TEORI FILM CHRISTIAN METZ - SEMIOTIKA DALAM SINEMATOGRAFI

“TEORI FILM” CHRISTIAN METZ

Oleh
Tanete Pong Masak

Seminar Semiotika diadakan oleh Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (LPUI) bekerjasama dengan Lingkaran Peminat Semiotika
21-22 Desember 1992

-------------------------------------------------------------------------------


Meskipun ada usaha lain diluar pemikiran kontinental tentang semiotika film, tidak dapat disangkal bahwa Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes ou Sciences Sociales (EHESS) Paris merupakan figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi sampai sekarang ini. Oleh karena itu, untuk menyederhanakannya kita akan berangkat dari pendekatan Christian Metz tentang “Teori Film” (Theorie du Film). Teori film yang pada awalnya, dipelopori secara serius oleh Ricciotto Canudo (1879-1923), yang disusul kemudian oleh para teoritikus seperti Louis Delluc, Jean Epstein, Germain Dulac, aliran Uni Soviet seperti Eisenstein, Koulechov, Pudovkin dll.

Sumbangan Metz dalam Teori Film adalah usaha untuk menggunakan, baik peralatan Konseptual Linguistik Struktural untuk meninjau kembali Teori Film yang sudah ada, baik yang dalam tahun 1960 membawa kita pada Semiologi Klasik, maupun konsep teoritis Psikoanalisa Freudian-Lacanian untuk generasi kedua Semiologi Sinema pada tahun 1970-an. Dengan kata lain Semiologi Metz yang dianggap jauh lebih “cermat” dari teori/analisa film sebelum dia ini tidaklah berangkat dari yang baru sama sekali.


A.      Sinema Sebagai “Language” dan Bukan “Langue

Pada artikel pertama Metz tentang semiologi sinema “Le Cinema : Language ou Langage?” (yang terbit bersama dua artikel Roland Barthes : Rhetorique de L’image (Retorika Gambar), dan Elements de la Semiologie (Elemen Semiologi)) dalam majalah Communications, No.4, 1964, berkat oposisi konsep langue (bahasa manusia : Bahasa Perancis, Bahasa Inggris dll) dan langage (bahasa pada tingkat umum : bahasa binatang, tanda lalu-lintas, dll), Christian Metz sampai pada kesimpulan bahwa sinema itu dapat dikelompokkan pada “langage” atau diskursus dan bukan pada “langue”.[1] Karena sinema tidak memiliki padanan “artikulasi ganda” (double articulation) menurut teori linguistik Andre Martinet.[2] Artinya sinema tidak memiliki padanan “Fonem” sebagai kesatuan bunyi terkecil –la deuxieme articulation (artikulasi kedua)– yang digabungkan menjadi “morfem” atau “monem” : kesatuan makna terkecil (la premiere articulation (artikulasi pertama)). Sebagai ilustrasi dapat kita berikan contoh Signifiant (Sa), yang menandai, “Kuda” yang terdiri dari empat fonem (K) + (u) + (d) + (a) yang morfemnya adalah /kuda/, dalam sinematografi dapat diungkapkan dengan gambar kuda, apakah itu close up shot. Medium shot, dll; hal yang tidak dapat dianggap equivalen dari morfem /kuda/. Metz berkesimpulan bahwa sebuah shot lebih dekat dengan kalimat dari pada kata. Dia memberikan contoh dengan seseorang yang berjalan di jalanan, hal yang seimbang dengan kalimat “seorang berjalan di jalanan” suatu equivalensi yang dijelaskannya sebagai suatu yang aproximatif saja.[3]

Bahwa Metz sampai mempermasalahkan hubungan “kata” dan “gambar”, hal itu merupakan tanggapannya, terhadap kalangan teoritikus/sineas (1925-1930an) seperti Pudovkin, Dziga Vertov, Koulechov, Bela Balasz, Robert Arnheim, Abel Gance dll, yang berpendapat bahwa sinema harus dimanipulir seperti bahasa manusia dengan menggunakan montase semaksimal mungkin, yang dalam tulisan Metz disebut teori Montage – roi (montase raja), ide yang tercantum dalam konsep Dziga Vertov : “sine-kalimat dan sine-bahasa.[4]

Perlu ditambahkan bahwa kritik terhadap teori Montage – roi ini sudah dimulai tahun 50-an, utamanya oleh sineas Neo-Realisme Italia seperti Rosselini, maupun oleh teoritikus Perancis Andre Bazin serta para kritisi dari majalah film tersohor Les Cahiers du Cinema.


B.      Tanda Sinematografis[5]

Berbeda dengan permasalahan “tanda” (signe) linguistik dimana hubungan yang bersifat arbitrer (semu) antara signe (demikian pula antara signifiant dan signifie) dengan “benda” (choses), “yang menandai” (signifiant) sinematografis memiliki hubungan “motivasi” atau “beralasan” (motivation) dengan signifie hal yang nampak jelas melalui hubungan signifiant dengan alam yang dirujuk. Signifie sinematografis selalu kurang lebih, kata Christian Metz, “beralasan” (motive) dan tidak pernah “semu” (arbitraire).

Hubungan motivasi itu berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif. Hubungan denotatif yang beralasan itu lazim disebut analogi, karena memiliki persamaan perseptif atau auditif signifiant (signifie) dan referen. Dalam hal ini Christian Metz memberi contoh : bila pada pita gambar (=gambar anjing menyerupai seekor anjing), demikian pula dengan pita suara (=kanon dalam sebuah film menyerupai bunyi yang sebenarnya). Perlu diketahui bahwa analogi ini hanyalah salah satu bentuk dari motivasi. Karena konotasi sinematografis juga termasuk didalamnya. Meskipun analogi perseptif/auditif bukanlah prasyarat keberadaannya. Dan dalam hal ini Metz menggaris-bawahi tesis tentang polisemi motivasi dari Eric Buyssens dengan mengatakan bahwa “konotasi sinematografis pada hematnya bersifat simbolis : signifie memotivasir signifiant, tetapi melampauinya.

Untuk menjelaskan model teoritis ini kita ambil sebagai contoh, roti dalam film “Cinta dalam sepotong Roti” karya dari Garin Nugroho. Berkat kode analogi perseptif, kita menyaksikan pada awal film close up roti (sandwich) yang dipoles srikaya. Shot semacam ini selalu kembali dalam film diiringi dengan musik mekanik yang bernada romantis. Dalam kaitannya dengan diegesis dimana Mayang terjepit diantara dua lelaki (Haris, suaminya dan Topan: pacarnya) kita dapat sampai pada tingkat pemaknaan konotatif yang bersifat simbolis yakni roti sebagai simbol cinta, simbol yang tentunya berasal dari kebudayaan Barat/Timur Tengah yang umumnya berkonotasi religius atau kekeluargaan. Sebaliknya dalam film ini, metafora Garin Nugroho lebih bersifat sensual/erotis, dan kalau kita kembali pada konotasi sinematografis dimana signifie selalu melampaui signifiant, maka cinta pada hematnya melampaui roti denotatif.

Kalau kita lebih jauh lagi kedalam permasalahan Teori Film, permasalahan kode analogi perseptif/auditif ini sebenarnya merupakan salah satu permasalahan inti teori seni; dengan kata lain sejak adanya teori mimesis yang melihat peniruan alam realitas sebagai tugas utama seni, hal yang semakin menjadi-jadi dengan roh positivisme yang menguasai Ilmu Pengetahuan pada abad XIX. Bila seni lukis kemudian sastra mulai mempertanyakan “Setan Analogi” sejak awal abad XX –seni lukis abstrak justru menjauhinya– sinema yang merupakan cabang seni termuda, melalui teoritikus/kritikus kenamaan Perancis Andre Bazin (1918-1958), analogi perseptif atau naturalisme visual ini kemudian dijadikan landasan utama teori filmnya tentang realisme sinematografis : film merupakan kopi tentang realitas.

Dalam konteks inilah semiologi sinema yang dikembangkan Christian Metz cs, muncul dengan pemikiran baru berkat bantuan Linguistik dengan mengatakan bahwa sinema itu bukanlah “kopi realitas”, melainkan kumpulan sistem tanda audio-visual, konsep yang tentunya memberikan kemungkinan kepada kita untuk menata pemahaman yang lebih ilmiah tentang seluruh fenomena estetika film. Dan dengan bantuan psikologi/psikoanalisa, semiologi sinema –berkat perbandingan film dengan mimpi– Metz menegaskan bahwa sebuah film bagi penontonnya hanyalah “ilusi tentang realitas” yang mungkin lebih tepat disebut “impresi tentang realitas”.[6] Hal yang sebenarnya sudah dirintis oleh para pendiri Institut de Filmologie yang didirikan (1947-1962) di Universitas Sorbornne. Dalam hal ini Pierre Francastel antara lain menulis dalam Revue Internationale de Filmologie pada tahun 1948 : “Dengan medan-medannya yang beragam akan tetapi tetap bersifat terbatas, dengan lompatan dang pengulangannya, kamera monokuler merupakan sistem perekaman yang sifatnya seartifisial dengan sistem-sistem lain”.[7] Kita semakin sadar akan sikap semiotika sinema dari Metz yang searah dengan kegelisahan Post Modernisme, setelah membaca dan menyadari cara Christian Metz mempermasalahkan realisme fundamental dari “sinema baru” (cinema nouveau) dengan kepercayaan pendekatan yang lebih langsung pada “yang nyata” (le reel), semacam “realisme fondamental” atau “obyektivitas”. Untuk itu orang terlebih dahulu harus menghindari ketidak-jelasan. Apabila yang dimaksudkan adalah kekuasaan kosmofanis, kemampuan untuk revelasi, yang dimiliki sinema sejak awal tetapi yang secara tahap pertahap masuk kedalam dunia kesadaran, hal itu hanyalah pengulangan kembali suatu mitologi, yang menyembunyikan dibalik pakaian usang fenomenologi suatu realisme esensialis; tulisan yang jelas-jelas menyerang Andre Bazin dan Roger Munier.

Melawan konsep “obyektifitas” dan “pengadaan” (Mise en presence) dari teori realisme, Christian Metz menulis: “sebuah film tidak pernah obyektif, dia selalu berkaitan dengan pandangan, “pengadaan” tidak akan pernah mampu melenyapkan “penyutradaraan”, dia hanya merupakan salah satu bentuk lainnya”.[8] Dalam kaitan ini pula Christian Metz menyerang “optimisme yang keterlaluan”, adaptasi Perancis melalui Jean Rouch dan Edgar Morin pada tahun 1950-an dari teori Kino-Pravda yang dikembangkan Dziga Vertov di Uni Soviet (lihat diatas) – tentang kemampuan kamera menangkap realitas obyektif.[9]


C.      Sintaksis dan “Sintagmatis Besar”

Merujuk pada oposisi Louis Hjelmlev “paradigmatis” atau “syntagmatis” –yang dalam konteks Saussure dapat dikaitkan baik dengan oposisi “hubungan in absentia” atau “hubungan assosiatif” atau “hubungan in presentia” atau “hubungan syntagmatis”, maupun dengan oposisi “langue/parole– dimensi sintagmatis, dalam sinema, nampak lebih penting dari dimensi paradigmatis. Karena yang terakhir ini nampak sangat terbuka; kamera dapat merekam apa saja yang terletak didepannya : profilmique, menurut istilah Etienne Sourieau. Jauh lebih terbuka dari inventarisasi linguistik yang paling terbuka pun. Dengan demikian selalu dapat dilampaui bila dibandingkan dengan aspek sintagmatis seperti montase. Menurut Metz, yang selalu sangat diutamakan adalah isi tiap “motif” yang difilmkan (dalam oposisi dengan shot sebagai hasil shooting). Seni mulai pada tingkat ini, yang berlangsung terus pada tingkat sekwens dan shot-shot yang diatur; pada saat inilah langage sinematografis dimulai.[10]

Malah para sineas besar berusaha menghindari paradigmatis seperti oposisi koboi berpakaian putih (hero) atau koboi berpakaian hitam (penjahat), oposisi yang berlangsung dalam suatu kurun tertentu dalam Sejarah Sinema Amerika.

Dan bilamana sistem oposisi itu dapat dikomutasikan, hal itu lebih dikelompokkan dalam sintaksis, artinya dalam pengertian Saussurian “sintaksis, hanyalah atau dari simensi sintagmatis”.[11] Dengan demikian kita juga tidak dapat terlepas dari sistem oposisi paradigmatis atau sintagmatis seperti yang tampak umpamanya dalam banyak gerakan kamera seperti traveling forward atau traveling backward, yang berkaitan dengan dua tujuan pandangan, dengan obyek yang dipandang, yang menjadi patokan menjauh atau mendekatnya kamera.[12] Hal yang dapat membawa kita pada pengertian, pengertian menurut Christian Metz, pada gramatika sinematografis dalam arti yang sesungguhnya.[13]

Dalam kaitan sintaksis sinematografis inilah, dilihat dalam oposisi paradigmatis/sintagmatis Christian Metz mengusulkan suatu model klasifikasi sintakmatis yang disebutnya la grande syntagmatique,[14] “sintagmatis besar, yang merupakan deskripsi tentang diskursus naratif dalam bahasa sinematik. Dari sebuah paradigma yang terdiri dari delapan kategori sintekmatis (lihat – gambar struktur kategori tersebut). Model la grande syntagmatique ini merupakan dikotomi beruntun yang didasarkan pada kriteria logika dengan sistem oposisi binair.

Kategori “shot autonom” (plans autonomes) pada no. 1 sangat luas. Dia dapat muncul juga dalam bentuk sequence – shot (plan-sequence) yakni sebuah sekwens yang terbentuk hanya oleh sebuah shot panjang.

Sedangkan syntagma (urutan shot) terbagi dua, atas kriteria ada tidaknya kronologi. Yang jelas dalam dikotomi Christian Metz, ciri kronologis (urutan waktu) ini sangat dominan (terdiri dari 4 bagian) dalam sistem oposisi diegetis bila dibandingkan dengan peranan paralelisme spesial seperti yang ditemukan dalam “system a-kronologis”yang ditemukan dalam “system a-kronologis” (syntagma a-chronologique) yang terdiri dari “syntagma paralel” (syntagma parallel) no. 2, yang dalam montase biasa disebut “sekwens editing paralel” – dan “syntagma kurung kurawal” (syntagma en accolade).

No. 3, untuk tipe I, Christian Metz memberi contoh shot-shot scene kehidupan “orang kaya” atau “orang miskin”, dimana oposisi pemilikan harta “kaya” atau “miskin” menjadi tema sentral, gambar-gambar ketenangan/kericuhan yang memunculkan oposisi tematis psiko-sosio-fenomenologis, muncul secara silih berganti (A-B-A-B). “Syntagma kurung kurawal”, merupakan syntagma yang pada hakekatnya berfungsi seperti kurung kurawal terhadap kata-kata yang diapitnya. Gambar-gambar yang muncul secara bergilir sering dihubungkan dengan efek optis (dissolve, wipe, dll).

Adapun syntagma kronologis yang pada gilirannya terbagi dua lagi kedalam ide denotatif tentang simultanitas yang terkandung dalam “syntagma deskriptif” (syntagma descriptif) no. 4, dan denotasi tentang suksesi, yakni syntagma naratif, yang merupakan ide konsekutif dari diegesis. Adapun syntagma deskriptif ini tidak berkaitan dengan urutan naratif (waktu) melainkan deskripsi tentang co-eksistensi spesial. Salah satu contoh yang diberikan Christian Metz adalah deskripsi pemandangan : mula-mula sebuah pohon, kemudian bagian pohon, sebuah parit disampingnya lalu sebuah bukit dikejauhan, dll.

Sedangkan “syntagma naratif” itu sendiri terbagi dua lagi dalam “syntagma silih-berganti” (syntagma alterne) no. 5, yang sifatnya tidak linear, hal yang dikenal dalam praktek editing sebagai “montase silih berganti”/”paralel”/”sinkronis”. Contoh klasik : kesilih-bergantian gambar orang dikejar dan mengejar (A B A B) yang mengandung ide konsekutif (A1 à A2 atau B1 à B2) dan simultanitas (A1 --- B1 atau A2 --- B2).




Bila scene ini diwarnai kesatuan tempat, waktu dan tindakan, dimana signifiant terpecah-pecah, sedangkan signifie masih tetap utuh dan sinambung. Sebaliknya dalam “sekwens per episoda” dan “sekwen biasa” ditandai dengan ketidak-sinambungan atau diskontinuitas dalam linearitas waktu. Disebut “sekwen biasa” bila menyangkut diskontinuitas waktu yang tak teratur. Sedangkan “sekwens perepisoda” bila diskontinuitas itu sendiri ditata untuk menjadi prinsip konstruksi rasional sekwens.[15]


D.     “Tulisan Filmis” atau “Bahasa Sinematografis”

Bila Christian Metz berbicara tentang ecriture (tulisan), hal itu bertujuan untuk meluruskan pemakaian teori ecriture yang berkembang dalam pemikiran film sebelum dia. Dalam langage et cinema,[16] bab XI: cinema et ecriture, (sinema dan tulisan), dia mengeritik berbagai ketidak-tepatan tentang analogi sinema. Umpamanya dengan tulisan grafis, ataukah dua teori yang lebih dekat (waktu) dengan Metz sendiri, yakni teori camera-stylo,[17] (kamera-pulpen), dari Alexandre Astrec dan teori ecriture dari Roland Barthes.[18]

Usaha teoritis tentang ecriture dalam bidang Teori Film sebenarnya sudah muncul pada tahun 1920an pada penulis Perancis Louis Delluc dan Riciotto Canudo, ataukah pada tahun 1940-an pada Umberto Barbaro, juru bicara Neo-Realisme di Italia, dan Alexandre Astruc sendiri di Perancis. Teori camera-stylo yang merindukan penggunaan kamera sebebas mungkin seperti pulpen ditangan “sastrawan” (auteur) untuk “penulisan” (ecriture) karya film. Suatu teori yang kemudian menjadi salah satu landasan bagi kelompok les cahiers du cinema untuk memformulasikan teori film yang merupakan hubungan dialektik antara la politique des auteurs, (politik pengarang)[19] –yang di negara Anglo-Saxon kemudian disebut dengan auteur theory, dan yang bermaksud mempromosikan sineas beasr sebagai “auteur”, yakni : Jean Renoir, Rosselini, Hitchock, Hawks, Orson Welles dsb) pada satu pihak dan genre (Gangster, Western, Horror, dll) pada pihak lain.

Teori yang dikritik Metz sebagai sesuatu yang meskipun menarik, hanya tinggal pada permukaannya saja.

Sebaliknya teori sastra yang dikembangkan Roland Barthes dalam Le degre zero de l’ecriture, yang dianggapnya jauh lebih bermanfaat untuk mengembangkan ecriture dalam Teori Film. Bagi Roland Barthes, ecriture dilihat sebagai persatuan antara langue (dimensi historis yang umum bagi tubuh sosial) dan style (gaya) sebagai dimensi individual; dua konsep yang mengingatkan kita tentunya pada oposisi langue/parole dari Ferdinand de Saussure. Bila langue dan style itu bagi Roland Barthes hanyalah obyek, ecriture sebaliknya merupakan fungsi, yang berarti : hubungan antara kreasi dan masyarakat.[20]

Dalam kaitannya dengan dikotomi tersebut, Metz menunjukkan bahwa bahasa sinematografis (le langage cinematographique) itu pada hematnya mempunyai hubungan dialektik dengan style (sub kode atau sistim textual), hal yang tidak berarti bahwa dia dapat dibandingkan dengan langue, karena yang terakhir ini dipakai dan dibentuk oleh seluruh pembicara bahasa. Karena itu dalam konteks Barthesian, le langage cinematographique lebih memiliki titik persamaan dengan ecriture daripada langue. Karena para sineas, seperti para sastrawan (dan bukan penduduk keseluruhan) yang membuat ecriture bukanlah ciri utama langage cinematographique. Karena didalamnya terdapat pula hubungan interpretasi fungsional. Dan pada bagian kesimpulan dari buku Langage et Cinema, Christian Metz mendefinisikan ecriture, yang berada pada tingkat film sebagai “kumpulan berbagai sistem textual”[21], sedangkan langage cinematographique sebagai “kumpulan kode dan sub-kode sinematografis”.[22]

Dengan demikian, hubungan antara ecriture dan langage cinematographique dapat kita rumuskan sebagai berikut : l’ecriture dalam arti metaforis dan modern, hal yang berada pada tingkat film (bukan sinema) adalah pengolahan langage  cinematographique yang berupa kode dan sub-kode. Dengan kata lain, l’ecriture adalah pengolahan kode-kode dalam konstruksi kumpulan sistem textual. Sistem textual ini memobilisir dua kelompok besar kode dan sub-kode sinematografis (“kode” atau “kode umum” terdapat dalam seluruh film sedangankan “sub-kode” atau “kode khusus” hanya terdapat dalam film tertentu, seperti ciri khas suatu genre, suatu kurun, suatu aliran, atau suatu bangsa). Kode atau sub-kode sinematografis berhubungan, umpamanya dengan gerakan kamera : traveling, pan, pano-traveling, tilt, zoom in/out, dll, tanpa melupakan kode lainnya yang rada sinematografis seperti kode analogi visual dan kode fotografis pada hirarki frame : long shot, medium shot, close up shot, extreme close up shot dll.


E.      Les Signifiant Imaginaire

Bila penelitian Metz pada tahun 1960-an didominasi oleh teori linguistik, dalam tahun 1970-an, dia beralih ke pendekatan Psykoanalisis, yang dijelaskannya sebagai usaha untuk memahami meta-psikologi penonton. Hal yang tidak mengganggu semiologi klasik intern dari kode film.[23] Dengan demikian bagi Christian Metz, Linguistik dan Psykoanalisa merupakan dua sumber utama semiologi : Disiplin-Disiplin Ilmu yang Murni Semiotis.[24] Karena Linguistik membahas “Proses Primer”, sedangkan Psykoanalisa “Proses Sekunder”. Dua ilmu yang Simbolis (Sciences du Symbolique) yang berada pada tingkat super struktur. Dalam hal ini Metz membedakannya dengan ilmu-ilmu sosial yang secara tidak langsung menjadi infrastruktur semiotika sinematografis/filmis. Metz menulis “dalam studi sinematografis, seperti dalam bidang lainnya, semiologi (atau semiologi-semiologi) tidak dapat menggantikan berbagai macam disiplin yang membahas fakta sosial itu sendiri (sumber dari segala simbolisme), dengan hukum-hukumnya yang menentukan simbolisme, tanpa membaur dengan mereka : Sosiologi, Antropologi, Sejarah, Ekonomi, Politik, Demografi dll.[25]

Masuknya Psykoanalisa yang merupakan salah satu teori tentang subyek kedalam Semiologi Sinema/Film pada awal tahun 1970an, menurut J. Amount/Michele Marie[26] merupakan pengaruh langsung dari perkembangan pemikiran di Perancis saat itu, yaitu teori Ideologi dari Althusser dan para muridnya yang mencoba menghubungkan konsep marxis tentang ideologi pada mekanisme pembentukan subyek : subyektifitas yang dalam semiologi klasik tidak diberi tempat. Lagi pula, perkembangan Teori Psykoanalisa di Perancis saat itu didominasi oleh Lacan, yang mempertemukan Linguistik Saussurian dan Psykoanalisa Freudian. Dalam kalangan Ecole Freudianne, “Aliran Freud”, sebuah perkumpulan yang dibentuk Jacques Lacan, yang memang tertarik pada teori film. Dalam hal ini Jean-Louis Baudry yang pertama kali mengadakan perbandingan sistematis antara sinema sebagai pertunjukkan dan struktur subyek.[27] Jean-Louis Baudry seperti halnya Felix Guattari, Guy Resolato, dan lain-lain turut serta bersama Christian Metz menulis dalam majalah Communications : no. 23, yang membahas secara khusus hubungan Psykoanalisa dan sinema.

Psykoanalisa tentang sinema menurut Metz ada bermacam-macam. Mulai dengan pendekatan Nosografi, Neologisme Metz untuk penggabungan pendekatan biografi dan patologis, pendekatan yang tujuan utamanya adalah memahami aspek biografis ataukah patologis sineas, sedangkan film hanyalah gejala-gejala yang perlu di deteksi. Adapun “Psykoanalisa Skenario” (Psychanalyse du Scenario) sebaliknya merupakan analisis textual film (artinya tidak selalu dalam arti sempit skenario) skenario dibandingkan dengan mimpi. Dengan mengamati perbandingan antara skenario film dalam arti luas (sesungguhnya) yakni skenario definitif sesudah editing, dengan skenario awal, kita akan menemukan makna laten (bawah sadar dan pra sadar) yang tidak terdapat dalam salah satu diantaranya.

Sedangkan Psykoanalisa sistem textual merupakan analisis psikoanalisa tentang film yang berfungsi sebagai sistem textual: menggabungkan studi tentang skenario dan film sebagai signifiant, serta interpretasi antara keduanya. Contoh terbaik bagi Christian Metz untuk jenis Psykoanalisa sistem textual ini adalah Raymond Bellour[28] terhadap film North by North dari Hitchcock. Analisa dengan tema “Hambatan Simbolis” (Blocage Symbolique) yang diartikan Bellour sebagai gerakan pengakhiran film, yang secara simultan menjadi gerakan pembukaan film tersebut. Suatu proses yang merupakan simbolisasi, baik pada tingkat makro maupun mikro dari film tersebut. Fenomena efek sirkuler yang nampak sangat dominan dalam sinema Amerika. Seperti dalam novel abad XIX, terdapat suatu kesinambungan antara keseluruhan dan bagian-bagiannya : suatu organitas dari penutupan dan pencerminan, hal yang tak kelihatan dalam sinema yang lemah, kurang berstruktur, atau lebih modern.[29]

Bentuk terakhir dari pendekatan Psykoanalisa pada sinema adalah “Psikoanalisis yang menandai sinema” (Psychoanalyse du signifiant cinema) adalah pendekatan Psykoanalisa pada signifiant sinematografis. Pendekatan ini meneliti implikasi psikoanalitis dari sinematografis diluar film khusus, hal yang dilakukan Metz dalam bukunya Le signifiant imaginair. Psychoanalyse et cinema (1975). Signifiant sinematografis, dalam hal ini, adalah signifiant yang menyepelekan materialitasnya sendiri untuk mengutamakan diegesis, tempat dia cenderung luluh didalamnya.[30]


F.       Kritik terhadap Semiologi Metz

Sesudah angin puting beliung semiotika mereda di Barat, sudah pada tempatnya bahwa orang mulai berpikir secara lebih arif dan kritis. Pada tahun 1980-an, kritik terhadap aplikasi konsep linguistik pada sistem tanda lainnya, yang dianggap sebagai suatu ekstrapolasi yang bertentangan dengan persyaratan epistemologis. Majalah Degres yang mulai terbit di Belgia 1973, malah mengangkat permasalahan ini sebagai salah satu tujuan penerbitannya.[31] Jean Mitry, seorang teoritikus film Perancis yang terkenal malah menerbitkan kembali artikel-artikel persnya dalam bentuk buku, yang pada hakekatnya mempertanyakan semiologi: La Semiologie en question. Langage et Cinema (Semiologi yang dipermasalahkan. Bahasa dan Sinema), yang antara lain menulis: “Kesalahannya –menurut saya- demikianpun para semiolog yang berangkat dari pendekatan yang serupa (Garroni, Eco, Pasolini dan lain-lain) yakni usaha mereka untuk menjadikan linguistik sebagai model, dengan mencari analogi pada fungsi yang berbeda, daripada berangkat dari suatu analisis tentang kesatuan minimal dari pesan filmis, dan meneliti cara berfungsi seluruh ide tentang mengkode, grammatika, atau sintaksis.[32] Jean Mitry memetik pernyataan Christian Metz sendiri pada suatu lokakarya penelitian sinematografis, juni 1977: “saya kira semiologi sebagai aliran telah dikenal. Sekarang dia dapat dan harus dilenyapkan..”.[33] Pernyataan Metz ini, tentunya harus ditempatkan dalam konteks krisis kepercayaan yang mulai melanda strukturalisme saat itu.

Salah satu kritik yang paling menarik pada Metz, datang dari kritikus Jean Douchet, penganut Critique de l’imaginaire, yakni kritik seni berdasarkan Psykoanalisa Gustave Jung via Gaston Bachklard. Bagi Douchet, bertentangan dengan semiologi, metodenya lebih mengutamakan “kepekaan perasaan” (sensibilite).[34] Seni bagi dia, yang merupakan salah satu dari dua bentuk pengetahuan, ditujukan untuk menggugah “indera” (sens). Dia menulis: “karena itulah aku menganalisa kesanku sendiri. Karena bagiku, bila artis –hal yang sesuai dengan tugasnya- menghasilkan efek, hal itu untuk memperoleh hasil, jikalau sebuah film memancing perasaan, kesan, justru melalui itulah saya akan masuk, mendudukinya, menilainya, menanggapinya, membandingkannya untuk sampai pada permasalahan inti.[35] Dia mengeritik pendekatan semiologi film, yang hanya mementingkan “film-obyek”: pekerjaan para semiolog dibandingkannya dengan “ dokter yang membela-belah mayat”.[36]

Dilain pihak, serangan muncul dari kubu filsuf Post Modernitas, Gilles Deleuze. Dalam suatu interview dengan Cahiers du Cinema dia mengatakan: “usaha untuk mengaplikasikan linguistik pada sinema sangat mengerikan. Referensi pada modal linguistik selalu berakhir dengan kenyataan bahwa sinema adalah sesuatu hal yang lain, dan bahwa bila dia itu “bahasa” (Langage) dia merupakan bahasa analogi atau modulasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rujukan pada model linguistik adalah jalan yang membingungkan dan karena itu sebaiknya dihindari”.[37]

Perlu dijelaskan bahwa Gilles Deleuze sendiri telah menerbitkan bukunya (saat interview tersebut): Cinema 1: L’image –Mouvement (Sinema 1: Gambar –gerakan), tahun 1983. Dalam buku ini Deleuze mengadakan taxinomi, yakni suatu usaha klasifikasi gambar dan tanda. Dua pemikiran yang banyak mempengaruhinya: Charles S. Pierce (1839-1914) karena dianggapnya telah mengadakan klasifikasi gambar dan tanda yang paling lengkap beragam, serta filsuf Henri Bergson (1859-1941) untuk teori tentang “gambar-gerakan” (image-mouvement) dan utamanya “gambar-waktu” (image-tempo). Bagi Gilles Deleuze, seorang auteur besar sinema bukan hanya dapat dibandingkan dengan pelukis, arsitek, atau musikus, tetapi juga dengan pemikir. Para sineas berpikir dengan “gambar-gerakan” dan “gambar-waktu”, daripada dengan konsep.[38]

Perspektif yang ditawarkan Deleuze adalah perspektif filosofis, yang tentunya sangat dibutuhkan untuk pengembangan teori film. Meskipun bukanlah sesuatu yang baru dalam Teori Film. Dan semakin mengebu-gebunya kritik terhadap semiologi Metz, yang terakhir ini semakin berkembang/menyebar pula baik di Perancis, maupun keseluruh penjuru dunia universitas.

Yang jelas, dari berbagai kritik yang dilontarkan, kita semakin sadar bahwa untuk mencapai pematangan Teori Film, semakin dibutuhkan sumbangan penelitian interdisipliner, bukan hanya linguistik dan Psykoanalisa yang ditawarkan Metz. Tetapi juga Filsafat, Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, dll. Kritik Guy Gauthier[39] seorang semiolog, murid dan rekan Metz, nampak sangat menarik. Dia melihat kelemahan Metz dalam ketiadaannya pada pendekatan sosiologis dalam kegiatan yang menyangkut produksi signifiant. Bersama Gauthier, kita menyesali tiadanya kelanjutan pendekatan Edgar Morin (Le Cinema ou l’homme imaginaire. Essai d’Anthropologie (sinema atau manusia imaginer. Essai Antropologi), Minuit, Paris, 1956). Harapan akan pendekatan sosiologis ini muncul dari Pierre Sorlin (Sosiologie du Cinema (Sosiologi Cinema), Aubier Montaigne, Paris, 1977) yang menggabungkan semiologi Metz dengan sosiologi Pirre Bourdieu. Eksperimen Anglo-saxon memberi kita karya Robert Hodge dan Gunther Kress (Social Semiotics, Cornell University Press, Itacha, New York 1988 dan 1991) yang membuka berbagai kemungkinan bagi analisis semiotika, dengan asumsi bahwa tanda dan pesan harus selalu ditempatkan dalam konteks hubungan sosial dan proses, hal yang tentunya membawa kita kembali pada konsep Saussure tentang semiologi: “ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam kehidupan sosial”.[40]





[1] Judul seminar Christian Metz di EHESS/Paris, Seminar – yang pernah kami ikuti sendiri. Suasana perkuliahan agak muram dan terlalu serius. Pesertanya hanya sekitar selusin. Hal yang cukup kontras, kalau diingat bahwa pemikiran Christian Metz sudah sangat populer dikalangan Studi Film dan Semiotika.
[2] Andre Martinet ; Elements de Linguistique Generale (“Elemen Linguistik Umum”), Paris, A. Colin, 1960; 2e edition, 1967.
[3] “Un home marche dans la rue”. Christian Metz : Le Cinema langue on langage, in Communications; No.4, 1964. Artikel yang kemudian dicetak kembali dalam kumpulan esai Christian Metz : Essais sur la signification au cinema (Esai tentang pemaknaan di sinema), jilid I, pp. 39-93, klinoksieck, Paris, 1978.
[4] “Sine-Kalimat” tercantum pertama kalinya dalam Kinoki-Perevorot, manives Soviet Trankh (=”kelompok tiga”), yang digerakkan oleh Dziga Vertov. Naskah itu terbit dalam Lef (majalah Mayakovski) Mei-Juni 1923 (nomor yang juga menerbitkan/manifes Eisenstein) – sedangkan istilah “sine-bahasa” dalam Kino-glass, “Sine-mata” (Moskwa, 1924). Lihat Christian Metz ; ibid, P.49.
[5] Tentang hal ini dapat ditemukan utamanya dalam Christian Metz : ibid, pp.111-121. Lihat pula jilid II, pp.151-172, Klincksieck, Paris, 1972.
[6] Christian Metz : Film/Reve : le savoir du sujet (Film/Mimpi : Pengetahuan Subyek), dalam Le Film de Fiction et son spectateur (Etude metapsychologique), yang merupakan bagian ketiga dari buku Le signifiant imaginaire : psychoanalyse et cinema, pp. 121-175, Union General d’Editions, Paris, 1977. Perlu ditambahkan penggunaan konsep “impresi tentang realitas” (impression sur la realite) pada hematnya sudah muncul dalam tulisan awal Christian Metz : Cinema : Langue on Langage? Op.cit.p.46. Lihat pula id: A propos de l’impression de realite au cinema (tentang impressi realitas di sinema), in ibid, pp. 13-24.
[7] Dikutip oleh Michel Marie : Impression de realite (impresi tentang realitas) dalam Jean Collet, cs. : Lectures du Film (Bacaan Film), p. 130, Preface de Christian Metz, Albatros, 1980.
[8]Un film n’est jamais objectif, il est toujours le correlat d’ un regard; lamise en presencene saurait eliminier lamise en scene”, elle n’est qu’une autre forme”, Christian Metz : Le Cinema Moderne et la Narrativite (Sinema Modern dan Narativitas), Op. Cit. P. 193.
[9] Ibid, pp. 194-196.
[10] Id., Op. Cit. pp. 72-74
[11] Ibid., p. 72 dan p. 75
[12] Ibid., pp. 75-76
[13] Ibid.
[14] Id : Problemes de denotation dans le film de fiction (Masalah Denotasi dalam Film Fiksi), in Ibid., pp. 121-135. Lihat pula Tableau des “segments autonomes” du film Adieu Phillipe, de Jacques Rozier, in Ibid., pp. 151-175.
[15] Keempat insert ini adalah sebagai berikut : “insert non-diegetis” (L’insert non-diegetique) yang memperlihatkan sesuatu diluar action cerita film : close up jam tangan seorang tokoh yang melihat jamnya; “insert subyektif (l’insert subjectif) : sebuah shot tentang mimpi/khayalan seorang tokoh; “insert diegetis yang digeser” (l’insert diegetique deplace) : sebuah shot sepintas dalam kaitannya dengan action utama, umpamanya sebuah insert seorang yang dikejar dalam sekwens tentang pengejaran; “insert penjelasan” (l’insert explicatif) yakni penggunaan close up atau gerakan kamera untuk suatu pengamatan yang lebih mendetail. Op. Cit., p. 126.
[16] Christian Metz : Langage et Cinema (Bahasa dan Sinema), Editions Albatros, Paris, 1977 (Edisi I : 1971).
[17] Alexandre Astruc : Manifeste de la camera-stylo (Manifes Kamera Pulpen), in L’ecran Francais, 30 Maret 1948, lihat pula  : Manifeste de la camera-stylo (Manifes Kamera Pulpen), in L’ecran Francais, 30 Maret 1948, lihat pula Christian Metz : Op. Cit., p. 198 dan pp. 200-201.
[18] Roland Barthes ; Le degre zero de l’ecriture (Tingkat Nol Penulisan), Seuil, Paris, 1953 & 1972.
[19] Jean Narboni, Alain Bergala (Ed.) : La Politique des Auteurs. Entretiens avec Dix Cineastes, (Politik Pengarang. Interview dengan 10 Sineas), Cahiers du Cinema/Editions de l’Etoile, Paris, 1984. Lihat pula James Monaco: The New Wave, Oxford University Press, 1980 (Cetakan I : 1976).
[20] Roland Barthes : Op. Cit., p. 14.
[21] “L’ensemble des systemes textuels”, in Language et Cinema, Op. Cit., p.216.
[22] Ibid.
[23] Id. : Le Signifiant imaginaire, in Communications: no. 23 (Psychoanalyse et cinema), pp. 3-55, utamanya pp. 30-54, Seuil, Paris, 1975. Naskah ini kemudian diterbitkan lagi dalam buku: Le signifiant imaginaire. Psychanalyse et cinema. Union Generale d’Editions, Paris, 1977. Lihat pula interview Christian Metz: Sur mon travail (Tentang Pekerjaanku), yang diadakan oleh Marc Vernet dan Daniel Percheron (Juni 1974), kemudian diterbitkan dalam Op. Cit., pp. 165-205, Klincksieck, Paris, 1977.
[24]Les seules disciplines qui soient semiotiques de part en part”. Christian Metz: ibid., p. 28.
[25]Dans les etudes cinematographiques comme dans les autres, la semiologie (ou les semiologies) ne sauraient remplacer les diciplines qui abordent le fait social lui-meme (source de tout symbolisme), avec ses lois qui determinent celles du symbolisme sans se confondre avec elles: la sociologie, l’anthropologie, l’histoire, l’economie politique, la demographie, etc”. Ibid., p. 29.
[26] J. Amaount/M. Marie: L’analyse des films (Analisa Film), p. 163, Nathan, Paris, 1988.
[27] Ibid.
[28] Raymond Bellour: Le blocage symbolique (Hambatan Simbolik), in Communications: no. 23, pp. 235-350, Seuil, Paris, 1975. Lihat pula Christian Metz (1977): Op. Cit., pp. 37-52.
[29] Ibid. Lihat utamanya diskusi Raymond Bellour dengan Guy Resolato: Dialogue: Remembering (this memory of) a film., diterjemahkan dari Perancis oleh Thomas Y. Levin, in E. Ann Kaplan (Ed.): Psychoanalysis and Cinema, Routledge, New York/London, 1990. Hal ini telah kami bicarakan dalam makalah kami di LPUI, Mei 1992.
[30] Christian Metz: Op. Cit., p. 93.
[31] Andre Helbo: Semiologie des messages siciaux (Semiologi Pesan Sosial), p. 91, Mediatheque, Paris 1983.
[32].... son erreur –a mon sens-, et celle de tous les semiologues qui se sont penches sur la question (Garroni, Eco, Pasolini et auteurs), fut de partie de modeles linguistiques, de chercher des analogies en des fonctions differentes au lieu de partir d’une analyse des unites minimales du message filmique et d’examiner le fonctionnement en faisant table rase de toute idee de code, de grammaire ou de syntare” Jean Mitry: La semiologie en question. Langage et cinema, p.30 Editions du Cerf, Paris, 1987.
[33]Je crois que la semiologie, en tant qu ‘ecole, a fait son temps. Elle peut et meme doit disparaitre “, Ibid., p. 30.
[34] Jean Douchet: L’art d’aimer (Seni Mencintai), p. 11, Cahiers du Cinema/Editions de l’Etoile, Paris 1987.
[35]J’analyse donc mes propres sensations. Car je pense que si un artiste –ce qui est sa fonctions- produit un effect, c’est pour en obteiner un resultat; que si un film produit des emotions, des sensations, je dois passer par elles, les investir, jauger, estimer, comparer pour ecceder au coeur du sujet”. Ibid.
[36] Sering dilontarkan dalam kuliah-kuliahnya di Cionematheque Perancis, Paris. Kuliah yang kami ikuti selama bertahun-tahun. Lihat pula Ibid.
[37]Les essais d’appliquer la linguistique au cinema sont catastrophique la reference au modele linguistique finit toujours par montrer que le cinema est autre chose, et que, si c’est un langage, c’est un langage analogique ou de modulation. On peut des lors croire que la reference au modele linguistique ast un detour dont il est souhaitable de se passer”. Entretient, “Tanya jawab dengan Gilles Deleuze”, oleh Pascal Bonitzer dan Jean Narboni, in Les Cahiers du Cinema, no. 325, Oktober, 1983.
[38] Gilles Deleuze : Cinema 1: l’image-mouvement, (Sinema 1: Gambar-gerakan), pp. 7-8, Minuit, Paris, 1983. Lihat pula Cinema 2: l’image-temps (Sinema 2: Gambar-waktu), Minuit, Paris, 1985.
[39] Guy Gauther: Christian Metz a trace. Comment entrer en se miologie? (Bagaimana masuk kedalam Semiologi?), Cinemactions, no. 20: Theorie du cinema, pp. 100-103, L’Harmattan, Paris.
[40]Une science qui etudie la vie des signes au sein de la vie sociale”. Ferdinand de Saussure: Cours de linguistique generale, p. 33, Payot, Paris.

Komentar

  1. Artikel yang sangat luar biasa, membuka wawasan tentang film. Terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar