Sumber Ide Cerita untuk Skenario Film


Sebelum mengenal jauh mengenai skenario sebagai bentuk karya tulisan dalam proses produksi sebuah film, ada beberapa hal yang perlu digaris-bawahi adalah kaitannya pada bentuk karya tulisan yang lain. Katakanlah bentuk-bentuk karya tulisan semacam cerita pendek, cerita bersambung, novel, roman, foklor dan lain sebagainya. Yaitu mengalami proses penciptaan guna menghasilkan tulisan-tulisan yang dimuat dalam karya-karya tersebut.

Proses yang bagaimana yang dilalui seseorang ataupun berkelompok mungkin dalam membuat cerita sehingga dapat ditulis dan kemudian menjadi sebuah bentuk karya tulisan.

Pada dasarnya tidaklah akan terjadi sebuah cerita bila tidak ada faktor penyebabnya yang menjadi landasan suatu cerita dikemas dan diangkat menjadi bentuk karya tulisan. Disinilah kita mengenal akan sumber-sumber yang menjadi sebuah sumber cerita, terutama sumber cerita fiksi. Termasuk sumber cerita dalam sebuah film.

Selama ini mungkin saja atau pada umumnya, ketika membicarakan tentang pertama kali untuk membuat film adalah, rangkaian peristiwa atau kejadian yang diurut-urutkan, seperti halnya urutan huruf alfabet, dari A sampai Z. Namun melupakan darimana sumber cerita tersebut.

Atau ada pula yang lain dari hal tersebut. Katakanlah seseorang yang disuruh untuk membuat cerita film, tidak dapat menemukan rangkaian peristiwa atau kejadian yang menjadi landasan cerita film yang akan di produksinya nanti. Padahal biaya tidak lagi menjadi problem klasik yang harus dipikirkan. Artinya si orang tersebut hanya memikirkan cerita apa yang terdapat didalam film, biaya berapapun akan dapat dipenuhi untuk ceritanya itu. Disini sumber cerita menjadi hal yang cukup penting sebagai langkah pertama membuat cerita. Bahan untuk ceritanya benar-benar tidak ada.

Padahal bahan cerita fiksi sekalipun sebenarnya memiliki sumber. Sumber tersebutlah yang harus diketahui sebelumnya. Dengan sendirinya, kita sendiri yang akan mengetahui, cerita apa yang akan kita buat berdasarkan sumber-sumber tersebut.

Atau ada beberapa penegasan mengenai bagaimana cerita dapat ditemukan. Seperti halnya penegasan prinsip "tuliskan saja hal-hal apapun yang kita ketahui". Atau "tuliskan apa yang tidak kita ketahui karena kita akan bebas berkhayal, pengetahuan hanya akan membatasi cerita". Kita bisa menuliskan sebuah cerita berdasarkan pengetahuan yang cukup, tetapi bisa juga menulis berdasarkan kurangnya pengetahuan. Dua prinsip yang bertolak-belakang, namun bisa menjadi prinsip didalam menuliskan sebuah rangkaian peristiwa cerita fiksi.


FIKSI dan NONFIKSI

Andaikan kita mengunjungi suatu tempat dan melihat adanya sebuah upacara ritual suatu adat, kemudian kita mengingatnya upacara ritual tersebut, dan kem udian secara garis besarnya - atau malahan sampai mengingat peristiwa yang kecilnya - kita dapat mengurutkan kejadian-kejadian yang ada didalam upacara ritual itu, sampai upacara tersebut benar-benar selesai, setelah itu mulai menulisnya satu persatu kejadian-kejadian yang kita ingat, tanpa adanya unsur penambahan kejadian apapun ataupun mereka-reka dengan sesuatu, taua bahkan juga tidak ingin melebih-lebihkan dan memperindahnya, serta memlintirkan perinciannya, hal itulah yang menjadi cerita nonfiksi.

Dan justru sebaliknya, bila saja, kita menambahkan peristiwa-peristiwa yang terdapat didalam upacara ritual tersebut, guna memperindah, membesar-besarkannya, mempercantik, bahkan sampai memperkenalkan tokoh, tempat dan kejadian yang tidak ada hubungannya dengan bahan awalnya, maka cerita itulah yang dikenal dengan fiksi.

Ada kesan yang sangat kotor pada cerita fiksi. Bahwasannya hal itu sama dengan dusta. Kita memulainya dengan sesuatu yang nyata, tetapi untuk tujuan tertentu (agar tidak ditangkap, menipu, mendapatkan uang, atau yang lainnya) kita mengubah paling sedikit satu unsur penting dalam sebuah cerita.

Walaupun demikian, banyak orang tanpa menyadarinya sangatlah mengunggulkan cerita-cerita fiksi. Padahal tidak ada penilaian yang menguatkan bahwa cerita fiksi lebih unggul daripada cerita nonfiksi.

Dengan cara mengembangkan cerita awal merupakan patokan cerita, cerita yang bagaimana yang dibuat. Bila cerita memiliki sesuatu untuk diungkapkan maka hal itu merupakan sebuah esai. Sedangkan cerita yang diuabh kesana-kemari menjadikan cerita tersebut menjadi sebuah rangkaian fiksi.

Atau bisa saja kedua unsur cerita tersebut digabungkan menjadi bahan sebagai landasan suatu cerita. Sebenarnya ada dua tujuan yang ingin didapatkan dari hal tersebut; yang pertama untuk menunjukkan bahwa fiksi pada umumnya menggunakan banyak fakta, dan yang kedua disini lebih menekankan sebagai contoh guna kita mengarang fiksi itu sendiri.

Ada beberapa hal yang bisa kita jadikan contoh untuk penekanan contoh tersebut. Misalnya saja pengalaman emosional, pengalaman dimana terjadi sebuah perasaan yang sangat buruk, sehingga saat kita berada sekalipun di tempat yang kita inginkan, kita tetap saja merasakan ketakutan dan kehilangan.

Buku sejarah dan juga buku biografi sebagai sumber utama cerita fiksi. Suara dari seorang tokoh menjadi sumber cerita yang lain. Mimpi seseorang ataupun diri kita sendiri serta teman, kerabat serta teman hidup. Sebuah kalimat yang bagus yang memiliki tekanan tertentu. Dari sebuah metafora ataupun anekdot. Sebuah perasaan yang kuat tentang sesuatupun bisa menjadi sumber. Ketika sedang mengobrol dengan orang lain, terutama jika mendengar adanya sebuah konflik yang jelas. Dari obrolan yang lain dengan seseorang merupakan benih yang bisa tumbuh menjadi fiksi. Hal ini karena rasa penasaran dan kurangnya pengetahuan tentang obrolan tersebut.

Jual Buku Semua Bisa Menulis Skenario | Togamas.com: Toko Buku ...

SUMBER CERITA

Berdasarkan untaian diatas, maka sumber cerita untuk lebih konkretnya pun tergambar menjadi dua klasifikasi. Yang pertama adalan sumber cerita berdasarkan kisah nyata dan yang kedua imajinasi.

Dengan proses serta tehnis yang dimilikinya memiliki gaya yang berbeda satu sama lainnya, sehingga dari hal tersebut, tentu saja memiliki kelebihan dan keunggulannya.


Sumber Cerita berdasarkan Kisah Nyata

Banyak cerita film yang diangkat berdasarkan kejadian yang nyata atau TRUE STORY. Baik itu pengalaman pribadi seseorang ataupun pada bentuk catatan sejarah yang lebih luas bila dibandingkan dengan kisah pengalaman pribadi seseorang.

Ada keuntungan tersendiri bila kita mengangkat cerita yang bersumber dari sebuah kisah nyata. Riset dan survei cerita tidak terlalu memakan energi dan biaya yang begitu besar. Prosesnya pun tidak memakan waktu yang cukup panjang. Apalagi para pelakunya masih dapat memberikan keterangan ataupun catatan-catatan mengenai cerita kisah nyata tersebut terbukti otentik berdasarkan bukti-bukti pembanding lainnya.

Hanya saja kelemahan cerita yang bersumber dari kisah nyata ini, ekspresi kita untuk melakukan fantasi cerita memiliki kontribusi yang relatif kecil. Malah cenderung tidak ada sama sekali.

Beberapa contoh sumber cerita berdasarkan kisah nyata dapat diambil pada: Kitab suci, surat kabar, biografi dan lain sebagainya.


Sumber Cerita berdasarkan Imajinasi

Disini kelebihan yang didapat sangatlah kaya dengan fantasi dan ekspresi penulis. Kekayaan fantasi dan ekspresi inilah yang melahirkan inovasi dalam merealisasikan cerita secara visual.

Lihat saja bagaimana sound designer, misalkan, sekarang ini dapat berekspresi menciptakan bunyi sinar laser yang keluar dari sebuah senapan. Padahal dalam realitanya, sampai sekarang pun belum pernah diketahui bagaimana bunyi laser tersebut secara pasti –katakanalah seperti itu-.

Atau Production Designer yang merancang sebuah kota luar angkasa –Star Wars-, tentunya tidak terlepas dari sebuah skenario yang berfantasi dan berekspresi bagaimana kota tersebut harus tergambarkan secara real atau "mirip" sebuah kota yang benar-benar ada di luar angkasa.

Kelebihan lain dalam sebuah cerita yang bersumber dari imajinasi adalah bagaimana sebuah sudut pandang yang subyektif, tentunya sudut pandang filmmaker, menjadi sebuah sudut pandang yang obyektif, yaitu penonton. Ini yang memberikan tantangan dan rangsangan kepada setiap filmmaker yang membangun sebuah cerita imajinasi. Bagaimana tidak! Ketika cerita tersebut telah menjadi bentuk film yang dapat ditonton, para penonton akan menerima semua yang terdapat didalam frame –mise un scene yang tergambarkan-, tentunya dengan faktor dari dimensi pola pemikiran sebab-akibat, logis dan realistis.




Komentar