CITRA DAN PERAN PEREMPUAN DALAM FILM HOLLYWOOD

(Suatu Tinjauan Deskriptif)


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



ABSTRAKSI

The poet himself is the speaker and does not even attempt to suggest to us that anyone but himself is speaking” begitu Plato dalam Republic 3 yang berisikan tentang analisa dirinya terhadap puisi (dunia seni), hingga akhirnya berkembang. Sebagai media, seni telah menjadi wadah bagi para kreator seni untuk menyampaikan maksud dan tujuan tertentu atas respon (imitasi) dari persoalan-persoalan dunia yang nyata.

Film sebagai wujud kesenian yang sampai saat ini dianggap media penciptaan yang komplit –sifatnya yang audio-visual (pandang-dengar)- mampu memainkan perannya sebagai media masa yang memaksimalkan fungsinya sebagai alat untuk mengawasi lingkungan (surveillance), penghubung masyarakat (correlation), hiburan (entertaintment) dan transmisi sosial. Selain itu juga sebagai sarana informasi paling efisien dan efektif didalam jalur sosialisasi, penyebar informasi, tatanan nilai dan pola perilaku yang terdapat didalam masyarakat, makna yang terkandung dalam film yang telah di produksi ternyata mampu menghasilkan eksplorasi persoalan yang ada di masyarakat lebih dinamis.

Diantara eksplorasi persoalan masyarakat yang disosialisasikan dalam film adalah nilai-nilai tentang jender, dalam hal ini adalah menyangkut pencitraan dan peranan wanita dalam film-film Hollywood. Baik wanita yang ada pada posisi penciptaan film ataupun wanita sebagai bintang film atau juga wanita sebagai tema sebuah film.

Jender adalah kategori untuk menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki akibat konstruksi secara sosial dan budaya. Dari konsep jender tersebut lahir serangkaian ciri yang disebut maskulin dan feminin. Ciri maskulin adalah ciri yang dilekatkan atau dianggap wajar bagi laki-laki, sedangkan ciri feminin adalah yang dilekatkan wajar bagi perempuan. Sifat feminin misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan perkasa.

Pada hakekatnya film juga dikenal sebagai sinema yang memiliki nilai semiologi didalamnya. Christian Metz mempermasalahkan hubungan “kata” dan “gambar”, hal itu merupakan tanggapannya, terhadap kalangan teoritikus ataupun sineas (1925-1930-an) macam Pudovkin, Dziga Vertov, Koulechov, Bela Balasz, Rudolf Arnheim, dll, yang berpendapat bahwa sinema harus dimanipulir seperti bahasa manusia keseharian dengan menggunakan teknis montase semaksimal mungkin. Pada beberapa film tertentu, meskipun tidak mengusung secara verbal tentang tema wanita, namun dalam pendekatan teori yang diutarakan Metz, tentunya film-film yang di produksi oleh Hollywood pada kenyataannya dapat dianggap menempatkan wanita sebagai tema sentral ataupun tema terselubung dari makna film.



PENGANTAR

A.     Latar Belakang

Mungkin bila melihat keberadaan dunia film sekarang sudah bukan lagi menjadi milik laki-laki. Tetapi telah banyak kaum perempuan juga turut andil didalam dunia film, meski tetap saja bila dipersentasikan, kaum perempuan jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan kaum laki-laki.

Sebelum dekade 70-an, atau 80-an, bahkan 90-an dapatlah dikatakan bahwa dunai film sering disebut sebagai dunia laki-laki karena mayoritas sineas adalah para kaum Adam. Banyak hal yang diungkapkan dalam film adalah lewat sudut pandang laki-laki, termasuk soal perempuan. Sehingga sangat wajar bila sensualitas perempuan sering menjadi lahan garapan dan komoditi dalam industri film terutama di era globalisasi, perempuan dengan citra sensualnya menjadi andalan produsen dalam menarik konsumen.

Hal ini sering mengundang kaum feminis untuk menggugat dominasi laki-laki dan eksploitasi perempuan, termasuk didalam film. Apalagi film menjadi salah satu industri kapitalis yang cukup potensial, seperti halnya Hollywood, film seringkali dinilai sebagai representasi dominasi laki-laki karena masyarakat industri, menurut kaum feminis, adalah masyarakat patriarkis. Hal-hal semacam itulah yang mendorong tulisan ini menguraikan bagaimana citra dan peran perempuan dalam film Hollywood untuk melihat sejauh mana pengaruh sifat-sifat industri kapitalis yang dinilai patriarkis terhadap citra dan peran perempuan lewat film-filmnya. Fakta bahwa mayoritas sutradara terkemuka Hollywood adalah laki-laki, baik sebagai masyarakat laki-laki maupun sebagai individu, juga menjadi faktor yang ingin dilihat sejauh mana pengaruhnya dalam memandang citra dan peran perempuan yang tergambar dalam film-filmnya.

B.      Permasalahan

Permasalahan dalam kajian kali ini adalah bagaimana sesungguhnya citra dan perempuan, bila dilihat dari sudut pandang masyarakat mayoritas laki-laki seperti dunia film, apalagi bila film sudah menjadi industri seperti pada pada film Hollywood, dan bagaimana jalan terbaik untuk dapat menampilkan citra dan peran perempuan yang positif dan utuh ditengah persaingan pasar.

C.      Tujuan dan Kegunaan

Tujuan pada permasalahan ini adalah untuk melihat citra dan peran perempuan dalam film-film Hollywood, sebagai gejala yang dapat memperlihatkan adanya pengaruh industrialisasi dan pengaruh keadaan industri film, sebagai jagad laki-laki terhadap pandangan-pandangannya tentang perempuan. Sedangkan kegunaan dari permasalahan ini setidaknya dapat melihat bagaimana Hollywood telah memainkan perannya sebagai mesin industri yang licin bagaikan ular didalam memanfaatkan perempuan sebagai merk dagangan produksi film-film mereka. Sehingga kaum perempuan sendiri menjadi dilematis akan keberadaan jender yang dipergunjingkan.



PENDEKATAN DAN CARA PENELITIAN

A.     Pendekatan

Memaparkan konsep jender untuk mengetahui kedudukan perempuan dan kedudukan laki-laki, hal ini untuk memudahkan kajian ini melihat tema yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini.

Kiranya teori Interpretatif dan Etika Kapitalisme dari Max Weber menjadi paradigma kajian, terutama yang berkaitan dengan kapitalisme Hollywood dan tindakan individu-individu para sineas dalam memandang perempuan lewat film-filmnya. Pandangan feminisme dan postmodern juga akan digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala yang timbul akibat citra dan peran perempuan dalam film, juga menjelaskan adanya tekanan yang sangat besar dari fenomena dunia industri.

Selain itu teori Narration untuk menganalisa sebuah film yang berkaitan dengan permasalahan ini, menajdi parameter kajian, teruitama dalam tema-tema film produksi Hollywood yang memiliki makna ganda.

B.      Cara Penelitian

Dengan terlebih dahulu memberikan lingkup kajian pada tulisan ini adalah film-film Hollywood tahun 1970-an hingga tahun 1990-an, terkemuka karena pencapaian artistiknya dan kebetulan mengangkat tema perempuan ataupun tokoh perempuan serta film-film Hollywood yang hangat karena mengangkat isu tentang perempuan. Berbagai deskripsi individu sutradara dan keadaan umum masyarakat film Hollywood turut pula menjadi lingkup kajian sebagai latar belakang dan motivasi yang logis dari film-film yang dikaji.

Metodologi yang dipakai adalah metodologi deskriptif. Karena hanya berupaya menangkap gejala dan mencari sebab-akibat yang logis dari permasalahan.



 TINJAUAN TEORI


A.     Teori Narration sebagai Pendekatan Analisa Film

Teori Mimetik

Dalam Poetics, Aristoteles membedakan arti imitasi berdasarkan mediumnya (seperti lukisan atau bahasa), objek imitasi (beberapa aspek dalam perbuatan manusia), dan metode imitasi (bagaimana sesuatu diimitasikan). Homer berkata “perbedaan mendasarnya terletak pada cara memberitahukan (telling) dan memperlihatkan (showing). Perbedaan kedua terletak pada kategori cara pemberitahuan; apakah si pujangga berbicara melalui suaranya sendiri atau melalui salah satu karakternya?. Dalam teori diegetik narration terdapat aktivitas verbal: pemberitahuan (telling), baik pengertiannya secara analogis ataupun secara langsung. Cara pemberitahuan ini dapat berbentuk oral atau tertulis. Teori-teori mimetik sebaliknya, berperan sebagai presentasi akan sebuah pemandangan: cara memperlihatkan (showing). Namun sebagai catatan, karena perbedaan yang disebut diatas berhubungan dengan metode imitasi, baik keduanya dapat diaplikasikan pada semua medium. Anda bisa menggunakan teori mimetik pada sebuah novel apabila anda yakin metode narasi fiksi yang dipergunakan sama dengan yang digunakan dalam sebuah drama. Dan kita dapat menggunakan teori diegetik pada sebuah lukisan apabila anda mendapat pemahaman visual dalam bentuk transmisi analogi-linguistik. Penjabaran Aristotelian memudahkan kita untuk mebandingkan dua prinsip tradisional dalam representasi naratif dan untuk memeriksa bagaimana teori-teori perfilman diambil.

Konsep mimesis Aristoteleses diaplikasikan khususnya pada performasi teater. Menurut Gerald Else, arti paling awal dari penjabaran “kata” adalah “sebuah imitasi pergerakan sebuah benda hidup, binatang dan manusia, melalui tubuh dan suara (tidak harus dalam bentuk nyanyian), tetapi lebih kepada artefak seperti patung atau gambar”. Sedangkan di jaman Plato, pengertiannya melebar dengan memasukkan lukisan dan pahatan kedalam penjabarannya. Nantinya, kekuatan mimetik diklaim memiliki peranan dalam bahasanya sendiri; di Craylus, Plato sendiri tampaknya meyakini hal ini. Gerald Genette mengikuti jejak sejarah teori bahasa ini secara mendetail, berdasarkan asumsi: bahasa oral atau tertulis mengimitasi bentuk-bentuk visual dan akustik. Kita akan melihat bagaimana konsep mimesis diperluas melalui prosa fiksi dan akhirnya kedalam bentuk sinema. Untuk sekarang, kita dapat mengambil kesimpulan singkat bagaimana teori-teori mimetik diaplikasikan dalam domain mereka, teater dan lukisan.


Teori Diegetik

Bila Aristotelian dianggap berperan dalam penemuan tradisi mimetik pada representasi naratif, maka Plato dianggap sebagai leluhur yang memulai membicarakan mengenai konsep narration sebagai sebuah aktifitas linguistik. Bagi Plato baik imitasi naratif atau teatrikal, sama-sama memprioritaskan suara si penyair; dalam drama, si penyair dapat secara langsung menyuarakan kalimat-kalimatnya sendiri.

Ditahun-tahun dimana kritikus-kritikus Anglo-American, seperti Lubbock menjelaskan mengenai teori-teori mimetik dalam literatur naratif, kritikus-kritikus formalis asal Rusia ini mengemukakan bahwa literatur dapat mencakup semua permasalahan dalam bahasa. Efek-efek dapat diberikan secara terang-terangan oleh si penulis dalam rangka memanipulasi keadaan dalm bentuk norma-norma verbal. Perkembangan dalam teori diegetik, yang paling kentara adalah dihubung-hubungkan oleh pergantian struktural antar benua. Kita dapat membaginya menjadi dua periode. Pertama sekitar tahun 1960, dimana Roland Barthes menerima petunjuk dari teori-teori Saussure tentang bagaimana linguistik dapat membentuk dasar dari tanda-tanda ilmiah yang lebih umum –semiologi. Semiologi ini menulis pemahaman tentang bagaimana lukisan dan teater berfungsi sebagai sebuah sistem bahasa. Analisa Barthes yang paling komprehensif tentang narration di periode ini (The Structural Analysis of Narratives). Menyatakan bahwa setiap narasi memiliki ketergantungan pada kode-kode bahasa.

Beberapa essai pada periode ini berbicara mengenai gejala perubahan-perubahan dalam strukturalisme antara signifikasi studi (menitik-beratkan pada permasalahan-permasalahan denotasi dan konotasi) menjadi studi tentang pengucapan (enunciation), menitik-beratkan pada permasalahan-permasalahan subjektif dalam bahasa.

Yuri Tynianov menyamakan sebuah syuting sebagai sebaris sajak dan mencari-cari persamaannya –equivalen- tentang sinema dalam berbagai teknik-teknik pembuatan sajak seperti penjulukan (epiteth), kiasan-kiasan (simile) dan metafora. Penggayaan dalam sinema kemudian berdasarkan pada sintak perfilman, cara bagaimana sebuah gambar dihubung-hubungkan menjadi “fase” dan “kalimat”. Analogi ini diambil sebagian dari tulisan-tulisan Eisenstein, Vertov, Kulesov dan Pudovkin.


B.      Konsep Jender

Telah disinggung sebelumnya dalam abstraksi tentang kedudukan jender itu sendiri. Sebenarnya kata jender berasal dari bahasa Inggris, yakni gender, karena bahasa Indonesia tidak mengenal akan pengertian kata gender. Dalam bahasa Inggris kalau dilihat didalam kamus, tidak secara jelas membedakan antara kata jenis kelamin (sex) dan jender. Sementara itu, belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep jender dan mengapa konsep jender tersebut penting untuk memahami sistem ketidak-adilan sosial. Dengan kata lain timbulnya ketidak-jelasan itu disebabkan kurangnya penjelasan mengenai kaitan antara konsep jender dengan persoalan ketidak-adilan lainnya. Untuk memahami konsep jender harus dibedakan kata jender dengan jenis kelamin (sex).

Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara permanen jenis kelamin ini tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi secara alami dan ini dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

Sementara istilah jender adalah suatu sifat yang membedakan kaum perempuan dengan kaum laki-laki karena dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Padahal karakter akan sifat-sifat tersebut, juga dimiliki laki-laki maupun perempuan. Artinya ada laki-laki yang memiliki sifat lemah-lembut, emosional, keibuan. Sementara ada jug aperempuan yang emmiliki sifat seperti laki-laki macam kuat, rasional, jantan, perkasa. Kedua hal tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, dari tempat ke tempat, dari jaman ke jaman, dari kelas ke kelas, dari suku ke suku, dari budaya ke budaya, tingkat pendidikan, strata sosial ekonomi, tingkat perkembangan masyarakat (agraris/industri), dan lain sebagainya.

Konsep jender ini pada akhirnya memunculkan gerakan-gerakan sosial dan diskursus-diskursus kultur feminisme. Yang kemudian membentuk perkembangan kajian film Anglo-Amerika pada tahun 1970-an, sebagai metodologi kritis, feminisme membuat penting kategori jender dalam segala bentuk pengetahuan dan penyelidikan. Imaji atau citra perempuan, dan perempuan sebagai imaji telah menjadi ciri sentral dari film dan media audio-visual yang lain. Dalam teori dan praktek film, penggunaan jender sebagai poros analisa telah melahirkan dan merubah wacana film dengan merangkul berbagai analisa-analisa untuk, oleh dan tentang perempuan.


C.      Teori Max Weber

Dalam hal ini adalah teori Max Weber sebagai paradigma dalam memandang tindakan individu sineas serta pandangan feminisme sebagai pisau analisa dan jawaban terhadap tindakan individu sineas laki-laki.

Citra dan peran perempuan dalam film Hollywood dapat kita lihat sebagai representasi dari pandangan laki-laki karena mayoritas sineas Amerika adalah laki-laki dan bila kita berpikir menurut paradigma Weber, seharusnya sineas sebagai individu laki-laki mempunyai subyektifitas dan pola tindakan sosial yang berakar dari dirinya sebagai individu laki-laki, yang pasti berbeda dari perempuan.

Sineas yang terkenal karya-karyanya yang sangat anti feminis adalah Adrian Lyne. Bahkan Lyne secara eksplisit menyebut dirinya sebagai anti feminis. Ada dua film karyanya yang dapat kita lihat memojokkan perempuan, yaitu Fatal Attraction dan The Indecent Proposal. Dalam Fatal Attraction, tokoh perempuan pintar, yaitu seorang chief editor, yang diperankan oleh Glenn Close, tampil sebagai wanita penggoda pria yang sudah beristri. Ketika sang pria, yang diperankan oleh Michael Douglas, lebih memilih isterinya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa sebagai wanita pilihannya, tokoh wanita pintar itu menggoda dan meneror dengan segala cara, untuk mengguncang stabilitas rumah tangga sang pria. Tetapi di akhir cerita film ini, untuk mempertahankan harmoni, tokoh wanita karir yang pintar tersebut harus mati dibunuh. Sedangkan wanita ibu rumah tangga yang baik hati keluar sebagai pemenang. Padahal tokoh wanita karir tadi sedang mengandung janin hasil benih sang pria!

Sedangkan dalam The Indecent Proposal, lebih ekstrem lagi, Adrian Lyne menggambarkan wanita adalah mahluk gila uang, tidak mandiri, segala sesuatunya tanpa menggunakan otak dan tanpa perasaan! Demi uang sang wanita rela menjual tubuhnya, padahal ia sudah bersuami. Ia memilih pengusaha kaya daripada suaminya hanya karena uang. Tapi ketika sudah ditolah oleh sang pengusaha kaya, ia serta merta kembali pada suaminya.

Fenomena yang paling hangat adalah citra dan peran perempuan sebagai mahluk yang berbahaya bagi eksistensi laki-laki yang tergambar pada film kontroversial Basic Instinct dan Disclosure. Pada membahayakan dan mengancam eksistensi pria. Semakin pintar sang wanita, semakin berbahayalah perempuan tersebut. Kemudian tokoh pria yang tampak bimbang dan tampak kalah pintar dari sang wanita, lebih ditakdirkan sebagai pihak yang menang. Tampak terjadi kebimbangan untuk mematikan tokoh utama pria, padahal bila melihat keseimbangan karakter, seharusnya tokoh wanitalah yang menang.

Kemudian pada Disclosure, citra perempuan karir benar-benar dipertanyakan. Tokoh wanita karir digambarkan telah menggunakan daya tarik seksualitasnya demi kemajuan karirnya. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, seks telah digunakan sebagai power bagi wanita untuk menundukkan sekaligus melecehkan laki-laki. Yang parahnya, tokoh wanita karir tadi, digambarkan jahat dan tampil sebagai pihak yang kalah.

Yang unik dan pernah menjadi model bagaimana wanita sedemikian perkasa dan bebas ditampilkan sineas laki-laki adalah lewat film Thelma and Louise karya Riddle F. Scott. Tokoh Thelma and Louise mungkin bisa dijadikan model pemberontakkan kaum feminis. Tetapi sekali lagi walau keperkasaan wanita feminis tersebut ditampilkan dengan baik oleh sutradara, tetapi eksistensinya dinilai sangat membahayakan bagi tatanan masyarakat termasuk negara. Sehingga diakhir film, Thelma and Louise harus rela mati demi kebebasannya. Sekali lagi kaum feminis harus dimatikan. Demikian pula misalnya, tokoh wanita heroik macam cerita Aliens, walau demikian cerdas dan kuatnya, ternyata penggambaran karakternya sangatlah maskulin, tidak menikah dan hidup sendiri dalam komunitas laki-laki.

Yang menjadi persoalan mengapa pandangan laki-laki terhadap wanita begitu rupa, bisa jadi karena memang para sineasnya adalah kaum laki-laki. Sehingga wajar subyektifitas pandangan laki-laki sangatlah mendominasi dan mempengaruhi citra dan peran perempuan yang ditampilkannya melalui film. Sineas-sineas terpandang Amerika sepertin Martin Scorsesi, Francis Ford Copolla, Steven Spielberg, Oliver Stone malah sangat jarang menampilkan tema perempuan atau peran dari perempuan dalam karakter utama yang utuh dan kompleks. Khusus pada Martin Scorsesi, yang seringkali menampilkan perempuan secara utuh karakternya dengan diwujudkannya sebagai perempuan yang bersifat lemah dan mengalah pada keadaan serta dapat membahayakan bagi tatanan masyarakat, seperti yang terjadi didalam film Taxi Driver, The Sige of Innocent, Goodfellas ataupun The Casino.

Pada Robert Altman yang cukup sering menampilkan tokoh perempuan dalam karyanya, hanyalah ditempatkan sebagai pemanis atau bahkan sebagai olok-olok. Woody Allen mungkin suatu fenomena yang lain dalam hal ini. Pada filmnya, Woody Allen menempatkan perempuan sebagai subyek yang menarik. Eksotisme perempuan, walau terkadang mengesankan penonton, tetapi seringkali perempuan ditampilkan sebagai mahluk yang labil, mudah goyah karena godaan atau tekanan. Eksotisme perempuan di mata Woody Allen menjadi satir. Perempuan menarik justru karena kelemahannya, perempuan seringkali menggoyangkan kemapanan dan harmoni, seperti perempuanyang akhirnya minta cerai demi kebebasannya dalam Husband and Wives, perempuan yang merebut pacar temannya seperti dalam film September, wanita yang jatuh cinta pada tokoh disebuah film hingga tokoh pria tersebut keluar dari layar dan filmnya jadi berantakan dalam Purple Rose of The Cairo, pramugari yang menjadi pacar gelap seorang dokter terkenal, lalu dibunuh karena berkeras minta dinikahi seperti dalam film Crime and Misdemeanors, atau suatu drama panggung yang ditulang-punggungi oleh aktris kabaret yang bodoh dan aktris kawakan yang pemabuk seperti dalam Bullets Over Broadway, atau tentang persaingan diantara empat bersaudara yang kesemuanya perempuan, yang mengakibatkan pengkhianatan seperti dalam Hannah and Her Sisters. Mungkin ini dilatar-belakangi oleh rasionalitas Woody Allen dalam memandang perempuan dan pernikahan, karena Woody Allen adalah pria yang terkesan sangat tertarik pada perempuan tetapi tidak mau menikahinya.

Yang sangat menarik adalah nilai-nilai yang disampaikan oleh citra dan peran perempuan dalam film-film tersebut bahwa :

1.      Wanita karir yang sukses adalah wanita yang tidak menikah.
2.      Semakin wanita menuntut persamaan dengan suaminya justru sangat berbahaya bagi pernikahannya.
3.      Semakin pintar seorang wanita, maka ia akan semakin berbahaya.
4.      Nilai-nilai keibuan (motherhood), nilai keluarga ideal dan potensi pernikahan yang harmonis hanya dimiliki dengan baik oleh para ibu rumah tangga, bukan wanita karir.
5.      Wanita karir selalu mengancam harmonitas termasuk mengancam rumah tangga orang lain karena kehadirannya sering menggoda laki-laki beristri.
6.      Wanita sering digambarkan sebagai mahluk tertindas, tak berdaya, labil, lemah, sangat narsistik (memuja kecantikan dan kemolekan tubuhnya), juga sangat materialistis dan naif karena senang sesuatu yang bersifat imitasi dan sensasi sesaat.
7.      Bila perempuan ingin sukses dan mandiri seperti laki-laki, perempuan tersebut haruslah maskulin baik fisik maupun mental dan tidak menikah.

Perlawanan terhadap hal ini secara umum, bukan hanya di Hollywood, telah melahirkan Teori Film Feminis. Barbara Creed, seorang tokoh teori film feminis, menyatakan bahwa citra dan peran perempuan dalam film adalah citra yang telah diciptakan laki-laki. Citra perempuan misalnya diterangkan secara teknis oleh Creed sebagai “Tatapan Laki-laki” (male gaze) yang cenderung merendahkan perempuan. Padahal, pada kenyataan empirik seringkali sudut pandang itu tidaklah se-ekstrem yang digambarkan, sebagai perbandingan Creed memberi contoh sudut-sudut pengambilan oleh sutradara perempuan cenderung berlainan dengan tatapan laki-laki, yang disebut sebagai “tatapan perempuan” (female gaze).

Kajian ini juga bisa mengambil perbandingan dari para analisis Modleski terhadap film-film Alfred Hitchock. Menurut Modleski didalam film-filmnya, secara sadar atau tidak sadar Hitchock telah menggambarkan bahwa adalah seorang perempuan yang pandai. Namun pada akhir film, Hitchock mengakhiri gambaran perempuan ini yang pada akhirnya meninggal. Sehingga Modleski mengambil kesimpulan bahwa, perempuan yang tahu terlalu banyak atau perempuan yang pandai, dia akan dibunuh. Dibunuh oleh masyarakat, atau oleh struktur patriarki yang tidak menginginkan adanya perempuan yang melebihi kepandaian laki-laki. Sementara itu pada bukunya, The Mounstrous Feminine, Barbara Creed menyatakan bahwa perempuan dengan seksualitasnya, digambarkan sebagai monster yang menakutkan, yang siap memusnahkan laki-laki. Creed menganalisa lewat psikoanalisa bahwa para pembuat film-film yang dikaji oleh Creed, telah secara sadar menggambarkan alat kelamin perempuan, demikian pula seksualitas perempuan, sebagai kekuatan jahat yang siap memusnahkan laki-laki.

Pandangan-pandangan diatas mungkin dapat dicocokkan dengan pandangan Simone de Beauvoir yang menyebutkan perempuan adalah mahluk yang lain (the other), the second sex. Maksud Beauvoir adalah bahwa kaum laki-laki sebagai agen dunia merupakan pandangan dominan. Dalam perspektif agen laki-laki inilah, perempuan selalu digambarkan sebagai yang lain. Kaum laki-laki memandang kaum perempuan sebagai yang lain dari kaum laki-laki itu sendiri. Oleh sebab itu, perempuan merupakan komunitas yang hampir dalam segala hal tersisihkan, berada dalam garis periferal kehidupan dan melalui cara-cara dan proses yang sangat eufimistis, bahkan terang-terangan mereka adalah kaum tertindas.



Pada kajian tulisan ini, pandangan tersebut dapat menerangkan fenomena citra dan peran perempuan tadi diatas, bahwa pandangan tentang perempuan termasuk tentang seksualitas perempuan memang selalu lewat sudut pandang laki-laki. Ukuran kecantikan atau syarat-syarat tubuh yang terbilang sensual dalam film adalah ditentukan lewat sudut pandang laki-laki, termasuk mengapa Hollywood seakan-akan memilih Demi Moore atau Sharon Stone menjadi ukuran sensualitas perempuan, yang sebenarnya pandangan yang dilekatkan ke mereka tersebut diukur melalui kacamata laki-laki. Menariknya, para perempuan pun serta merta ikut pula mengikuti norma atau ukuran sensualitas ini, yang sebenarnya sangat bias dan penuh distorsi. Apa yang terjadi misalnya, pada Susan Sarandon, seorang aktris kawakan Hollywood dengan kualitas akting yang baik (nomor satu), sangat dikenal sebagai perempuan berpayudara terindah di dunia. Sedangkan aktirs Cher, pemenang Academy Award untuk aktris terbaik lewat film Moonstruck, terkenal sebagai pemilik pusar terindah di dunia. Melihat hal ini, muncul pertanyaan paradoksal: sebenarnya perempuan lebih senang manakah, dipuji karena kecantikan dan keindahan tubuhnya atau dipuji karena kepandaian atau kepintarannya?

Simone de Beauvoir memberi jalan keluar bahwa untuk mengatasi keadaan ini perempuan harus melakukan tiga hal, yakni:
1.      Mandiri dalam bekerja.
2.      Perempuan lebih menggunakan intelektualitasnya.
3.      Perempuan harus melakukan tindakan sosiologis dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Dikaitkan dengan citra dan peran perempuan dalam film, pendapat Beauvoir menyiratkan, bahwa perempuan yang harus mandiri dan berbuat didalam film dengan bekerja menjadi sineas atau sutradara yang lebih menggunakan intelektualitasnya serta harus pula menyesuaikan dan terintegrasi secara sosial dengan masyarakat. Sehingga untuk dapat memperbaiki citra dan peran perempuan dalam film, diharapkan semakin banyak sutradara wanita yang cerdas serta dapat diterima oleh masyarakat penonton film. Ini penting untuk disadari oleh para perempuan, bahwa menurut katalog festival film perempuan internasional tahun 1987 di Paris, “film perempuan persentasenya kecil saja, paling tinggi hanya 5%, bila dibandingkan dengan apa yang bisa dihasilkan oleh setiap kebudayaan”.


Kapitalisme Industri Film dan Pengaruhnya Terhadap Citra dan Peran Perempuan dalam Film.

Pandangan kapitalisme dalam industri film sangat menyudutkan perempuan. Agar tetap dapat bersaing dengan dunia televisi dan survive, film Hollywood mengandalkan sajian sex and violence. Sajian sex tentunya sangat jelas terlihat dengan menampilkan sensualitas dan erotisme perempuan. Sedangkan dalam film-film action, yang memang lebih menyuguhkan kekerasan (violence), menempatkan peran perempuan hanya sebagai pelengkap atau bahkan sebagai karakter yang tertindas dalam budaya kekerasan.

Ukuran sukses tidaknya suatu film seringkali ditentukan melalui ukuran masuk tidaknya film dalam daftar film box office yang semata-mata bertujuan komersial, membuat daftar panjang persoalan dalam citra dan peran perempuan dalam film Hollywood. Tidak adanya film-film yang disutradarai oleh perempuan masuk kedalam daftar film box office, menyebabkan tidak pernahnya sutradara perempuan diberi kesempatan yang lebih luas untuk dapat memproduksi film dengan leluasa, baik dari segi tematik, teknis ataupun biaya, terutama pada film-film yang memiliki biaya tinggi. Film-film yang memiliki anggaran tinggi, masih didominasi oleh sutradara laki-laki. Sedangkan film-film yang disutradarai oleh perempuan, yang berisi tema perempuan, lewat sudut pandang perempuan, feminis, dengan ritme dan emosi perempuan, pada kenyataannya sangatlah terbukti tidak disukai oleh pasar.

Dalam ukuran honor dari bintang utama perempuan juga terbukti ditentukan oleh pasar yang sangat dipengaruhi oleh sudut pandang laki-laki, bukan dari ukuran kualitas dari sang bintang tersebut. Misalnya dapat dilihat bintang perempuan termahal di Hollywood yang sempat disandang oleh Demi Moore dalam film Striptease dan juga Sharon Stone dalam film Diaboluque. Sedangkan bintang perempuan yang memiliki kualitas yahud, seperti Meryl Streep, Susan Sharandon, Jodie Foster, Emma Thompson, Debra Winger atau Jessica Lange hanya mendapat bayaran paling banyak sepertiganya (menurut catatan hal ini terjadi di tahun 1995).

Sehingga benarkah pandangan Oliver Wendell Homes tentang keadaan dunia komunikasi dalam paham Libertian Kapitalis, bahwa pengujian terbaik terhadap kebenaran adalah kekuatan pikiran yang bisa diterima dalam persaingan pasar.

Untuk ukuran apresiasi, Academy of Motion Pictures Art and Sciences, yang anggotanya mayoritas pria dan pemilihannya menggunakan sistem voting, belum pernah ada menganugerahkan Piala Oscar buat film terbaik karya sutradara perempuan atau Piala Oscar untuk sutradara terbaik kepada sutradara perempuan, paling tinggi hanyalah sebatas penulis skenario terbaik atau penata artistik terbaik. Lucunya pada pemilihan Piala Oscar yang pernah terjadi adalah sutradara Barbara Streisand yang sangat dijagokan lewat filmnya yang berjudul Prince of Tides, tidak masuk nominasi sutradara terbaik, padahal filmnya masuk nominasi film terbaik!

Ternyata didalam sistem industri kapitalis, perempuan belum dapat memperoleh kesempatan yang utuh dan luas sekalipun itu di dunia Barat yang dikenal sangat demokratis. Walaupun tindakan individu, misalnya dalam hal inovasi, sangat dibutuhkan dan diperlukan untuk mempertahakan eksistensi dan hegemoni masyarakat kapitalis tetapi tindakan individu itu sendiri, baik laki-laki dan perempuan, bila ingin tindakannya diterima masyarakat, tindakannya haruslah sesuai dengan norma masyarakat kapitalis tersebut, yang di Hollywood masih didominasi oleh kaum laki-laki. Michael Fouchault manyatakan bahwa dalam masyarakat yang semakin menekankan keistimewaan individu dan nilai-nilai subyek, ternyata individu itu muncul pertama-tama bukan sebagai subyek yang bebas dan otonom, melainkan sebagai produk dari suatu rekayasa kekuasaan. Pemikiran Fouchault bisa menjelaskan mengapa ekspresi sinema yang personal dari individu, baik laki-laki ataupun perempuan, bisa tertelan dalam kebudayaan massa yang sangat mementingkan sisi komersial dan popularitas. Bila ingin eksis di Hollywood, kaidah-kaidah Hollywood dalam aspek produksi, teknis dan estetik, harus menjadi pegangan seorang sutradara dalam berkarya. Inovasi-inovasi yang bisa diterima adalah inovasi yang sesuai dan diterima oleh pasar. Belum lagi, seperti kata Regis Debray, dalam era videosfer atau rezim visual, gaya atribusi yang penuh sensasi dan spektakuler serta sesuatu yang virtual adalah suatu kelaziman. Sensasi citra dan peran perempuan salah satunya yang menjadi agen dan representasi didunia film untuk membuat laku produknya dari apa yang disiratkan oleh pendapat Debray. Sensasi rambut Demi Moore dalam film Ghost, sensasi payudara Susan Sharandon dalam White Palace atau sensasi celana dalam Sharon Stone lewat film Basic Instinct, yang membuat film tersebut laku keras, membuktikan hal ini.

Individu-individu, termasuk perempuan, hanya diberikan pada pilihan kompromi, menyesuaikan diri bahkan tunduk pada kepentingan pasar. Atau bila mementingkan ekspresi personalnya para sutradara tersebut harus membuat film low budget atau memilih keluar dari Hollywood yang kemudian biasanya bergabung dengan gerakan sinema independen, termasuk sinema independen feminis.



PEMBAHASAN


Citra dan peran perempuan dalam film Hollywood karya dari sutradara perempuan merupakan sebuah pembuktian untuk menjawab kepuasan dari keinginan perempuan atas persoalan tersebut, sehingga menjadikannya lebih kearah positif terhadap perempuan dalam film Hollywood itu sendiri. Rambling Rose dan film Angie karya dari sutradara Martha Coolidge mampu memperlihatkan bahwa kemandirian adalah satu-satunya jalan yang membuat perempuan bisa tetap tegar menghadapi segala persoalan. Namun tokoh perempuan yang ditampilkannya adalah perempuan biasa yang dalam kehidupan normal sebenarnya juga memerlukan kehadiran seorang laki-laki, sebuah ungkapan yang jujur dan rendah hati dari seorang sineas perempuan. Karya-karya dari Barbara Streisand juga memperlihatkan kebesaran hati perempuan. Dalam film Yentl, Barbara mengungkapkan determinasi seorang perempuan walaupun harus menyamar menjadi seorang laki-laki agar ia dapat diakui bakatnya. Sedangkan dalam Prince of Tides, tokoh yang ditampilkannya adalah perempuan karir dengan besar hati merelakan kekasihnya kembali kepada isterinya dan memahami persoalan dengan pikiran yang dewasa (matang) dan rasional, bukan malah bertindak merebut laki-laki yang sudah memiliki isteri tadi.

Karya Randa Haines, dalam Children of A Lesser God, mampu memperlihatkan kemauan keras tokoh perempuannya yang tuna rungu yang ingin memperlihatkan bahwa eksistensi dirinya tidak terganggu dengan kecacatannya malah mungkin menimbulkan simpati dan rasa hormat. Pada film Little Man Tate karya dari Jodie Foster, tokoh utamanya yang seorang ibu tanpa suami (single parent) dan tidak cantik, walaupun perokok dan seorang pelayan bar, tetap diperlihatkan bagaiman tokoh tersebut menyayangi anaknya, yang buat dia adalah segala-galanya. Sekali lagi sebuah ungkapan kejujuran, dari orang-orang yang biasa. Sedangkan yang sangat menonjol mungkin bisa terlihat pada Little Woman karya Gillian Amstrong, dimana diperlihatkan bahwa setiap perempuan mempunyai tujuan dari hidupnya, dan setiap perempuan bisa mencapai apa yang dicita-citakannya bila perempuan tersebut memiliki kemauan yang keras, pantang menyerah, tegar, mandiri dan bersedia bekerja keras. Namun perempuan tersebut adalah tetap dengan perempuan yang feminin, yang juga membutuhkan cinta dan kasih sayang dari seorang laki-laki.

Secara umum dari persoalan yang dihadirkan didalam film, maka sutradara perempuan tidak melepas dari apa yang dirasakan oleh perempuan itu sendiri, ungkapan kejujuran dalam bertutur didalam film mereka menjadi seperti pedoman bagi mereka. Para sutradara perempuan ini malah menampilkan para karakter tokohnya adalah perempuan yang bersahaja, bukan perempuan “super” yang ditampilkan didalam film, baik dari segi kecantikan, intelektual, kejiwaan ataupun dari segi materi. Tokoh-tokoh yang hadir justru sangat membumi, utuh dan seimbang, baik kekuatan dan kelemhan yang dimilikinya.

Benar apa yang dikemukakan oleh Dorothy Smith, bahwa mengungkapkan tentang perempuan adalah lebih baik melalui sudut pandang perempuan itu sendiri. Sehingga cara terbaik untuk dapat menampilkan citra dan peran perempuan secara positif dan utuh memang melalui karya film dari seorang sutradara perempuan. Dimana perempuan sebagai sebuah karya film tentunya harus mampu bersaing dalam pasar. Film-film karya sutradara perempuan seringkali kedodoran dan kurang laku yang disebabkan cara bertutur mereka yang naratifnya penuh dengan keterlibatan emosi langsung sutradara, bukan karena tatanan naratif buah dari tuntutan dari cerita, sehingga menjadikan film sutradara perempuan ini lamban, ritmenya penuh dengan kejiwaan perempuan. Karakter tokoh, tema dan juga plot yang seringkali dihadirkan sangat amat bersahaja.

Hal yang berbeda dari sutradara Jane Champion dalam film The Piano kiranya menjadi alternatif film karya sutradara perempuan, dimana dapat dikatakan kehadiran The Piano merupakan kemampuan Jane Champion dalam mengawinkan antara estetika personal seorang perempuan dengan pendekatan psikologis penonton. Sehingga film ini selain bagus juga mendapat apresiasi yang baik dari para penontonnya –pasar. Namun bisa jadi juga hal yang demikian dapat menimbulkan kesan maskulin didalam film.

Hal yang menarik juga terjadi pada sektor produksi film, dapatlah melihat dengan apa yang terjadi pada Winona Rider dan juga Jodie Foster. Ketika ditawari sebuah peran oleh seorang produser, Winona Rider dalam film Little Woman, secara sadar memilih sutradara Gillian Amstrong untuk menggarapnya yang dikenal sebagai sutradara yang konsisten dan terkenal dengan pendekatan feminisnya. Sedangkan Jodie Foster, yang memiliki perusahaan film Egg Pictures, berhasil membujuk sejumlah produser besar Hollywood untuk membiayai film-film yang diproduksinya dengan pendekatan konsep film low budget dan sangat mementingkan kepentingan personal dengan tidak mengabaikan persoalan komersil filmnya. Meskipun apa yang dilakukan Foster merupakan sebuah kontradiksi, seperti yang terjadi pada film Nell yang diproduksinya, dimana dirinya –Jodie Foster- sebagai bintang filmnya adalah hal dipertaruhkan dalam pasar sebagai nilai komersil film, bukan filmnya yang pada umumnya adalah nilai komersil film.

  

 PENUTUP

Individu laki-laki sebagai sineas yang berbeda dengan perempuan bila kita pikir menurut teori Max Weber akan mempengaruhi pandangannya terhadap perempua. Apalagi bila individu laki-laki adalah mayoritas dalam suatu masyarakat, seperti didalam masyarakat film, subyektifitasnya sebagai individu laki-laki akan mempengaruhi tindakan sosialnya didalam memandang perempuan. Di Hollywood, citra dan peran perempuan dalam film yang disutradarai oleh sineas laki-laki pada kenyataannya memang dan telah menjadi penggambaran perempuan, meski hal tersebut untuk sesuatu yang paling ideal, tetap dari sudut pandang laki-laki. Teori film feminis pun mampu membuktikan adanya distorsi tentang penggambaran perempuan karena citra dari perempuan didalam sinema merupakan hal yang diciptakan melalui sudut pandang laki-laki!

Kenyataannya bahwa masyarakat film di Hollywood merupakan masyarakat industri kapitalis yang ternyata semakin menyudutkan penggambaran citra dan peran perempuan. Sajian sensualitas dan eksotisme ketidak-berdayaan dalam kemasan sex dan violence menjadi andalan Hollywood dalam konstelasi persaingan pasar yang mengutamakan nilai komersial dan popularitas. Sineas perempuan yang lebih jujur dan personal didalam menggambarkan perempuan, tak berdaya karena film-filmnya masih kurang disukai pasar. Apalagi fakta bahwa perempuan minoritas dalam Hollywood tidak saja merugikan sineas perempuan dalam kesempatan teknis dan produksi film saja, tetapi juga tidak memberikan kesempatan sutradara perempuan mendapat apresiasi dari Academy of Motion Pictures Art and Sciences, yang notabenenya adalah masyarakat mayoritas laki-laki. Walaupun belum dapat dipercayanya perempuan untuk mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki, terdapat juga faktor ketidak-mempuan sutradara perempuan itu sendiri dalam membuat film yang disukai oleh penonton.

Meskipun film-film perempuan yang dibuat oleh sutradara perempuan mesih sedikit jumlah serta masih pada tingkat film low budget –yang diragukan nilai komersialitasnya-, citra dan peran perempuan memang lebih baik digambarkan melalui sudut pandang sineas perempuan itu sendiri. Namun sineas perempuan masih harus membuktikan bahwa citra dan peran perempuan yang digambarkan melalui film-filmnya, kebanyakan tentang perempuan yang bersahaja, sehingga lebih menarik dari citra dan penggambaran perempuan melalui sudut pandang sineas laki-laki yang penuh distorsi. Atau memang citra dan penggambaran tentang perempuan, terutama sensualitas perempuan, yang penuh dengan distorsi tersebut yang justru yang menjadikan penonton menyukai citra dan penggambaran perempuan melalui sudut pandang laki-laki.

Perempuan menjadi sebuah paradoks, semakin bermasalah ia akan semakin mendapat perhatian. Seperti pada pandanagn Woody Allen dalam film-filmnya, perempuan menarik justru karena kelemahannya. Menjadikan hal tersebut semacam tagline bagi kaum perempuan untuk memperbaiki hal itu semua. Perempuan itu sendirilah yang harus berbuat. Bagaimana perempuan harus mampu memperlihatkan kemandiriannya, serta menghadirkan intelektualitasnya, seperti pendapat Simone de Beauvoir. Perempuan tidak boleh menunggu kemurahan hati atau bahkan sangat tergantung pada masyarakat laki-laki. Sehingga perbaikan terhadap citra dan peran perempuan dalam film benar-benar tergantung pada eksistensi para sineas perempuan yang ada, dengan catatan perempuan harus mampu melakukan apa yang dituntut oleh penonton –pasar film- untuk terbukti lebih kreatif dan inovatif, bahkan karya filmnya mampu untuk masuk kedalam daftar box office.

Mungkin hal yang harus mampu dijawab oleh perempuan, yang merupakan sebuah pertanyaan paradoksal, sebenarnya perempuan lebih memilih senang dipuji karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya atau dipuji karena intelektualitasnya?

Jawaban yang tentunya menempatkan perempuan dalam posisi menggoyahkan perempuan itu sendiri dalam kontek persoalan citra dan peran perempuan ddialam film Hollywood. Jika pendekatan sensualitas merupakan jawaban perempuan, maka hal tersebut sesuai dengan apa yang terjadi selama ini, bahwa penggambaran perempuan sudah benar dengan menggambarkan perempuan melalui sudut pandang laki-laki, bahkan penilaian tersebut memang benar-benar disukai oleh perempuan itu sendiri.



 DAFTAR PUSTAKA

Bordwell, David. Narration in the Fiction Film, The University of Winsconsin Press, 1985.

Fakih, Dr. Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta.

Jurnal Perempuan. Rubrik Jurnal Perempuan no. 03

Ritzer, George and Douiglas J. Goodman. Teori Sosiologi, Kreasi Wacana, 2008.


Komentar