebutuhan dagang dan industri, karena sudah dipahami oleh para penonton pada umumnya.

- Selain itu juga adanya ketidakpastian dari keuntungan film apabila film yang diproduksi oleh para kreator film memberikan warna struktur alternatif yang baru kepada penonton, yang belum atau tidak dikenal oleh penonton.

Padahal dalam informasi terakhir, struktur dalam film-film Hollywood yang berhasil masuk dalam kategori box office, beberapa diantaranya menggunakan struktur diluar tiga babak. Sehingga penonton mendapatkan tawaran terhadap struktur cerita. Namun bagaimana dengan film Nasional? Untuk itulah tujuan dari tulisan ini mengarah kepada :

1.  Untuk membuktikan apakah film-film Indonesia yang masuk dalam kategori box office setelah pasca reformasi masih tetap menggunakan struktur atau pola tiga babak.

2.  Menganalisa lebih jauh apakah film-film nasional yang di produksi dan ditayangkan di bioskop-bioskop dalam negeri setelah pasca reformasi juga ada yang menggunakan struktur atau pola lain selain pola tiga babak. Terutama pada film-film yang tercatat sebagai film-film box office.

Walau ada beberapa film yang tercatat masuk dalam kategori box office, tentunya tidak harus semuanya menjadi bahan materi dalam kaitannya dengan tulisan ini. Cukup dengan satu film yang mewakili dari keseluruhan film-film yang masuk dalam daftar box office. Seperti film Jelangkung.

Struktur Pada Film
Bordwell menjelaskan bahwa naratif pada film terbentuk atas dua hal yakni adanya film form dan film style[3]. Film (gabungan antara form dan style yang memiliki aturan tertentu dan menjadi sebuah bentuk) adalah sebuah total sistem, tidak mengenal bagian dalam dan bagian luar. Unsur-unsur pada naratif didalam film memiliki suatu bentuk struktur yang mengarah pada struktur bercerita pada film.

Awalnya struktur cerita film hanya satu arah pada Naratif, yang tentunya memiliki pakem-pakem yang ketat. Namun belakangan, muncul film-film yang melawan pakem tersebut, sehingga film tersebut dengan cerita Non-Naratif.


         Pakem pada pola atau struktur naratif dijelaskan kembali oleh Bordwell sangat memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi secara ketat, dan karena dimulai oleh Hollywood pada sekitar tahun 1910[4] maka struktur ini pun dikenal dengan Struktur Klasik HollywoodClassical Hollywood Structure. Sedangkan untuk pola-pola non naratif atau struktur non naratif, lebih jauh disinggung oleh Bordwell sebagai pola atau struktur yang memiliki aturan yang lebih bebas lagi dibandingkan dengan pola naratif atau struktur naratif. Sehingga timbul disini adalah kebebasan didalam ekspresi pada media film serta kekayaan didalam cerita ataupun elemen-elemen cerita itu sendiri.

Struktur Klasik Hollywood
Sebenarnya apa yang dituliskan oleh Bordwell tidaklah berbeda jauh dengan apa yang diungkapkan oleh Saymour Chatman mengenai naratif. Memang terlihat cerita itu terbagi menjadi dua bagian yang besar. Chatman dengan menggunakan istilah story dan discourse pada cerita-cerita fiksi sedangkan Bordwell dengan naratif dan non naratif pada cerita yang terdapat didalam sebuah film.

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat sebuah peristiwa yang menggambarkan bagaimana struktur naratif itu dipahami. Katakanlah terpaparkan peristiwa seperti pemuda datang ke tempat duduk taman. Wanita duduk di taman. Bunga dibawa pemuda basah dan layu. Wanita pergi. Hujan terlihat turun. Seorang pemuda membeli bunga. Dari peristiwa yang dipaparkan tersebut, tentunya tidak akan dimengerti dan dipahami sepenuhnya oleh penonton. Karena masih belum memiliki hubungan yang jelas. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, tidak terdapat klausal logika yang dapat menyatukan kejadian tersebut.

Berbeda sekali bila hal itu diperlihatkan dengan cara yang mengandung unsur klausal logika. Terlihat seorang wanita duduk seorang diri dengan perasaannya yang terkesan menanti kedatangan seseorang. Kemudian terlihat seorang pemuda membeli bunga. Tidak berapa lama kemudian hujan pun turun. Wanita yang duduk tadi segera pergi. Lalu pemuda datang ke taman ke tempat duduk wanita itu tadi dengan bunga yang dibawanya basah dan layu.

Menurut Paul Cobley sebuah peristiwa dibangun oleh tiga faktor dasar. “......even the most preliminary of investigations reveals that there are three fundamental items which, while they sometimes blend in a most pleasing way, are really separate”[5] Lalu ia juga menambahkan apa yang dimaksud dengan Cerita dan Plot, “Put very simply, ‘story’ consists of all the events which are to be depicted. ‘Plot’ is the chain of causation which dictates that events are somehow linked and that they are therefore to be depicted in relation to each other”

Dalam Struktur Hollywood Klasik, beberapa aturan yang ketat dan baku pada struktur cerita, secara sederhana seperti halnya kepuasan penonton menjadi servis yang harus diberikan oleh kreator film, cerita yang ingin disampaikan kepada penonton tidaklah membuat sebuah struktur atau pola cerita yang membuat penonton bertanya atau tidak mengerti. Karena terikat dengan nilai-nilai klausalitas logika itu tadi, yaitu pola sebab-akibat yang sangat jelas terdapat didalam cerita. Sedangkan diluar nilai-nilai kausalitas tadi, maka terbentuk suatu struktur yang dikenal dengan Art Cinema Narration –Narasi Seni Sinema, yang tidak masuk dalam pembahasan kali ini.


Dalam Klasik Hollywood, kausal logika, yang menyangkut pada peristiwa, ruang dan waktunya, diatur oleh sebuah system yang dinamakan dengan babak. Hal ini dikenal dengan struktur tiga babak, yang terdiri atas opening –permulaan-, middle –tengah-, dan ending -akhir.

Pola/Struktur 3 Babak
Meski cerita pada film seakan-akan mengalur begitu saja, namun sebenarnya cerita tersebut mengandung sebuah system struktur yang dikenal dengan struktur tiga babak, dimana hal tersebut menjadi system yang harus dipenuhi. Struktur tiga babak ini sebenarnya sudah disinggung oleh Aristoteles bahwa cerita berdasarkan opening, middle dan ending. Ada baiknya pertama kali kita terlebih dahulu kita memahami dinamika struktur, sangatlah penting dimulai dengan arti dari kata itu sendiri. Asal kata dari struktur adalah “struct”, yang artinya “membangun” atau “menempatkan sesuatu secara terus-menerus” seperti sebuah gedung atau mobil. Namun dalam hal ini ada definisi lain mengenai kata struktur, yaitu “hubungan antara beberapa bagian-bagian dari keseluruhan”. Sangat jelas pula hal ini sebenarnya telah diungkapkan oleh Syd Field didalam bukunya yang berjudul Screenplay, the foundations of screenwriting.[6]

Dimana Syd Field juga menjelaskan bahwa bagian-bagian dari keseluruhan maksudnya dengan menganalogikannya dengan permainan catur: pertama jumlahnya tersusun dari 4 bagian, yaitu: potongan-potongan dari Queen, King, Menteri,Benteng, pion, kuda dsb; kedua harus ada pemain atau para pemain, sebab ada seseorang untuk memainkan catur, ketiga papan catur karena kamu tidak akan dapat bermain catur tanpa hal itu, dan ke empat suatu hal kamu butuh peraturan untuk memainkannya, sebab mereka yang membuat permainan catur seperti yang kita ketahui. Itulah 4 hal tersebut, dengan fungsi-fungsinya atau bagian-bagiannya yang digabungkan sehingga menjadi keseluruhan permainan tersebut dan hasil dari permainan catur. Itulah hubungan antara bagian-bagian dengan jumlahnya (keseluruhannya) yang menentukan permainan tersebut.

Sehingga disini begitu digambarkan bagaimana cerita menjadi benar-benar sebuah bangunan ataupun suatu sistem keseluruhan, sedangkan bagian-bagian atau potongan-potonganlah yang membuat keseluruhan cerita tersebut, seperti halnya aksi, karakter, scene, sequence, babak I, II, III, kejadian atau peristiwa, episode, even, musik, lokasi dan sebagainya –adalah make-up dari cerita. Itu adalah keseluruhan. Dengan begitu struktur benar-benar menjadi sebuah pegangan atau dasarnya cerita untuk ditempatkan dimana dan seperti apa.

Inilah yang dimaksud dengan paradigma struktur dramatik. Sebuah model paradigma, contoh ataupun pola dari konsep.


Misbach Yusa Biran menjelaskan dengan sangat sederhana fungsi dari masing-masing babak tersebut. Yaitu, pada babak pertama atau permulaan disebutkan olehnya sebagai penyiapan kondisi pada penonton. Dimana pada babak ini secara lebar dijabarkan oleh Misbach sebagai : membuat penonton secepatnya memfokuskan perhatiannya pada cerita, membuat penonton bersimpati pada tokoh protagonis, membuat penonton mengetahui problem utama dari tokoh protagonis.[7]

Lalu babak kedua dijelaskan pula oleh Misbach berlangsungnya cerita yang sesungguhnya. Di babak I cerita belum dimulai tetapi baru berupa pengantar. Baru dibabak inilah betul-betul dimulai sampai cerita berakhir. Pada babak II berisi tentang : Point off attack, jalan cerita, protagonis terseok-seok, klimaks : protagonis hidup atau mati.[8]

Sedangkan pada babak ketiga, ditulis Misbach lebih disediakannya kesempatan bagi penonton memantapkan pemahaman final dan menarik kesimpulan. Cerita sudah ada kepastian berakhir sebagai happy ending atau unhappy ending, disini penonton diberi kesempatan meresapi kegembiraan yang ditimbulkan oleh happy ending atau rasa sedih yang ditimbulkan oleh unhappy ending. Juga memantapkan kesimpulan mereka dari isi cerita.[9]

Hal yang sangat teknis dalam babak ini penonton harus menemukan akhir film yang memuaskan dan secara emosional terpenuhi atau terselesaikan. Memilih akhir terbaik terhadap cerita adalah absolut untuk mencapai sukses artistik maupun sukses komersial.

Happy ending, adanya closure atau akhir cerita tidak memberikan pertanyaan kepada para penontonnya. Semua permasalahan yang diberikan kepada penonton dari awal sampai cerita itu berakhir, harus memiliki tuntunan penyelesaian sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh penonton.



Film Box Office Indonesia
Dijelaskan sebelumnya dalam ruang lingkup pembahasan dalam tulisan ini, yaitu:
1.    Film-film Indonesia yang diproduksi setelah era reformasi bergulir.
Tidak diketahui dengan pasti secara catatan yang dapat dipertanggung-jawabkan ataupun secara ilmiah, sampai sekarang ini berapa jumlah film yang diproduksi di negara ini. Sehingga pemilihan pertama dalam kisaran periodik menjadi alasan yang kuat guna membatasi film-film yang telah di produksi negara ini. Dengan kata lain tulisan ini ditujukan secara khusus pada film-film yang di produksi dalam periode reformasi bergulir, yang terjadi pada tahun 1998, setelah lengsernya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan selama memimpin Indonesia 32 tahun lamanya.

Pemilihan periode reformasi ini, setidaknya selain kurun waktu juga mencoba untuk memahami apakah karya film produksi reformasi memiliki konsep karya yang berbeda dengan sebelumnya. Karena diketahui dalam era reformasi ini, setidaknya kebebasan dalam berkarya memang begitu lebih leluasa dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Walaupun beberapa sudut pandang yang dianggap tabu di masyarakat masih belum bisa dilepaskan begitu saja. Seperti halnya dalam kasus adegan ciuman pada sebuah film Buruan Cium Gue, terkena sensor.

2.    Film yang tercatat sebagai film box office Indonesia.
Di setiap negara pastinya memiliki karya-karya film yang masuk dalam kategori box office, yaitu sebuah film yang memiliki rekor jumlah penonton dalam ukuran yang fantastis sehingga film tersebut mendapatkan keuntungan yang sangat besar.

Di Indonesia sendiri belum diketahui seberapa besar ukuran fantastis secara pastinya. Tetapi dari beberapa catatan yang ada dapat dilihat bahwa ukuran tersebut diambil dari perbandingan ongkos produksi dengan jumlah karcis atau tiket penonton bioskop ketika film di putar di seluruh Indonesia, dan dapat dilihat dari lama tidaknya sebuah film beredar dalam satu gedung bioskop saja. Misalnya sebuah film belum turun atau tidak diganti oleh judul film lain dari gedung bioskop selama satu minggu lamanya, maka dapat dikatakan film tersebut, telah mendapatkan sejumlah hasil yang menguntungkan dari pembelian tiket atau karcis penonton. Hal ini diketahui penulis dari sejumlah wawancara langsung kepada para kreator film, salah satu diantaranya adalah Hanny R Sahputra, salah seorang sutradara. Atau juga dapat diasumsikan suatu estimasi hal tersebut dengan angka-angka sebagai berikut :

- Katakanlah dalam ongkos produksi Film A secara keseluruhan memakan biaya Rp 2.000.000.000,-

- Kemudian saat film tersebut di putar di bioskop-bioskop, biasanya di mulai di Jakarta, maka dapat kita hitung seperti ini : Film A Diputar pada gedung bioskop TIM 2, dengan kapasitas bangku 120. Lalu harga tiket di jual dalam satu kali putar dengan masa putar 2 jam Rp 15.000,-. Maka hasil yang didapatkan dalam 1 kali putar dengan kapasitas penonton full 120 x Rp 15.000 = Rp 1.800.000,-

Bioskop di mulai dari pukul 12.00 – 22.00, maka pemutaran film dalam 1 hari didapatkan sebanyak 4x pemutaran. Sehingga Film A dapat diputar dalam satu hari sebanyak 4x, maka dalam 1 hari Film A mendapatkan hasil dari tiket atau karcis sbb : Rp 1.800.000,- x 4 = Rp 7.200.000,- kemudian hasil tersebut akan bertambah bila Film A bertahan selama 1 minggu, sehingga didapatkan hasil Rp 7.200.000,- x 7 = Rp 50.400.000,-

Dengan demikian dalam pemutaran Film A di bioskop 21 TIM 2 saja sudah menghasilkan Rp 50.400.000,- dalam waktu 7 hari pemutaran. Bila di Jakarta memiliki jumlah gedung bioskop sebanyak 38[10]. Maka Film A dalam waktu satu minggu sudah menghasilkan Rp 50.400.000,- x 20 = Rp 1.915.200.000,-

Dengan hasil yang didapatkan dari bioskop yang berada di Jakarta saja, setidaknya dapat dilihat Film A memiliki kans yang cukup besar untuk mendapatkan keuntungan apabila ditambah pemasukkannya lewat bisokop 21 lainnya yang tersebar di beberapa kota di Indonesia dan lewat internet dapat diketahui bahwa bioskop 21 di Indonesia di luar Jakarta berjumlah 84. Dan apabila masa putar Film A di bioskop-bioskop yang berada di luar Jakarta itu sama dengan masa putar di Jakarta, maka dapat kita ketahui keuntungan yang didapatkan Film A sangatlah fantastis, masuk dalam kategori box office. Secara sederhananya seperti demikian maksud dari film box office yang dilihat dari keuntungan serta perolehan karcis atau tiket saat sebua film di putar di bioskop-bioskop.

3.    Pertimbangan kurun waktu tidak lebih film yang di produksi, dari 5 tahun setelah era reformasi bergulir, yaitu dari tahun 1998 – 2003.
Dalam membatasi waktu hanya pada ketentuan lima tahun setelah reformasi ada dan berjalan, yaitu dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, menjadi pertimbangan dikarenakan bisa saja era pasca reformasi terus berlangsung sampai entah kapan. Tidak ada kepastian yang dapat dijadikan bentuk pegangan yang pasti. Dengan membatasinya dari tahun 1998-2003, artinya tidak menutup kemungkinan adanya bentuk struktur film Indonesia yang berbeda setelah tulisan yang dilakukan dalam kesempatan ini. Selain itu juga pembatasan waktu lima tahun ini membatasi ruang lingkup penulisan, yang disadari penulis untuk mempersingkat proses penulisan ini. Mengingat tentunya akan terus-menerus di produksi film di tanah air yang semakin tahun meningkat cukup baik. Sehingga terus-menerus juga melahirkan film-film box office.

Struktur Film Jelangkung
Film Jelangkung sudah benar dalam kriteria yang disebutkan tadi. Memang ada beberapa film lain yang tercatat sebagai film-film box office, seperti Petualangan Sherina (Produksi Tahun 1999), Ada Apa Dengan Cinta (Produksi Tahun 2001), Kafir/Satanic (2002), Tusuk Jelangkung (Produksi Tahun 2002), namun sebenarnya pemilihan Jelangkung kiranya lebih kepada unsur kesempatan. Sebenarnya keinginan penulis lebih daripada itu. Yaitu sepuluh film box office setelah era reformasi bergulir. Namun hal ini tidaklah memungkinkan karena waktu sebagai kendala utama untuk menganalisa hal tersebut. Film-film box office tentunya tetap memiliki sebuah struktur didalam bercerita. Struktur inilah yang menjadi bahan analisa.

Basic Story Film Jelangkung
Pembunuhan yang dilakukan oleh para penduduk desa Angker Batu terhadap seorang anak kecil, yang diduga oleh para penduduk desa sebagai anak pembawa malapetaka, mengawali cerita film Jelangkung ini.

Kemudian cerita pun berlanjut pada empat orang sahabat yaitu Ferdi, Gita, Gembol dan Soni yang sedang melakukan misi mereka mencari mahluk gaib di tempat-tempat yang dianggap angker. Namun hasilnya dapat dikatakan nihil.

Lalu mereka berempat pun memutuskan untuk mencarinya ke luar Jakarta dan disepakati untuk mendatangi Desa Angker Batu sebagai sasaran misi mereka berikutnya. Persiapan pun dilakuka dan singkat cerita mereka segera berada di Desa Angker Batu. Pada awalnya mereka pun tidak mendapatkan mahluk gaib yang mereka inginkan. Gita dan Gembol pun merasa lelah karena mereka sudah tiga hari di tempat tersebut, tetapi sia-sia. Mereka menginginkan untuk pulang ke rumah. Lain halnya dengan Ferdi dan Soni yang ingin tetap melanjutkan misi. Hal ini memicu konflik antara Gita dan kekasihnya Ferdi. Lalu mereka memutuskan untuk pulang.Sebelum pulang Soni melakukan ritual memanggil Jelangkung yang pada akhirnya ia menancapkan boneka Jelangkung di sebuah kuburan.

Sesampainya di Jakarta, ternyata mereka berempat mengalami gangguan-gangguan yang misteri. Namun mereka tetap menjalankan misi mereka ke sebuah Rumah Sakit yang dikenal angker. Disinilah mereka benar-benar melihat dan menemukan mahluk gaib. Dari suara-suara aneh sampai pada seorang anak kecil semacam tuyul serta suster ngesot yang memang dikenal sebagai penghuni mahluk gaib di Rumah Sakit tersebut. Mereka pun ketakutan, sampai-sampai mereka merasa diikuti oleh para mahluk gaib tersebut. Yang pada akhirnya mereka pun diwajibkan untuk kembali ke desa Angker Batu dan mencabut boneka Jelangkung yang ditancapkan oleh Soni sebelumnya.

Cerita berlanjut saat mereka kembali ke desa Angker Batu, dimana mereka tidak menemukan kuburan sebelumnya. Tempat dimana boneka Jelangkung ditancapkan. Akhirnya mereka pun terpaksa menginap untuk tetap mencari dan menemuka kuburan tersebut. Sampai pada akhirnya, saat di malam harinya, mereka harus menerima ganjarannya.

Uraian Struktur Film Jelangkung
Pada film Jelangkung yang dapat dilihat dari basic story diatas, sebelumnya dapat kita asumsikan menggunakan pola naratif dalam berceritanya. Kenapa demikian, karena tidak ada faktor susunan peristiwanya mencoba untuk pola lain. Seperi hal yang dilakukan dalam cerita pada pola-pola non naratif yang mana pola ceritanya kadangkala urutan peristiwanya tidak memiliki kesinambungan yang jelas dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya malahan kadang kala tidak ada kaitannya sama sekali. Atau malahan cerita hanya diberikan dalam bentuk yang lebih tidak jelas lagi. Hanya dengan kesan saja, cerita dirasakan sudah cukup mewakili cerita apa yang diberikan oleh para kreator film.

Pada film Jelangkung sangatlah jelas menggunakan pola naratif, karena dari awal hingga berakhir, semua peristiwa yang ada memiliki pola hubungan yang jelas. Keterkaitan peristiwa dari yang satu ke yang lainnya merupakan kesinambungan cerita, yang diurutkan dari awal hingga akhir. Sehingga peristiwa-peristiwa ini memiliki atau mengandung unsur klausal logika yang sangat jelas. Sebab-musabab cerita yang digerakkan oleh tokoh yang berujung kedalam sebuah konteks penyelesaian cerita, relevansinya sangatlah dekat dengan realita yang ada. Sehingga memudahkan penonton untuk mengikutinya.

Karena faktor cerita yang mengandung hal tersebut diatas, maka cerita film Jelangkung ini dapat dikatakan sebagai film cerita naratif. Bagaimana pola naratif itu bekerja dapat kita lihat dibawah ini.

Pada pembukaan film yang diawali dengan menghadirkan kisah bagaimana proses ritual yang dilakukan oleh para penduduk Desa Angker Batu terhadap seorang anak yang dianggap membawa petaka bagi desa tersebut, menjadikan hal itu sebagai sebuah ungkapan sebab-musabab cerita film tersebut. Dikisahkan hal ini terjadi beberapa waktu sebelum cerita yang sesungguhnya, yang ingin dihadirkan didalam film terjadi. Untuk menghadirkan peristiwa ini dalam film tersebut menghabiskan waktu 9 menit kurang. Setelah itu cerita pun bergulir masuk dalam peristiwa yang sesungguhnya.

Dimana terdapat empat orang anak muda pencari mahluk gaib, yaitu Ferdi, Gita, Gembol dan Soni yang sedang melakukan aksinya disebuah rumah tua dan kosong. Yang dalam hal ini, mereka melakukan aksinya karena adanya informasi mengenai tempat yang mereka kunjungi itu diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai tempat bersemayamnya mahluk gaib tersebut. Artinya peristiwa yang dialami oleh keempat anak muda ini adalah peristiwa beberapa tahun selanjutnya dari peristiwa pembukaan film Jelangkung diatas tadi.

Dengan segera menghadirkan keempat anak muda tersebut, maka disini sangatlah jelas bahwasannya hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh utama yang nantinya sebagai obyek yang digerakkan untuk membentuk dan mengarahkan cerita.

Dimana Ferdi menjadi rider dalam misi tersebut. Ia terlihat begitu pintar dan berwibawa. Gita menjadikan perwakilan seorang wanita yang sangat umum karakternya. Mencintai Ferdi sehingga selalu ikut kemana pun sang kekasih pergi. Gembol sebuah karakter punakawan dengan fisiknya yang gendut serta banyak makan. Sedangkan Soni dihadirkan sebagai karakter yang mengidam-idamkan militer, sosok yang kuat, tangguh dan pemberani. Malahan beberapa tokoh lain pun juga turut di introduksi, seperti tokoh Zulfikar, teman satu kampus dari Ferdi yang merupakan tokoh yang berpikiran logis, artinya disini tokoh ini berdiri sebagai refleksi dari pandangan-pandangan yang umum mengenai dunia mahluk gaib.

Setelah karakter utama pada film dikenalkan, lalu cerita bergulir kearah persoalan besar dalam film ini, yang harus diselesaikan oleh para tokohnya. Yaitu mereka berangkat ke Desa Angker Batu untuk benar-benar menjumpai mahluk gaib, karena desa tersebut terkenal angker dan menyeramkan.

Peristiwa diatas mengambil waktu 18 menit dari keseluruhan cerita pada film Jelangkung, sehingga disini dapat diketahui masalah apa yang dihadapi oleh para tokoh film tersebut dan juga seberapa jauh mereka akan dapat menghadapi persoalan mereka sendiri.

Lalu cerita masuk kedalam problem yang sebenarnya pada film, yaitu menemukan mahluk gaib untuk misi mereka tersebut. Apakah benar-benar mahluk gaib itu ada disekitar manusia atau tidak! Ini harus dibuktikan oleh mereka sendiri setelah mereka sampai di Desa Angker Batu yang dikenal sangat menakutkan itu.

Kemudian cerita berlanjut kedalam beberapa peristiwa yang terjadi di desa Angker Batu. Cerita kemudian berkembang. Dengan menghadirkan informasi-informasi yang terus dijaga untuk memberikan jawaban-jawaban besar dari persoalan dari tokoh utama yang ditampilkan dalam film. Beberapa informasi ditampilkan cerita agar menuju kepada puncak penyelesaiannya nanti, dari yang dihadirkannya sebuah papan tulis dengan tulisan Dilarang Masuk, yang mengesankan bahwa daerah yang ditunjukkan oleh papan tersebut sangatlah menakutkan dan angker. kemudian Sebuah rumah yang ada di atas pohon, yang dikaitkan dengan foto para adventure, yang mengawali opini tentang Desa Angker Batu. Lalu Kuburan yang hanya satu dari sekian luasnya tanah di Desa Angker Batu serta adanya sebuah rumah tua dan kosong dalam Desa tersebut. Walaupun dalam adegan sebelumnya dimunculkan juga, bagaimana seorang nenek melarang mereka untuk berkunjung ke tempat tersebut.

Cerita pun terus berlanjut. Mereka melakukan aksi untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang selama ini dikenal oleh dengan mitos adanya seorang bocah yang telah meninggal hadir dan menampakkan wujudnya yang menakutkan itupun menyelimuti benak mereka.

Awalnya saat di malam hari mereka segera memeriksa keadaan Desa, lalu mereka menemukan sebuah kuburan dan segera menunggui kuburan tersebut. Kemudian berlanjut kembali untuk memeriksa keadaan sekitar daerah itu. Mereka pun menemukan sebuah rumah kosong yang terdapat di tempat tersebut. Setelah mereka memeriksa rumah tua itu, mereka pun kembali ke basecamp. Tidak lupa juga saat mereka kembali ke basecamp ini diperlihatkan bagaimana Soni menyalakan kamera videonya yang dimaksudkan untuk merekam peristiwa apa saja yang terjadi saat mereka semua tidur dan beristirahat.

Kekecewaan didapatkan oleh para anak muda pencari mahluk gaib ini. Mereka tidak mendapatkan adanya mahluk gaib yang tinggal di tempat itu. Sehingga kejenuhan dan keletihan menjadi konflik selanjutnya yang ditonjolkan oleh film ini. Gita dan Gembol pun ingin segera pulang ke Jakarta. Namun berbeda dengan Ferdi dan Soni, yang ingin tetap melanjutkan misi mereka sampai mereka mendapatkan jawaban dari apa yang selama ini menjadi mitos di masyarakat tentang Desa Angker Batu tersebut.

Pada akhirnya disepakati bahwa mereka kembali ke Jakarta. Namun sebelum mereka kembali ke Jakarta, Soni melakukan permainan jelangkung tepat di atas kuburan yang ada di tempat itu. Hal ini membuat Ferdi, Gita dan Gembol sedikit marah terhadap Soni. Apalagi Soni melakukannya tanpa sepengetahuan mereka bertiga. Walaupun demikian adanya, mereka semua tetap kembali ke Jakarta.

Sekembalinya mereka dari Desa Angker batu, beberapa peristiwa aneh pun mereka rasakan. Mereka didatangi mahluk gaib, yaitu seorang anak laki-laki yang pada scene awal terlihat sebagai anak yang dibunuh oleh para penduduk desa. Gembol yang sedang makan merasakan keanehan-keanehan. Dari alat makannya yang jatuh sampai sendok yang bergeser dari tempatnya. Gita yang sedang berenang. Tiba-tiba saja dari dalam air ia melihat seorang anak laki-laki sedang berdiri tegap menatapnya. Segera saja Gita pun muncul dari dalam air, dan ternyata di seputar kolam renang tidak menemukan siapapun juga. Lalu Ferdi yang merasa aneh dengan keterangan ibunya bahwa ada anak kecil yang ingin berjumpa dengannya, dan diketahui pula dari cerita ibunya tersebut anak kecil itu tiba-tiba saja hilang saat sang ibu ingin menjumpainya kembali setelah ibu Ferdi masuk sebentar kedalam rumah. Sedangkan Soni merasa aneh karena ia tidak bisa memutar hasil rekamannya saat berada di Angker Batu. Padahal video player miliknya tidak rusak. Tetapi peristiwa-peristiwa gaib yang dialami oleh para tokoh itu, tidaklah menyurutkan semangat mereka untuk tetap menjalankan misi. Hal itu digambarkan dengan berlanjutnya cerita saat mereka pun akhirnya kembali melakukan misi mereka. Yaitu mendatangi sebuah rumah sakit yang lama sudah tidak beroperasi lagi. Mereka ke rumah sakit ini karena adanya informasi bahwa di tempat tersebut dikenal sebuah mitos yang berkemang di masyarakat adanya seorang suster yang berjalan ngesot saat malam hari tiba.

Benar saja opini masyarakat itu terbukti. Ketika mereka berada di rumah sakit ini, mereka mengalami hal-hal yang menakutkan yang terjadi pada mereka sendiri. Bagaimana keempat sahabat ini akhirnya mengalami perjumpaan dengan mahluk gaib. Namun bukan hanya Suster Ngesot saja yang muncul, tetapi juga bocah kecil yang seram dan menakutkan juga muncul disini. Bocah dari Desa Angker Batu ternyata mengikuti kemana pun mereka pergi.

Gita ditemui oleh Suster Ngesot. Ferdi berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang ternyata bocah Desa Angker batu yang menatapnya dengan begitu menakutkan. Begitu pula dengan Soni. Ia melihat bocah mahluk gaib Angker batu yang menempel di dinding atas salah satu ruangan rumah sakit. Sedangkan Gembol hanya mendengar suara-suara yang begitu menakutkan.

Setelah kejadian itu, ternyata sekembalinya mereka di rumah, mahluk-mahluk gaib itupun terus menggoda mereka. Mereka tidak hilang begitu saja. Dirumahnya Gita mengalami perasaan yang takut yang amat sangat. Apalagi boneka-boneka miliknya tiba-tiba saja salah satunya berubah menjadi boneka yang menakutkan. Ferdi lain lagi. Ia melihat mahluk gaib yang menyerupai adiknya. Begitu ia mengetahui bahwa mahluk gaib yang didekatnya bukan adiknya, betapa takut dirinya. Lalu Gembol yang didatangi mahluk gaib saat ia berada di dalam mobil seorang diri. Sedangkan Soni diperlihatkan ia melihat video yang menyala dan berputar sendiri. Sehingga Soni melihat bagaimana kamera miliknya merekam mereka berempat saat mereka tidur. Padahal diketahui bahwa tidak ada orang selain mereka semua.

Akhirnya mereka pun datang ke orang “pintar” untuk dapat menolong mereka. Jawaban orang tersebut pun sangat tidak diinginkan mereka, yaitu mencabut boneka Jelangkung yang ditancapkan di kuburan oleh Soni. Akhirnya mereka pun segera menuju ke Desa Angker batu kembali.

Dengan demikian sangat terlihat pula disini, cerita berkembang, dari awalnya memperkenalkan tokoh dan problem mereka tidak menjumpai mahluk gaib, sekarang beranjak pada kemunculan para mahluk gaib disekitar mereka. Bagaimana keempat tokoh yang ada didalam cerita, benar-benar mengalami peristiwa yang menakutkan. seperti apa yang telah diketahui oleh masyarakat umum, bahwa mahluk gaib itu ada di tempat yang memang benar-benar diketahui sebagai tempat angker dan seram.

Dari hal diatas maka cerita jadi menunjukkan bagaimana para tokoh ini melepaskan ketakutan-ketakutan yang mereka alami dan juga menghilangkan mahluk gaib yang sepertinya selalu menguntit kemanapun mereka pergi. Karakter pun terlihat menjadi begitu kompleks sampai peristiwa ini diberikan, tetapi tetap saja dengan sedikit demi sedikit jawaban diberikan yang pada sebelumnya masih samar-samar diperlihatkan, kini mulai terbuka.

Ketegangan-ketegangan dengan ide-ide segar, intrik-intrik yang kian tajam dan mengintensifkan perasaan seperti sebelumnya diketahui, benar-benar diperlihatkan dalam film ini dan juga selama tindakan kedua ini karakter utama menghadapi rintangan lalu rintangan lagi kemudian rintangan kembali untuk seterusnya dia sampai pada dramatik yang diperlukan.

Pada akhirnya cerita pun terlihat mereka berempat kembali ke Desa Angker Batu untuk menuntaskan mencabut boneka Jelangkung yang tertancap di kuburan. Disini dihadirkan bagaimana pada akhirnya mereka semua mendapatkan hukuman dari mahluk gaib Desa Angker Batu tersebut. Dengan cara yang berbeda-beda mereka akhirnya menemui ajalnya masing-masing. Sehingga masalah yang dihadirkan dalam film sepanjang kurang lebih 90 menit ini tidak dapat menuntaskan apa yang menjadi misi dari para tokoh cerita film Jelangkung ini.

Tujuan tokoh di film Jelangkung sebenarnya telah diinformasikan dalam Flashes pembunuhan seorang anak yang dianggap membawa malapetaka di Desa Angker Batu, yang menjelma menjadi mahluk gaib seorang bocah setelah pembunuhan dilakukan oleh para penduduk Desa Angker Batu.

Kemudian berlanjut kepada peristiwa selanjutnya, setelah hal ini dapat kita maksudkan sebagai babak I didalam film, maka peristiwa-peristiwa setelah itu lebih kepada pengembangan cerita. Ini juga sesuai dengan apa yang telah diungkapkan dalam Bab I sebelumnya. Bagaimana setelah babak I pada cerita, maka cerita selanjutnya memasuki babak II dalam film. Begitupula yang terjadi pada kedua film Indonesia ini. Cerita pun memasuki babak II atau konfrontasi.

Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang sedikit demi sedikit memberikan informasi untuk membuka apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam cerita. Seperti halnya pada kedua film tersebut. Pada babak awal atau babak pertama atau babak beginning dalam film Jelangkung diperlihatkan bagaimana Ferdi, Gita, Gembol dan Soni mencoba untuk membuktikan kebenaran mitos yang berkembang di masyarakat tentang misteri sebuah tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal para mahluk gaib. Itu yang tergambarkan dalam film.

Ketika memasuki cerita selanjutnya dengan menampilkan peristiwa-peristiwa semacam berangkatnya mereka menuju Desa Angker Batu, lalu aksi mereka saat berada di Desa Angker Batu, setelah mereka pulang dari Desa Angker Batu sampai kejadian yang didapatkan mereka di rumah sakit yang tidak digunakan dan terakhir mereka harus kembali ke Desa Angker Batu, peristiwa-peristiwa ini merupakan perkembangan dari cerita. Sehingga dari peristiwa satu ke peristiwa yang lainnya inilah yang dimaksudkan memasuki babak konfrontasi yang dijelaskan oleh Syd Field dalam Bab I sebelumnya. Yang kesemua peristiwanya menghabiskan waktu sekitar 50 menit lebih.

Setelah itu cerita yang terdapat dalam film Jelangkung menampilkan peristiwa yang menjurus pada penyelesaian. Bagaimana dalam Jelangkung setelah Ferdi dan sahabatnya itu berada kembali di Desa Angker Batu pada akhirnya mengalami nasib yang sangat tragis. Masalahpun pada akhirnya terselesaikan. Walaupun terkesan ingin bermaksud menyembunyikan atau open ending, tetapi hal itu sangat jelas tidak seperti itu. Dengan Ferdi yang berhadapan dengan Bocah kecil yang selama ini dikenal sebagai mahluk gaib penunggu Desa Angker Batu, yang kemudian tangan Bocah tersebut sepertinya hendak menerjang Ferdi, lalu setelah itu gelap, sangat jelas pada sebelumnya ditampilkan peristiwa yang dialami Gembol, Soni dan Gita adalah jawaban dari peristiwa Ferdi dan Bocah kecil di ujung cerita tersebut.


Babak I :
  • Upacara ritual pembunuhan Bocah di Desa Angker Batu
  • Ferdi, Gita, Gembol, Soni serta Zulfikar diperkenalkan karaterisasinya
  • Misi Ferdi dkk untuk menemukan mahluk gaib tidak diketemukan
  • Misi ditujukan di luar daerah di Desa Angker Batu
  • Keberangkatan menuju Desa Angker Batu
Babak II :
  • Keempat sahabat tiba di Desa Angker Batu
  • Aksi melakukan pencarian mahluk gaib di Desa Angker Batu dan sekitarnya
  • Kebosanan dan kejenuhan menyelimuti Gita dan Gembol
  • Soni menancapkan boneka Jelangkung disebuah kuburan
  • Setibanya di Jakarta, Keempat sahabat diganggu oleh mahluk gaib yang berwujud seorang Bocah kecil
  • Keempat sahabat menemukan mahluk gaib Suster Ngesot dan Bocah kecil di sebuah rumah sakit
  • Penyesalan dan keinginan untuk melepaskan gangguan dari para mahluk gaib
  • Kembali ke desa Angker Batu
Babak III :
  • Keempat sahabat tidak menemukan kuburan dan boneka Jelangkung
  • Menginap di Desa Angker Batu
  • Penyelesaian yang tragis terhadap keempat sahabat oleh mahluk gaib berwujud Bocah Kecil

Kesimpulan
Meski ada kecenderungan adanya faktor dua tahunan sebenarnya yang bisa saja menjadi landasan yang mendasar dalam melihat film-film box office Indonesia, menginta film-film seperti Petualangan Sherina (Produksi Tahun 1999), Ada Apa Dengan Cinta (Produksi Tahun 2001), Kafir/Satanic (2002), Tusuk Jelangkung (Produksi Tahun 2002) di produksi dalam kurun waktu 2 tahun, namun  sebenarnya faktor tersebut terjawab sudah dengan beredarnya Film Kafir/Satanic dan juga Tusuk Jelangkung yang di produksi pada tahun 2002. memutuskan mitos faktor dua tahunan tersebut. Karena dengan tahun 2002, artinya diketahui merupakan kurun waktu satu tahun setelah di produksinya film Jelangkung. Yang kemudian setelah film Kafir/Satanic dan Tusuk Jelangkung ini, muncul film Eiffel...I’m in Love. Yang artinya juga berselang satu tahun. Apalagi Kafir/Satanic dan Tusuk Jelangkung di produksi dalam tahun yang sama, sehingga faktor dua tahunan akan melahirkan sebuah film box office cukup terjawab tidak benar.

Kemudian juga dengan munculnya film Ada Apa Dengan Cinta yang di produksi dengan Rumah Produksi yang sama dengan Petualangan Sherina, walaupun juga memliki kurun waktu produksinya dua tahunan, telah memutuskan mitos yang lain lagi yaitu Rumah Produksi yang telah memproduksi sebuah film box office ternyata juga dapat mengulang kesuksesan yang sama. Sehingga sekali lagi mitos apabila ingin memproduksi sebuah film agar mencapai box office tidaklah harus Rumah produksi yang berbeda juga tidak memiliki kebenaran berdasarkan data yang ada.

Kemudian setelah penjelasan Struktur Film-Film Indonesia yang kali ini terpusat pada film box office, Jelangkung, sangat jelas bahwasannya mereka menggunakan naratif sebagai cerita yang mereka hadirkan. Dengan mengusung klausal logika pada cerita yang syarat dengan pola sebab-akibat tampak begitu jelas tergambarkan dalam film tersebut.

Cerita dalam film Jelangkung adalah mengkisahkan Ferdi dan kawan-kawannya yang melakukan misi mencari kebenaran tentang mahluk gaib yang menjadi mitos masyarakat. Bagaimana plot dalam film Jelangkung menghadirkan Ferdi dan kawan-kawan ternyata menemukan kebenaran mitos yang ada di masyarakat dan mereka pada akhirnya merasakan akibatnya akibat perbuatan mereka tersebut dengan mengalami peristiwa yang menakutkan dan pada akhirnya mereka mengalami peristiwa yang sangat tragis.

Kemudian terlihat ruang pada peristiwa yang digambarkan pada film Jelangkung memiliki tempat yang jelas. Pada sebuah tempat di kota dan di desa serta setting pada tempat-tempat yang dianggap angker dan menyeramkan. Satu hal lagi adanya penggambaran waktu yang jelas pada film Jelangkung yang menampilkan periode sekarang disamping juga terlihat korelasi waktu siang dan malam terhadap cerita yang terdapat pada film tersebut.

Pembukaan film yang diawali dengan metode sebab dan diakhiri oleh akibat, tentunya melengkapi film tersebut jelas menggunakan cara bertutur naratif. Ini dapat dilihat bagaimana upacara ritual pembunuhan bocah kecil di Desa Angker Batu. Kenapa pada akhirnya Ferdi, Gita, Gembol dan Soni pada akhirnya menemukan jawaban tragis dalam film Jelangkung merupakan penutup dari rangkaian sebab-akibat penelusurannya dalam membuka tabir mitos mengenai mahluk gaib yang terdapat pada masyarakat umum di negara ini. Mungkin saja gaya ini dimaksudkan untuk memberikan kesan agar close dalam film mengarah pada struktur atau pola Art Cinema Narration. Tetapi kejelasan peristiwa yang dialami oleh Gembol, Soni dan Gita, dengan sendirinya memberikan jawaban peristiwa apa yang menimpa Ferdi.

Begitu pula pada struktur atau pola dalam film tersebut. Film itu menggunakan struktur atau pola tiga babak yang selama ini menjadi mode representasi film-film didunia, terutama film-film produksi Hollywood. Sesuai dengan beberapa film Hollywood. Pengungkapannya sudah sangat tergambarkan bagaimana struktur atau pola tiga babak itu bekerja dengan menghadirkan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan.

Sebenarnya hal itu dapatlah kita maklumi bila dikaitkan dengan cerita-cerita rakyat dimiliki negeri ini. Bagaimana Malin Kundang ataupun Tangkuban Perahu serta beberapa cerita daerah ataupun hikayat lainnya, menampilkan pola naratif dalam kemasan bertuturnya. Sehingga pola naratif pun menjadi sangat dikenal dan dimengerti oleh masyarakat.

Sehingga sangatlah wajar bila kita mengasumsikan bahwa ketidak-beranian ataupun sangat berisiko bila para kreator film menggunakan metode lain, selain struktur tiga babak dalam kemasan cerita yang ada pada filmnya.

Pada perkembangan sekarang ini, sebenarnya ada metode nine-act structure yang menjadi struktur alternatif dalam bercerita pada film, namun hal tersebut tidak digunakan oleh film-film box office Indoinesia.

DAFTAR PUSTAKA

Biran, Misbach Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka Jaya; 2006.

Boardwell, David and Kristin Thompson; Film Art, An Intoduction, second edition, McGraw-Hill International Editions; 1989.

Bordwell, David and Kristin Thompson; Film Art, An Introduction, seventh edition, McGraw-Hill International Editions; 2004.

Cobley, Paul, Narrative, Routledge is an imprint of The Taylor & Francis Group, 2001.

Field, Syd; Screenplay The Foundations of Screenwriting, Third Editions, A Dell Trade Paperback; 1994.

http://www.21cineplex.com/theater.cfm



[1] Bordwell, David and Kristin Thompson; Film Art, An Introduction, seventh edition, McGraw-Hill International Editions; 2004.
[2] Bordwell, David and Kristin Thompson; Film Art, An Introduction, seventh edition, McGraw-Hill International Editions; 2004.
[3] Boardwell, David and Kristin Thompson; Film Art, An Intoduction, second edition, McGraw-Hill International Editions; 1989.
[4] Boardwell, David and Kristin Thompson; Film Art, An Intoduction, second edition, McGraw-Hill International Editions; 1989.
[5] Cobley, Paul, Narrative, Routledge is an imprint of The Taylor & Francis Group, 2001.
[6] Field, Syd; Screenplay The Foundations of Screenwriting, Third Editions, A Dell Trade Paperback; 1994.
[7] Biran, Misbach Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka Jaya; 2006.
[8] Biran, Misbach Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka Jaya; 2006.
[9] Biran, Misbach Yusa; Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka Jaya; 2006.
[10] http://www.21cineplex.com/theater.cfm

Komentar