Sensor Film







PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG

Diketahui bahwa adanya perbedaan antara isu rumor. Bagaimana kedua kata tersebut yang dikenal didalam masyarakat, pada dasarnya adalah membahas sebuah topik permasalahan. Hanya saja isu memiliki nilai kebenaran yang lebih jelas, sedangkan rumor adalah sebuah kabar burung atau desas-desus ataupun juga gosip yang belum tentu memiliki kebenaran.

Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia, yang ditulis oleh John M. Echols dan Hassan Shadily, isu memiliki arti:
-          Sebagai kata benda (kb) adalah (pokok) persoalan; terbitan, nomor, hasil, anak.
-          Sebagai kata kerja ternasitip (kkt) adalah mengeluarkan; memberikan; membagikan.
-          Sebagai kata kerja intransitip (kki) adalah keluar.

Namun pengertian yang terdapat pada kamus Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Depdikbud cetakan kedua, isu dikenal sebagai kata benda (n) yang memiliki arti kabar yang tidak jelas tetapi menyebar ditengah masyarakat, masalah yang dikedepankan untuk ditanggapi, tema; cek desas-desus, gosip, gunjingan, kabar angin/burung, rumor.

Dari arti etismologi ini, maka sebagai kata serapan dan juga dalam kepentingan tugas kuliah ini, maka arti dari kata isu atau issue yang digunakan adalah sebagai (pokok) persoalan. Dalam kesempatan ini, isu atau pokok persoalan yang diangkat adalah sensor film.

Sensor selalu menjadi momok bagi para kreator seni dibelahan dunia manapun. Sehingga menjadi isu yang dominan apabila kepentingan sensor adalah alat propaganda dari panggung atau rezim pemerintahan yang sedang berkuasa disebuah negara. Sensor bukan lagi menjadi produk rumor atau gosip ataupun desas-desus di masyarakat, yang tidak meiliki nilai-nilai yang tidak jelas. Tetapi memang sebuah isu dari pokok persoalan didalam masyarakat.

Sensor menjadi sangat krusial ketika berhadapan dengan karya –baik karya seni ataupun sastra dan sebagainya, sehingga seringkali sensor dianggap sebagai pembatas kreatifitas seseorang dalam menyampaikan sebuah pesan. Film sebagai salah satu media karya seni yang memiliki kelebihan dalam memberikan informasi dan pesan, menjadi media yang tidak terlepas dari sensor. Film-film tertentu, yang dianggap dapat memberikan dampak “yang dianggap buruk” oleh suatu kalangan tertentu ataupun negara, dapat terkena sensor. Hal yang seringkali menjadi polemik dalam tatanan sosial masyarakat. Apalagi sensor merupakan kepentingan dari sebuah rezim pemerintahan yang berkuasa. Menjadikan sensor menjadi sudut pandang yang “dirasakan” sangat sempit, terutama hal tersebut dilihat dari kacamata para seniman –kreator.

Isu sensor pada film ini sebenarnya sudah seringkali dan beberapa kali diangkat oleh insan perfilman di tanah air. Namun yang menarik saat ini, isu ini muncul kembali kepermukaan masyarakat, setelah gaung reformasi berjalan meruntuhkan rezim orde baru yang acapkali menggunakan sensor sebagai senjata untuk keberlangsungan jalannya pemerintah rezim tersebut. Beberapa sineas muda dan juga insan perfilman yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI), menyuarakan salah satu agenda mereka dengan sangat antusiasnya yakni tidak memberlakukannya sensor pada film-film produksi dalam negeri.


MASALAH

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara setidaknya dibutuhkan rambu-rambu kehidupan tersebut, sehingga kehidupan bermasyarakat dan bernegara tersebut menjadi lebih baik secara bersama-sama, bukan secara kepentingan kalangan tertentu saja. Oleh karenanya, dibutuh sebuah tatanan atas dasar prinsip norma dan hukum serta adat yang disepakati secara bersama-sama, agar kelak persoalan yang muncul memliki perspektif pandangan yang sama, sehingga dapat menyelesaikannya secara adil dan bijaksana.

Persoalan sensor memang suatu persoalan yang cukup menarik untuk dikaji dan dianalisa serta dijadikan sebuah isu untuk kemudian dilihat dan coba diuraikan kedalam bentuk tulisan yang setidaknya mencoba untuk lebih obyektif menyikapi persoalan isu tersebut. Meskipun juga belum tentu menjadi sebuah jawaban atas permasalahan. Maka masalah yang diangkat dalam hal ini adalah menyikapi keberadaan sensor terhadap kreatifitas perfilman nasional.


TUJUAN

Secara akademis memiliki tujuan untuk menjadi sebuah tulisan ilmiah dalam bentuk makalah sederhana sebagai prasyarat dari kelulusan sebuah mata kuliah tertentu, sebagai bagian dari materi perkuliahan yang dilangsungkan, disamping juga sebagai tolok-ukur dari penerapan materi yang telah diberikan selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Wawasan yang berisi data, fakta dan sumber pengetahuan yang menjadi referensi serta kemampuan mengolah hal tersebut dalam bentuk tulisan ilmiah, adalah tujuan akademis tersebut.

Bagi kalangan perfilman tanah air, setidaknya hal ini menjadi sudut pandang lain dalam menyikapi keberadaan sensor terhadap film-film yang di produksi sineas Indonesia. Apakah keberadaan sensor tersebut tidak memiliki atau minim memberikan dampak yang baik dalam memproduksi film, dengan kata lain sebagai alternatif atau pembanding dari persoalan yang ada.

Sedangkan tujuan lainnya bisa mencakup informasi dan menambah wawasan dari kalangan umum yang berkesempatan untuk membaca makalah ini.



PEMBAHASAN


DEFINISI

Pengertian atau definisi dari kata sensor yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Depdikbud cetakan adalah:
Sensor memiliki arti sebagai (kb) yakni elemen yang mengubah sinyal fisik menjadi sinyal elektronik yang dibutuhkan kompute; pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku dan sebagainya); yang menyensor.
Sedangkan untuk definisi dari kata film dalam kamus yang sama adalah:
Film memiliki arti (kb) selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk merekam gambar negatif (dalam pemotretan); selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk gambar positif(ditayangkan di bioskop); lakon atau cerita-cerita yang menyeramkan; gulungan; bioskop, gambar hidup, komidi gambar, sinema; (v) memfilmkan.


SENSOR DI NEGARA LAIN

Sensor film sebenarnya tidak hanya berlaku di Indonesia saja. Tetapi pada negara-negara lain juga diberlakukan sensor terhadap film-film produksi dalam negeri mereka sendiri. Hanya saja aturan dan penerapannya berbeda-beda. Dalam hal ini akan diuraikan bagaimana sensor film terhadap dua negara yang dianggap memiliki ideologi negara yang berbeda, yakni sensor di Amerika dan sensor di China, dimana Amerika mewakili kapitalis-leberalis, sedang China tentunya sosialis-komunis. Meski pembahasan sensor pada dua negara tersebut hanya sangat sederhana, tidaklah secara detail atau menyeluruh, namun setidaknya dapatlah menjadi pembanding dan memberikan gambaran secara sederhana terhadap masalah sensor, karena bagaimanapun sensor yang diberlakukan pada kedua negara tersebut memiliki perbedaan, serta keberadaan sensor memiliki kepentingan yang berbeda pula.


Sensor Film di Amerika

Pada umumnya negara-negara maju dan yang memiliki ideologi kapitalis-liberalis memberlakukan sensor film dapat dikatakan tidak ketat (tentunya dari sudut pandang Indonesia, karena bisa saja bagi masyarakat Ameriak itu sendiri, terbilang ketat), karena sensor film dalam hal ini diposisikan sebagai alat pengontrol dari film-film yang beredar di masyarakat. Apakah film yang beredar memiliki dampak sosiologis yang dianggap negatif terhadap tatanan berkehidupan dan berbangsa serta bernegara.

Penerapan sensor terhadap sebuah film dapat dilakukan apabila badan atau lembaga yang menangani khusus sensor film, mendapatkan laporan dari sekelompok masyarakat tertentu, yang menilai sebuah karya film memberikan dampak yang tidak baik, sehingga dapat meresahkan sebagian masyarakat. Entah itu dampak pada norma-norma ataupun pada nilai-nilai yang lainnya, seperti pada politik, hukum, ekonomi dan sebagainya. Artinya badan atau lembaga sensor bekerja pada saat keberadaan suatu film mendapatkan laporan yang negatif, kalau tidak ada yang melaporkannya, maka film tetap beredar di masyarakat.


Sensor Film di China

Berbeda dengan badan atau lembaga sensor film yang ada di China, dimana badan atau lembaga tersebut merupakan kaki tangan dari rezim pemerintah yang berkuasa. Mereka bekerja tidak berdasarkan laporan dari masyarakat tertentu yang ada di negara tersebut, melainkan mereka bekerja sebelum film-film yang di produksi didalam negeri mereka beredar di masyarakat. Film yang dianggap berlawanan dengan ideologi negara dan juga mengkritik pemerintah, secara langsung akan dibredel dan dilarang untuk beredar. Tidak hanya itu, sineas yang memproduksinya pun mendapat sangsi hukum, dimasukkan kedalam daftar melawan hukum.

Kontrol yang dilakukan oleh badan atau lembaga sensor film di China, melebih atas apa yang berlaku di Amerika. Sebenarnya badan atau lembaga sensor film yang berlaku di China, juga sama penerapannya dengan negara-negara yang memiliki ideologi atau asa negara yang berdasarkan agama –Islam, seperti Iran, disamping juga negara-negara yang dipimpin oleh rezim yang dikenal diktator.


Sensor Film di Indonesia

Di Indonesia, sensor terhadap film yang dilakukan oleh badan atau lembaga sensor film, sebenarnya memiliki beberapa periode. Karena menurut Wakil Dekan IV FFTV-IKJ, Tanete Pong Masak, sensor film di Indonesia telah ada sejak tahun 1916. Namun badan atau lembaga sensor film ini keberadaannya tidak dipusatkan dalam satu wilayah –ibukota, tetapi mereka ada disetiap kota-kota besar seperti di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan. Kota-kota besar tersebut memiliki sensor film sendiri. Anggota badan atau sensor film memotong film karena menilai tingkat intelektual pribumi yang rendah.

Apa yang diutarakan mengenai konten dari badan atau lembaga sensor oleh Tanete, pada kenyataannya sejalan dengan buku Sejarah Film Indonesia yang diterbitkan Dewan Kesenian Nasional, tidak diungkapkan secara pasti, kapan ada dan berdirinya badan atau lembaga sensor film di Indonesia. Hanya dalam Bab 3 buku tersebut, halaman 61 sub judul Pembinaan Apresiasi dituliskan:

....Sejak tahun 1923 perlu tidaknya sensor telah mulai dipermasalahkan. Timbul polemik dan kontra terhadap adanya sensor itu sendiri. Fihak yang pro berpendapat bahwa sensor film diperlukan karena tingkat intelektual pribumi yang masih rendah. Dikatakan bahwa “pribumi tidak cukup imajinasi untuk menilai apa yang dilihatnya itu bukanlah kejadian yang sebenarnya. Jadi dikhawatirkan apa yang dilihat oleh pribumi di layar putih itu akan merasa tiru saja. Karena itu rupanya anggota sensor telah main babat saja, apa yang dirasa akan mengganggu pribumi....”.

Dalam buku Sejarah Film Indonesia tersebut juga menjelaskan keadaan sensor pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, dengan berkuasanya Jepang di Indonesia, pertama-tema yang dilakukan oleh pihak Jepang adalah menutup semua perusahaan film yang ada. Sehingga film mendadak berhenti, dan pihak Jepang segera memproduksi film-film propaganda mereka.

Kemudian diprokalmirkannya Badan Sensor Film yang ditempatkan pada Lingkungan Departemen Pertahanan Negara dan bertanggungjawab pada Menteri Penerangan. Setelah itu di tahun 1948 pindah kedalam Lingkungan Departemen Dalam Negeri, yang kemudian berpindah lagi di tahun 1950 kedalam Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), dan di tahun yang sama sebuah peristiwa yang perlu dicatat adalah adanya film Usmar Ismail yang berjudul “Darah dan Do’a” ternyata telah mendapatkan sensor dari Badan Sensor Film, yang meski hal itu telah dilakukan, tetap saja film tersebut mendapat protes dari kalangan militer, yang protes tersebut sebenarnya berkaitan dengan pemberontakan DI/TII.

Setelah itu, Badan Sensor Film di jaman Orde Baru memiliki wewenang sebagai kepanjangan tangan dari rezim pemerintah yang berkuasa. Beberapa karya film yang kontennya dianggap menyudutkan pemerintah (kritik terhadap pemerintahan) oleh Badan Sensor Film ditolak atau dibredel untuk dapat ditayangkan di bioskop.

Sedangkan pada era reformasi, Badan Sensor Film mengubah namanya menjadi Lembaga Sensor Film Indonesia. Peristiwa yang dapat dicatat dalam era ini adalah diloloskannya dan dapat diputarnya film untuk bioskop dengan judul “Buruan Cium Gue” (BCG) karya sutradara muda Findo. Dua pemuka agama seperti Abdullah Gymnastiar (AA Gym) yang dikenal sebagai ustad populer di kalangan masyarakat dan Din Syamsudin, yang dikenal sebagai ulama dan ketua organisasi islam Muhammadiyah, memprotes keras film tersebut. Karena menurut pandangan mereka adegan didalam film BCG telah mengekspose dan menghadirkan hal yang vulgar. Protes dari dua orang pemuka Agama Islam tersebut, maka Lembaga Sensor Film Indonesai, menarik kembali film BCG dari peredarannya di bioskop, dan memotong beberapa adegan yang dianggap mengandung vulgarisme dan mengubahnya film itu kembali agar dapat di putar di bioskop dengan judul yang berebda, yakni “Satu Kecupan”.

Permasalahan sensor film kemudian berlanjut pada tahun 2007, dimana segelintir orang yang menamakan dirinya dengan identitas Masyarakat Film Indonesia (MFI), melakukan sebuah gerakan. Pada awalnya, sebenarnya MFI hanya melakukan gerakan protes terhadap hasil keputusan dari Dewan Juri pada Festival Film Indonesia (FFI) 2006 –salah satunya memenangkan film “Ekskul” karya Nayato sebagai film terbaik. Namun ternyata gerakan protes tersebut berlanjut pada keberadaan Lembaga Sensor Film Indonesia. Mereka berkeinginan untuk menghapus lembaga sensor tersebut demi menjunjung tinggi kebebasan berkreatifitas di film.

Sensor terhadap film yang terjadi di Indonesia dengan berbagai macam bentuk peristiwanya, menjadikan sebuah wacana pertanyaan, apakah sensor telah memenjarakan kreatifitas sehingga insan perfilman seakan-akan sensor tersebut menjadi momok yang menakutkan dan dapat memberikan dampak yang melemahkan sehingga para kreatorr film tidak dapat lagi memproduksi film?

Hal yang dapat dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki sensor film yang sebenarnya “lebih ketat” daripada sensor film didalam negeri seperti di China ataupun di Iran, atau bahkan sebenarnya dapat dibandingkan dengan sensor film pada masa orde baru, karena kita masuk sekarang pada awal –dikatakan demikian- reformasi.

Catatan yang menjadi pegangan para insan film, bahwa sutradara China dan Iran yang memproduksi film-film mereka di dalam negera mereka sendiri, pada kenyataannya dapat bersaing dengan film-film yang di produksi dengan sensor yang –mungkin- dianggap tidak seketat mereka. Para sutradara-sutradara China dan Iran tersebut, membuat pattern-pattern film yang sangat kreatif sehingga dapat mengelabui pihak Badan atau Lembaga Sensor Film, sehingga menghasilkan film-film yang dianggap memiliki nilai yang sangat artistik dan estetik. Terbukti dalam berbagai festival film dunia, bila disepakati sebagai tolok ukur sebuah film, berhasil diraih oleh para sutradara-sutradara China dan Iran tersebut.



 DAFTAR PUSTAKA


Biran, Misbach Yusa. Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia. Jakarta-Badan Pelaksana FFI, 1992.

Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film Indonesia. Jakarta, 2007.

Depdikbud. Kamus Bahasa Indonesia, Jakrta, 2009.

Echols, John M. Dan Hassan Shadily. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, 2005.

Rayns, Tony. The Hugs Problem of Asian Cinema, pp. 109-119, index on Censhorship. Fall 1995.


Seliliz, C. Yehoda, et. Al. Research Methods in Socil Relations. New York: Holt Ronehart and Winstein, 1962.

Komentar