Ulama

Ulama Itu Apa Sih?

Sebagian kaum Muslim di Indonesia itu "latah" dan tidak tepat menyebut atau menyematkan kata "ulama" pada seseorang. Dalam sejarah Islam, ada banyak sebutan atau "gelar informal" yang dihubungkan dengan keahlian atau profesi seseorang. Kalau ahli hadis disebut "muhadist", ahli tafsir Al-Qur'an disebut "mufassir", atau faqih (fuqaha), hakim, mufti, dan seterusnya. Selanjutnya Prof. Sumanto Al Qurtubi menjelaskan.

Adapun kata "ulama" (jamak dari "alim") dulu sebelum era Turki Usmani di abad ke-13, dipakai untuk para "sarjana polymath" yaitu para ilmuwan atau scientists yang menguasai berbagai bidang keilmuan, termasuk "ilmu-ilmu sekuler", dan telah menulis banyak karya akademik. Menariknya, Al-Qur'an sendiri hanya menyebut beberapa kali saja kata "alim" yang menurut sejumlah sarjana seperti Ibrahim Syed merujuk pada pengertian "ilmuwan".

Jadi, dalam sejarahnya, ulama itu bukan "ahli ilmu-ilmu keislaman" tapi lebih pada "orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan" (apapun itu). Justru kata "fuqaha" yang lebih sering dipakai untuk merujuk para sarjana yang bukan hanya ahli ilmu hukum Islam (fiqh) atau teori hukum Islam (ushul fiqh) saja tetapi juga ilmu-ilmu keislaman lain. Sebutan "ulama" dulu juga biasa-biasa saja, bukan sesuatu yang "sakral" dan "wooow" gitu seperti saat ini.

Kelak, pemerintah Turki Usmani-lah yang melakukan "redefinisi" kata ulama menjadi "ahli agama Islam". Turki Usmani pulalah yang melakukan "sistematisasi" gelar ulama sekaligus "merestrukturisasi" dan mengangkat peran ulama sebagai "Shaikh al-Islam" yang sangat bergengsi karena sebagai "penasehat" sultan.

Nah, sekarang sudah tahu kan apa dan siapa "ulama" itu? Kalau tokoh-tokoh seperti Aa Gymn, Ustad "Ucup" Mansur, Ustad Arifin Ilham, Felix Siauw, Mamah Dedeh, atau siapa itu yang kalau ceramah sering bilang: "jamaah oh jamaah", dlsb, mereka semua ya kategorinya atau levelnya bukan ulama tapi "penceramah" atau "dai" alias "mubaligh" (kalau perempuan ya "mubalighot" he he) saja. Jadi, selama ini ada orang-orang yang sebetulnya gigih membela dai yang dikiranya ulama atau "ulama imajiner" he he (pasti entar ada yang ngamuk lagi disini he he).

Kalau mau menyebut ulama di Indonesia itu ya seperti Pak Habib Muhammad Quraish Shihab yang telah menulis berpuluh-puluh buku dan sangat dalam wawasan keagamaannya.

Lagi, Tentang Ulama

Jadi, sudah jelas kan kalau sebutan "ulama" dalam sejarah Islam klasik itu maksudnya ya para sarjana atau ilmuwan yang mumpuni di bidang apa saja, termasuk "hard sciences" dan ilmu-ilmu sosial, atau untuk para "sarjana polymath", yaitu ilmuwan yang serba bisa di berbagai bidang. Selain kata alim atau ulama, para ilmuwan juga kadang disebut sebagai "hakim". Ibnu Sina atau Umar Khayam, dlsb, dulu disebut "hakim" karena memiliki banyak keahlian dan menguasai berbagai disiplin keilmuan.  

Para ulama Muslim klasik dulu memang mumpuni di banyak bidang, bukan hanya ilmu-ilmu keislaman saja tetapi juga matematika, kedokteran, filsafat, fisika, astronomi, geografi, bahkan ilmu-ilmu sosial termasuk antropologi seperti Ibnu Khaldun yang ahli sejarah dan sosiologi atau Abu Raihan al-Biruni yang menulis "Kitab al-Hind" yang mengulas tentang sistem kasta, struktur masyarakat, dan kebudayaan Hinduisme dan Jainisme di India. Al-Biruni dulu mempelajari Bahasa Sanskrit untuk memahami teks-teks agama Hindu dan Jainisme.

Jauh sebelum Antropolog Polandia Bronislaw Malinowski (salah satu Bapak Antropologi) melakukan riset etnografi di masyarakat Trobriand Highlander di Pasifik, atau Franz Boas (Bapak / pendiri Antropologi di Amerika) melakukan penelitian atas suku Inuit di Kanada, di awal abad ke-20, Al-Biruni sudah melakukan penelitian selama puluhan tahun dengan cara tinggal bareng dengan masyarakat Hindu dan Jain di India di abad ke-10. Karena itu tidak heran jika antropolog Muslim Akbar Ahmed menyebut al-Biruni sebagai "Bapak Antropologi".    

Rezim Turki Usmani-lah kelak yang melakukan redefinisi, restrukturisasi dan sistematisasi ulama sebagai "ahli ilmu-ilmu keislaman" yang bertugas memberi fatwa, nasehat kepada pemerintah, dan tetek-bengek urusan keislaman. Pada masa Turki Usmani, ulama merupakan gelar yang cukup prestisius dan untuk mencapainya perlu belajar bertahun-tahun di Universitas Al-Azhar atau madrasah-madrasah Islam ternama di berbagai pusat studi keislaman di Arab Timur Tengah.

Di Indonesia dewasa ini, sebutan ulama "mengkeret" atau "mengerucut" lagi maknya dan terkesan "sangat murah". Bagaimana tidak, dai/penceramah seleb di tipi disebut ulama, ustad karbitan disebut ulama, artis mualaf dipanggil ulama, politisi atau pejabat korup juga ada yang disebut ulama hanya karena modal jenggot doang, bahkan provokator dan preman pun yang omongannya kasar kayak "comberan got empang" dianggap ulama oleh para makhluk "manusia fosil" penghuni bumi datar he he. Oh Tuhan YME, apa salah dan dosa mereka he he

Evolusi Ulama

Saya sudah cukup sering memosting tentang ulama di akun "Pesbuk"-ku (silakan diubek-ubek sendiri jika berminat). Postingan ini hanya menambahi saja. Makna dan peran ulama (jamak dari kata "alim": "orang yang berilmu") ini mengalami "proses evolusi", pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu.

Sudah saya katakan sebelumnya, sebelum era Turki Usmani (sejak 13/14 M), sebutan ulama ini dalam sejarah Islam bersifat umum (yaitu "orang-orang yang meguasai ilmu pengetahuan"--pengetahuan apa saja, disiplin ilmu apa saja), tidak merujuk spesifik sebagai "ahli agama Islam / ahli ilmu-ilmu keislaman" seperti kelak dilakukan oleh para penguasa rezim Turki Usmani.

Bahkan kata atau sebutan "ulama" ini dulu juga dipakai bukan hanya para sarjana Muslim saja tetapi juga para ilmuwan non-Muslim sejak zaman Dinasti Ummayah dan puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah yang banyak berperan penting dalam pengembangan berbagai disiplin keilmuan yang turut mengantarkan era "kejayaan Islam" pada abad pertengahan.

Ada banyak sekali para ilmuwan non-Muslim dulu (Yahudi, Kristen, Sebian, Assyria, Persi, China, India, Yunani, dlsb) yang direkrut para elit politik-pemerintah Muslim untuk turut membantu mengembangkan berbagai disiplin keilmuan: asrtronomi, geografi, matematika, kimia, fisika, kedokteran, filsafat, zoologi, teologi, ilmu pemerintahan, sejarah, sastra, dan masih banyak lagi.

Beberapa nama ilmuwan beken non-Muslim kala itu antara lain Hunain ibnu Ishaq, Tsabit bin Qurra, Qusta ibnu Luqa, Masawaiys, Patriakh Eutychius, Jibril ibn Bukhtishu, Bar-Hebraeus, dlsb (kapan-kapan akan saya uraikan peran dan kontribusi mereka bagi kaum Muslim dalam sejarah Islam). Sejarawan Bar-Hebraeus bahkan diminta oleh petinggi Muslim untuk menerjemahkan Injil dari Bahasa Aram ke Bahasa Arab.

Para sarjana Kristen Nestorian dulu yang banyak berperan, meskipun juga ada para ilmuwan Kristen non-Nestorian yang memberi kontribusi positif bagi perkembangan peradaban Islam.  Ilmuwan Kristen Nestorian Hunain bin Ishaq bahkan dulu mendapat julukan "Syaikh al-'Ulama" (baca, "syaikh-nya para ilmuwan") karena menguasai berbagai disiplin keilmuan dan telah banyak menerjemahkan ratusan karya-karya asing (khususnya dari Yunani dan India) ke dalam Bahasa Arab.

Baitul Hikmah (yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid) dulu menjadi tempat ngumpulnya para ilmuwan ini, selain Universitas Nidhamiyyah di Baghdad. Sekolahan dan perpustakaan ini diinspirasi oleh Sekolah Nissibi dan Edessa yang sudah lama menjadi "markas ilmu pengetahuan" masyarakat Kristen, Persi, dan non-Muslim lain.

Dulu, iklim belajar-mengajar sangat terbuka. Banyak ulama/ilmuwan Muslim yang belajar pada guru-guru syaikh non-Muslim. Juga sebalinya, banyak sekali para ilmuwan Kristen dan non-Muslim lain yang berguru kepada ulama Muslim ternama, bukan hanya di zaman Ummayah dan Abbasiyah saja tetapi juga di zaman Dinasti Andalusiyah di Spanyol.

Sebutan atau pemakaian kata "ulama" yang sangat umum ini bisa jadi karena Al-Qur'an sendiri menyebut kata "alim" di beberapa ayat yang merujuk pada kata "ilmuwan" atau scientist (hard sciences bukan "ilmu-ilmu keislaman") dan rujukannya pada para ilmuwan Yahudi.

Apapun implementasi sebutan "ulama" itu, yang jelas kata ini merujuk pada "ilmuwan" yang memiliki banyak karya, berwawasan luas, dan mumpuni di berbagai disiplin keilmuan, bukan merujuk pada para penceramah atau dai seperti dipahami oleh sejumlah kelompok Islam di Indonesia dewasa ini.



Gambar : http://idprajuritpena.blogspot.com/2017/11/kyai-mojo-merupakan-seorang-ulama-yang.html




Komentar