Skenario Tayangan Indonesia Masih Lemah Logika

Ardita Mustafa & Rizky Sekar Afrisia, CNN Indonesia

Minggu, 13/12/2015 19:58
Skenario Tayangan Indonesia Masih Lemah Logika
Ilustrasi menulis. (Thinkstock/anyaberkut)
Jakarta, CNN Indonesia -- Skenario memang ibarat fondasi dalam sebuah tayangan, baik film maupun serial televisi. Namun ia tak bisa dibilang hebat sendiri. Skenario masih harus ditopang teknik penyutradaraan, penyuntingan gambar, tata kamera, tata suara, tata rias, dan lainnya.

Meski begitu, skenario juga tak bisa dianggap remeh. Ia tidak hanya perlu struktur awal, tengah, dan akhir. Budiman Akbar, salah satu pengajar penulisan naskah di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menilai skenario di Indonesia masih bisa dibilang lemah.

Terutama, skenario untuk penayangan di televisi. Ia masih melihat tayangan Indonesia diramaikan genre drama dan percintaan, meski dikembangkan dengan memasukkan genre laga dan kehidupan remaja. Padahal, banyak yang bisa dieksplorasi.


Karena terlalu seragam, alhasil, publik menganggap tema baru seperti tayangan Turki lebih menarik untuk ditonton.

Tak hanya pemilihan tema, skenario yang baik juga seharusnya dibarengi penyusunan peristiwa dengan logika yang baik. "Kualitas tayangan sinetron kita masih lemah akan logika dan pola sebab akibatnya," tutur Budiman saat diwawancara CNN Indonesia melalui surat elektronik.

Formula penulisan skenario yang umum dikenal memang Struktur Klasik Hollywood. "Disebut klasik karena struktur ini sudah berlangsung sejak sekitar 1910. Disebut Hollywood karena struktur tersebut dimulai di sana," kata Budiman menjelaskan.

Cirinya, antara lain ada tokoh yang memiliki tujuan, hasrat dan keinginan. Struktur itu didukung sebab akibat dalam peristiwa yang dihadirkan melalui pola tiga babak. Menurut Budiman, struktur itu masih relevan bagi skenario tayangan Indonesia.

"Tapi jika masih ingin menggunakan pola tiga babak, wajib memberikan tema-tema yang baru dan segar. Bisa dari karakter, sudut pandang cerita dan sebagainya," lanjutnya.

Penulisan skenario dengan pola baru, akan lebih menarik lagi. Itu diperlukan untuk mengatasi kejenuhan penonton akan pola tiga babak. Pola baru juga perlu dilakukan agar penulis skenario itu sendiri tidak jenuh.

Beberapa cerita, kata Budiman, kadang melepas formula tiga babak dengan lebih mengedepankan ekspresi dalam bercerita.

Itu akan menjadi pembaruan yang menarik. "Dalam penulisan skenario, penulis harus lebih berani menghadirkan tema-tema baru walau dibalut dengan jalan cerita konvensional," katanya. Pembaruan soal cara bercerita bisa menjadi satu alternatif.

Di dunia film, Budiman melanjutkan, tema yang belakangan mencuat adalah sejarah. Meskipun, ia melihat adanya kecenderungan pemilihan tema yang semakin kompleks dan modern. Itu, katanya, karena latar belakang kreatornya yang mulai semakin beragam.

"Dan kebebasan berkarya yang lebih baik dibanding era orde baru," ia menambahkan.

Budiman juga melihat banyaknya film yang kembali ke "masa lalu" dengan membuat remake atau mengadaptasi karya sastra. Ia tidak menganggap itu masalah besar, meski terkesan sang penulis seperti tak kreatif. Menurutnya, tetap ada proses kreatifnya.

"Ada hal yang berbeda ketika menulis skenario dengan karya sastra. Teknisnya berbeda. Saat menggarap adaptasi, teknis penggarapan tayangan harus diperhitungkan, agar hasilnya lebih kreatif," katanya.

Dalam membuat film remake, ia menyarankan penyuguhan sudut pandang yang berbeda. "Karena butuh penyesuaian dan pemahaman mendalam dalam melakukan remake film yang populer pada zamannya," tuturnya. Film itu bisa jadi lebih menarik, jika diberi bumbu yang membuatnya relevan dan kekinian.
(rsa/rsa)

Komentar