Kedudukan Film Sebagai Seni, Bisnis dan Hiburan

Film merupakan wadah dari elemen-elemen yang dapat difungsikan sebagai aspek berkomunikasi sekaligus juga berekspresi. Sejarah mencatat munculnya film dianggap sebagai medium yang termuda. Pada aspek komunikasi, film memberikan pesan melalui cerita, sedangkan dalam ekspresi, film masuk kepada konsep viguralnya, bagaimana pesan dikelola sedemikian rupa. Pengelolaan pesan tersebut disatu sisi dianggap bukan hanya sebagai tanda, melainkan sebuh struktur bahasa. Film menggunakan bahasanya sebagai aspek pembentuknya. Sederhananya terjadi irisan pendekatan untuk memahami film, yakni komunikasi, seni dan bahasa dalam film.



Pesan yang ada didalam film dipandang sebagai suatu tujuan film yang di produksi oleh para sineas agar dapat sampai kepada para penontonnya. Pesan tersebut diberikan melalui tanda-tanda yang muncul dalam film. Penonton pun mengenali dan memahaminya berdasarkan pendekatan asumsi mereka dari sejumlah pengalaman penonton dalam kehidupan. Pada proses pemahaman tersebut, penonton menjadikan pengalaman dalam berkomunikasi sebagai rujukan, yang kemudian menyuplainya menjadi sebuah susunan bahasa yang memiliki struktur tertentu. Namun muncul film-film tertentu yang bersifat sangat personal pembuatnya. Bahkan film menjadi susunan yang misteri dan tidak terjamahkan oleh satu pandangan yang baku. Karena film menghadirkan tanda dan struktur bahasa yang tidak umum, yang tidak dengan mudah dipahami oleh penonton. Begitulah film, menjadi seni terakhir yang mengakomodir semua aspek seni yang lain, hingga menjadi seni utuh sebagai film.

Pada prinsipnya, film ditayangkan di bioskop —pada awal-awal film penonton datang ke pasar malam dan menonton film. Penonton datang ke bioskop untuk menonton pertunjukkan film. Kebanyakan penonton memahami film berdasarkan pengalaman yang telah dijalani dan didapatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya pengalaman terhadap peristiwa tertentu didalam kehidupan yang dialami oleh penonton “mirip” dengan apa yang terdapat didalam film yang ditontonnya. Meski film berproses hingga menjadi bentuk seperti sekarang ini, namun pengaruh pengalaman penonton yang menuntunnya dan menjadikan film bisa diikuti oleh penonton. Faktor kemiripan antara pengalaman penonton dengan film merupakan pendekatan penonton dalam memahami film. Jumlah penonton yang jauh lebih banyak untuk dapat menonton dan menikmati film, telah menciptakan pasar film itu sendiri. Bahkan sejak awal munculnya film untuk pertama kalinya, film dianggap sebagai hal yang memiliki nilai jual yang menguntungkan bagi sineas. Film yang dibuat sineas berdasarkan pendekatan jumlah penonton atau film untuk selera pasar, laku dijual, menunjukkan pada posisi film komersil.

Menariknya, penonton film juga menuntut sesuatu yang baru dari film sebagai bentuk pengalaman baru bagi penonton. Kehadiran film seperti ini tentunya berbeda dengan film komersil diatas. Adanya jenis atau tipe dari film tertentu, menjadi bukti bahwa penonton menuntut film untuk melakukan hal-hal yang “baru” bagi penonton. Film Lumiere yang menampilkan keseharian, lama-kelamaan membosankan penonton. Film pun mulai ditinggalkan penontonnya. Sehingga perubahan dari film keseharian Antonie dan Louis Lumiere —Lumiere Bersaudara— ke film fantasi yang dibuat George Melies, adalah fakta bahwa Melies mampu melakukan hal baru di film.  Penonton menjadikan film Melies sebagai pengalaman baru yang didapatkannya dari film. Trik atau tipuan visual Melies dalam mengemas film, menjadi kepuasan penonton sekaligus jawaban dari tuntutan penonton film Lumiere sebelumnya. Film mulai diminati kembali oleh para penontonnya dan mendapatkan momentumnya. Selanjutnya, perkembangan dalam cerita film pun bermunculan, sehingga menghadirkan jenis atau tipe film tertentu dengan teknik visual yang segar. Bahkan sampai menciptakan iconography pada jenis dan film tertentu. Tuntutan dan harapan penonton untuk mendapatkan pengalaman baru dari film pun terjawab. Disamping film tersebut sebagai bukti adanya film yang bersifat personal. Pada tipe atau jenis film tertentu untuk pertama kalinya —film baru— tayang maka semuanya itu adalah pengalaman baru penonton —seperti halnya film Melies yang dijelaskan diatas. Meski penonton mendapatkan suatu komunikasi dan bahasa yang tidak umum, seperti layaknya yang mereka dapatkan pada film-film yang ditonton sebelumnya, pada kenyataannya mereka peduli akan cerita dan garapan teknik visual yang dilakukan di film. Pada keadaan ini, film menjadi hal yang tidak memiliki irisan, komunikasi, seni dan bahasa. Melainkan film memiliki bentuknya sendiri. Film seni pun hadir!

Tentu bukanlah hal yang harus ditutup-tutupi, bagaimana kehadiran film bernuansa seni tersebut, menyebabkan film menjadi hal yang “berat” bagi penonton. Karena bagaimana pun juga secara umum kebiasaan penonton adalah membawa pengalaman yang telah dilaluinya untuk dapat memahami film yang ditontonnya. Namun film seni malah menciptakan pengalaman yang baru dengan melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang ada didalam film pada umumnya. Sebagian penonton, yang dianggap sebagai penonton film seni, sangatlah mengharapkan hal tersebut. Ini menciptakan eksistensi dari film itu sendiri. Hal yang berbeda yang didapatkan dari film komersil, bahkan jumlah kehadiran penonton film seni jauh lebih sedikit dari film komersil. Tapi eksistensi film seni pun pada akhirnya lama-kelamaan bisa menjadi film komersil. Film ekspresionisme yang lahir oleh para sineas Jerman, pada akhirnya menjelma menjadi film horror.

Kenyataannya sekarang, apa posisi film komersil jauh lebih baik daripada film seni? Atau malahan sebaliknya, dimana film seni jauh lebih memiliki nilai dibandingkan dengan film komersil? Sebenarnya apa yang pas diberlakukan pada film?

Kalau film diukur dengan suatu kesuksesan pada jumlah penonton yang datang dan menontonnya di bioskop, kenyataannya sekarang, banyak masyarakat yang mencari film seni yang populer pada masanya. Sedangkan film komersil pada masanya, malah tidak dipandang masyarakat sekarang, atau kalaupun ada, dapatlah dikatakan persentasenya amat kecil dibandingkan dengan peminat yang mencari film seni. Salah satu peminat yang mencari film seni pada masanya, setidaknya mereka yang bergelut pada bidang film, baik itu pembuat film, kolektor ataupun para akademisi. Film Stanley Kubrik misalnya. Ataupun film-film Goddard, masih menjadi incaran para peminat film sekarang. Artinya film seni yang memiliki jumlah penonton sangat sedikit pada masanya, malah memiliki peminat yang lumayan banyak pada masa berikutnya. Hal yang sangat berbeda dengan film-film komersil pada jamannya dan pada masa berikutnya.

Satu hal lagi adanya keberadaan festival film, juga menjadi momok akan nilai dari sebuah film. Seringkali pemenang festival film tidak memunculkan film yang jumlah penontonnya cukup banyak saat film tersebut di putar di bioskop-bioskop. Karena festival film memilih pemenang dengan ukuran yang berbeda dari sebuah kesuksesan film komersil. Namun apa festival film hadir hanya untuk menilai film seni saja? Kalau memang demikian, bagaimana dengan film komersil yang menang di sebuah festival, seperti film Titanic! Dalam hal ini, setiap festival film yang diselenggarakan memang memiliki kriteria yang tidak selalu sama antara festival film yang satu dengan festival film yang lainnya. Bahkan beberapa festival pun sudah memiliki ciri dan identitasnya sendiri. Sehingga festival film pun terjadi pengelompokkan kelas. Festival film yang ada di kelas A misalnya, adalah festival film yang memiliki gengsi paling tinggi diantara kelas festival yang lainnya di dunia, seperti Academy Awards, Cannes, Sundance, toronto dan sebagainya. Anehnya yang terjadi pada film-film yang sukses dipasaran pun tidak sedikit yang meraih penghargaan dalam ajang festival film tertentu. Kasus Petualangan Sherina, merupakan salah satu dimana film tersebut meraih kesuksesan ganda, meraih jumlah penonton yang cukup banyak, sekaligus juga mendapatkan penghargaan dalam FFI. Film box office Hollywood macam Gone with The Wind, juga sebuah contoh yang menarik.

Dengan demikian film diposisikan sebagai pertama film komersil, dimana pengalaman penonton terhadap kehidupan memiliki kemiripan dengan film, sehingga hal tersebut memungkinkan menghadirkan penonton ke bioskop relatif cukup besar, meski tidak semua film komersil berhasil menghadirkan penonton dengan jumlah yang banyak. Kedua, film seni, dimana film bisa memberikan pengalaman baru bagi penontonnya, meskipun umumnya film seni ini berdampak pada jumlah penonton yang tidak besar, namun tidak semua film seni hanya diminati sedikit penonton —contoh ada pada film-film yang dibuat pada periode awal dan periode perkembangan dalam sejarah film.

Sejarah film dengan tegas menjelaskan kehadiran film tidak terlepas dari hal yang bertujuan hiburan dan bisnis semata, disamping film juga berhubungan langsung terhadap perkembangan teknologi. Tujuan film sebagai bisnis menyebabkan film membutuhkan modal untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan dari nilai investasi yang ditanamkan. Lumiere memperkenalkan film sekaligus mendapatkan keuntungan dari film yang dihasilkannya. Penonton berkunjung ke pasar malam-pasar malam untuk menyaksikan film Lumiere. Kemudian Lumiere pun memperdagangkan dengan menyewakan atau memperjual-belikan film untuk di putar di pasar malam-pasar malam di Prancis lalu menyebar dan berkembang ke daratan Eropa dan Amerika. Namun film-film Lumiere yang hanya mempertunjukkan keseharian hanya bertahan dalam beberapa tahun. Penonton pun mulai bosan dan meninggalkan pertunjukkan film. Terjadi kemerosotan jumlah penonton, Lumiere Bersaudara pun memperjual-belikan kamera cinematographe, yang merupakan kamera pertama di dunia. Bisnis film Lumiere pun beralih ke peralatan kamera tersebut. Sebelumnya Eastman Kodak telah melakukan bisnis dari seluloid, film negatif —unexposed— sebagai materi dalam perekaman gambar. Untuk menjadi film positif, maka dibutuhkan proses kimiawi di lab. Maka bisnis di film pun terbagi menjadi film negatif, lab film, film yang ditayangkan, kamera serta pasar malam yang sekarang berubah menjadi bioskop, tempat memutar film.


1.1 Gambar film Egypte: Panorama des Vusi du Nil, 1896.

Operator film Lumiere, Eugene Promio melakukan inovasi dengan memperkenalkan tripod kaku yang tidak bisa diputar, baik untuk pan ataupun tilt. Eugene meletakkannya diatas sebuah sampan dalam merekam gambar pemandangan di venesia (gambar 1.1). Selanjutnya para pembuat film meletakkan tripod untuk melakukan travelling shot dan sebagainya. Tergambarkan  bagaimana rentetan bisnis film yang disetiap tahapannya membutuhkan dana dan menghasilkan keuntungan.


1.2 Gambar Kapsul pesawat yang mengangkut Manusia dari bumi, mendarat persis di mata sang Bulan dalam film fantasi Melies A Trip to the Moon.

Hadirnya George Melies, seorang pesulap asal Prancis, yang mampu memberikan sentuhan magis pada film, telah membuat film kembali ditonton dan diminati oleh masyarakat. Film “hidup kembali” untuk kedua-kalinya. Melies membuat film-film fantasi dengan melakukan sejumlah trik dalam produksinya -edit by cam.

Pencapaian film oleh Melies ini mengubah pencapaian film Lumiere sebelumnya, dari film keseharian yang bersifat hanya “merekam” dan tidak memiliki sebuah kisah, menjadi film fantasi yang bersifat “memvisualkan” dan menghadirkan kisah. Meski suara film belum menyatu dengan film, dan masih bersifat alunan musik yang dimainkan oleh musisi yang berdiri, sambil memainkan alat musik disamping film yang ditayangkan, tapi hal ini langkah besar di film.

Tuntutan penonton akan kisah di film, menyebabkan film dipengaruhi oleh karya sastra. Sedangkan teknik pengambilan gambar masih mempertahankan pola yang dilakukan Lumiere, yakni kamera ditempatkan disalah satu posisi saja —statis—, tidak atau belum bergerak, untuk digeser kesana-kemari, menyebabkan kamera dipersepsikan sama dengan mata penonton saat menyaksikan pertunjukkan teater. Sedangkan teknologi film, terus mengupayakan agar suara dapat terdengar dan menyatu dengan adegan di film, layaknya film-film sekarang ini. Suara dalam film pada akhirnya dapat dilakukan dengan munculnya film Jazz Singer di tahun 1927, dimana suara dapat digabungkan dengan gambar saat penayangan film berlangsung.

Film Jazz Singer pun mengembangkan bisnis pada film. Setelah era sebelumnya bisnis film pada kamera, film negatif, lab, eksebisi film —penayangan film di pasar malam, yang juga akhirnya berdiri bioskop-bioskop-, assesoris kamera —tripod- dan sumber daya manusia, maka era selanjutnya ditambahkan dengan teknologi editing dan suara. Kemajuan teknologi kamera pun terus berlanjut. Pemisahan lensa dengan body kamera serta assesoris kamera untuk menciptakan berbagai macam variasi shot, teknologi editing dan suara yang juga turut semakin berkembang, serta sistem sewa dan jual peralatan pada film, menambah deretan bisnis film.

Teknologi film bergeser, dengan mengarahkannya pada penonton agar dapat menyaksikan pertunjukkan film tidak hanya di bisokop, tapi juga bisa dilakukan penonton di rumah, atau dimana saja dengan waktu yang bebas, atau kapan saja. Eksebisi, penayangan film, ditujukan pada bentuk yang lebih portabel, baik bentuk mater filmnya, ataupun bentuk peralatan yang dapat memutar dari materi film tersebut —player—. Munculnya video beta, laser disc, VCD, DVD, Blueray dan sebagainya, merupakan jawaban teknologi terhadap tuntutan dimana film dapat disaksikan dimana dan kapan saja. Sekaligus untuk merekrut penonton lebih banyak dan luas lagi. Penonton tidak hanya diidentikkan pada yang hadir didalam gedung bioskop saat pemutaran film, tetapi juga penonton diluar bioskop. Dengan film dapat diputar ulang kapan saja, maka film pun tidak mengenal batasan jam tayang seperti di bioskop. Bahkan film tahun ini dirilis, tahun depan penonton masih dapat menikmatinya, dengan peralatan portabel player film. Tidak hanya itu, penonton yang saat film dirilis masih anak-anak, tapi pada masa perkembangan remaja atau dewasa berikutnya, anak-anak tersebut masih dapat menontonnya. Kurun waktu film jadi tidak terbatas. Sehingga film tidak dibatasi lagi dengan ruang dan waktunya. Kolektor film lama tetap bertahan, dan kolektor film baru pun terus bermunculan. Kolektor film pun semakin bertambah dan semakin luas wilayahnya. Film telah menjadi hiburan yang dekat dengan masyarakat, dan bisnis film terus berkelanjutan.

Komentar