Periode sebelum Kehadiran Sinema/Film

gambar Flutter and Now


Sejarah film penuh dengan misteri, ketidakpastian, kebingungan, pertentangan dan sebagainya. Catatan dari penemuan-penemuan misalnya dari kamera, proyektor dan sebagainya, sangatlah tidak jelas. Sebab-sebabnya antara lain kebanggaan nasional (politik, ideologi); para pionir tidak ada lagi atau kalau ada “rada-rada lupa”, sengaja lupa atau egonya terlalu menonjol!; para penulis, pengarang, kritisi sering salah kaprah mengulang-ulangi kesalahan orang lain, latah atau saling bertentangan pendapat; data industri atau humasnya sering tidak obyektif atau tidak benar.[1]


Gemerlapnya pengetahuan dan gempitanya teknologi serta semaraknya penemuan dan penciptaan terjadi pada abad ke-19. Munculnya film di tengah masyarakat Eropa yang industrialis, merupakan puncak dari permainan bayangan dengan proses yang begitu panjang, seirng dengan dinamika penemuan dan penciptaan yang begitu simlutan dan cepat untuk mewujudkan gambar bergerak –motion picture, yang sepertinya saling mengisi. Kekurangan dan kelemahan dari penemuan dan penciptaan yang baru, adalah awal untuk memunculkkan pemikiran dan teknologi yang baru lagi. Begitu seterusnya, sampai akhirnya benar-benar tercipta teknologi yang dianggap mampu dan diyakini keakuratannya dalam mereproduksi gambar sekaligus juga menampilkannya yang dikenal dengan film.

Kemampuan teknologi dan cara berpikir filmmaker pada periode awal film, yang hanya mampu menayangkan film dengan durasi pendek, otomatis menjadikan film pendek bagian yang terpenting dan tidak akan terpisahkan dari sejarah film itu sendiri. Sepuluh film pertama milik Lumière Brothers, yang merupakan film pertama kalinya yang dibuat di dunia, di putar dalam waktu kurang lebih 20 menit, atau rata-rata setiap filmnya memiliki durasi sekitar 2 menit.

Selain itu, yang seringkali terlewatkan dalam sejarah film adalah sejarah penceritaan yang ada di film atau skenario. Bahwa, bagaimanapun cerita menjadi satu paket dengan film. Tidak ada cerita, tidak ada film. Tidak ada film, cerita masih dapat dimunculkan. Begitu pentingnya cerita dalam film. Terus berkurangnya penonton terhadap film-film Lumière, adalah bukti bagaimana seharusnya Lumière memperlakukan film setelah mereka menciptakan kamera Cinématographe. Karena begitu perlakuan cerita yang berbeda, dari Lumière ke Méliès, film yang pada awal keberadaannya dipandang tidak memiliki masa depan, kenyataannya memiliki potensi yang luar biasa. Perlakuan filmmaker seperti Méliès terhadap penyajian film menjadi faktor lain yang turut menjadi bagian dari perkembangan film yang tercatat dalam sejarah.

Jelas bahwa sejarah film bukan semata-mata teknologi, tetapi juga menyangkut isi didalam film itu sendiri, yaitu cerita atau skenario, dan penonton yang turut andil melalui reaksinya terhadap cerita serta perlakukan filmmaker terhadap penyajian filmnya.


1.      Mengubah Bayangan menjadi Gambar

Periode sebelum kehadiran film, adalah sebuah proses panjang kebudayaan dan pengetahuan manusia terhadap film. Manusia terpesona bagaimana cara kemunculan burung dan hewan pada dinding yang diwujudkan dalam bayangan yang dibentuk oleh jari-jari tangan kita dengan sorotan cahaya. Bahkan kadangkala dikombinasikan dengan cerita, dan sebenarnya, biladihubungkan dengan permainan bayangan tersebut, kenyataannya permainan ini sudah dikenal orang jauh sebelum masehi. Wayang adalah bukti adanya permainan bayangan yang dibumbuhi dengan cerita tertentu, hadir di masyarakat sebagai tontonan dan hiburan malam hari yang pencapaiannya diyakini jauh sebelum masehi. Bayangan menjadi hal yang penting dalam hal menciptakan visual tertentu.

Lalu permainan bayangan ini berkembang, dari sorotan cahaya di malam hari, diubah oleh Mo Ti filusuf Tiongkok, pada kurun waktu sekitar 4 abad sebelum masehi, yang mampu menampilkan gambar dengan bantuan dari proses sinar matahari, dimana sinar matahari masuk ke sebuah kotak besar berkisar melebihi manusia berdiri dan memiliki lubang di salah satu sisinya sebagai jalan masuknya cahaya. Dengan metode yang hampir sama, Ibnu Al Haytem pun menyederhanakan penemuan Mo Ti tersebut, dimana gambar direfleksikan pada sehelai kain yang digantung pada sebuah rungan dan dapat dipertontonkan kepada khalayak. Al Haytem mengembalikan permainan bayangan menjadi sebuah tontonan massa yang menghibur. Prinsipnya bayangan muncul dalam sebuah kotak yang kedap cahaya.

Kehadiran dari Camera Obscura tahun 1611 milik Johannes Kepler astrolog/astronom dari Jerman, dipandang sebagai sebuah bentuk perkembangan yang efektif untuk mempermudah proses bayangan menuju gambar. Sebuah ruangan yang besar mili Mo Ti dan Al Haytem, diubahnya menjadi kotak kecil yang dikenal dengan kamera –kata yang berasal dari chamber, yang berarti kamar atau ruangan. Kamera memberikan dampak yang signifikan, karena sangat mudah untuk dibawa kemana saja, dan membuat kita terpesona oleh daya tipu visual, ilusi optik, khayalan, dan misterinya.

Pemikiran manusia dalam permainan bayangan melahirkan teori dan menciptakan teknologi baru, pada akhirnya berada pada pencapaiannya dan diselesaikan oleh Joseph Nichopore Niepce penemu asal Perancis dengan teknik heliography pada sekitar tahun 1826 yang menghadirkan fotografi sebagai teknologi yang mampu merekam dan mencetak gambar. Meski pada kehadiran pertamanya, gambar yang dihasilkan fotografi Niepce tidak setegas dan sejelas kerabatnya Louis Jacques Mande Daguerre dengan alat yang dikenal sebagai Daguerretype-nya, namun hasil Niepce ini disepakati sebagai yang pertama. Namun dinatara mereka berdua belum dianggap merepresentasikan hasil yang diinginkan, karena untuk mencetak foto mereka, membutuhkan waktu yang cukup lama. Niepce malah membutuhkan waktu sekitar 8 jam pada foto pertamanya.[2]


Sehingga kehadiran Talbottype dari Henry Fox Talbot dengan kemampuannya dalam mencetak gambar lebih cepat, persoalan bahan baku foto ini pun menyingkirkan kaca dan logam sebagai bahan baku yang digunakan sebelumnya. Talbottype menggunakan kertas negatif untuk mencetak gambar, dan memungkinkan untuk mencetak gambar foto sepersekian detik untuk digunakan pada slide lentera kaca dan proyektor. Dua syarat yang perlu dipenuhi sebagai dasar untuk menciptakan gambar dan visual, yakni kamera sebagai peralatan yang merupakan sebuah ruangan dalam memproses bayangan dan kertas negatif sebagai bahan bakunya untuk materi menyimpan rekaman gambar, sebuah prinsip menuju gambar bergerak –motion picture.


2.      Gambar menjadi Ilusi Gerak

Setelah proses bayangan menjadi sebuah gambar dan visual, maka muncul keinginan manusia untuk menggerakkan gambar tersebut. Bagaimanapun juga manusia selalu tertarik dengan gambar bergerak, dimana mereka menyaksikan sendiri bagaimana sejak awal matahari terbit dan kehadiran bulan di malam hari, telah mampu menggambarkan refleksi pemandangan. Oleh karenanya, para ilmuwan dan cendikiawan pun mulai menggeser pemikirannya agar dapat menciptakan alat yang mampu merekam dan menayangkan gambar dengan kesan bergerak. Sebuah pengembalian pemikiran awal terhadap gerak bayangan berbentuk hewan di dinding melalui gerakan tangan dan bantuan sorotan cahaya.

Pertama kali gambar bergerak yang sangat kredibel sebenarnya diproyeksikan oleh magic lentern, sebuah alat yang diciptakan berdasarkan tulisan edisi pertama di tahun 1645 yang berjudul Ars Magna Lucis et Umbrae oleh seorang Jesuit asal Jerman Athanasius Kircher. Sebuah peralatan pengembangan dari camera obscura dengan versi yang sederhana dapat dibuat dengan menggambar siluet pada alur gulungan kertas yang dimasukkan kedalam sebuah tabung dengan ukuran potongannya seperti  sebuah flap pada suatu dasar lingkaran yang dapat berputar pada porosnya. Sedangkan panas yang berasal dari lilin yang menyala diarahkan langsung ke tabung yang melingkar penuh dengan gambar. Andaikan ada gambar kuda berlari, nantinya akan tampak seperti sedang balapan secara bersama dengan bayangannya yang melintasi dinding. Pada awalnya magic lantern ini digunakan sebagai tontonan dan hiburan. Namun perkembangan selanjutnya, alat ini digunakan untuk memproyeksikan bahan pendidikan dan pengajaran.

Dalam menghasilkan gerak pada gambar juga didapatkan pada sebuah flick book (buku klik), yang mengembangkan gambar pada tiap-tiap halamannya, dengan membuat gambar dari yang satu ke yang lainnya sedikit berbeda, nyatanya telah memberikan gerakan pada tampilan gambarnya disaat menjentikkannya secara cepat disetiap halamannya. Ini sebenarnya sebuah ilusi gerak efek dari gambaran yang dikenal sebagai "persistence of vision" –sebuah teori yang menyatakan bahwa mata memiliki kelemahan dalam menangkap cahaya–[3] yang pertama kali dipelajari oleh seorang dokter asal Inggris yaitu Peter Roget pada tahun 1820, meskipun pada awalnya masyarakat tidak mendapatkan dampaknya, atau lebih tepatnya hanya sekilas saja, pada film sampai pada tahun 1832 dimana ditemukannya Fantascope. Sebuah mesin karya Joseph Plateau dari Belgia, yang perangkat simulasi gerakannya sesuai dengan flick book. Serangkaian gambar yang sebenarnya terpisah ternyata menunjukkan perubahan saat bekerja (beraktifitas), juggling bola (memainkan bola seperti pertunjukkan sulap) dengan beruang yang sedang menari, dengan membuatnya sebagai sketsa di sekitar tepi disk yang berlubang. Ketika disk itu diputar maka yang tampil dicermin diberlakukannya suatu pandangan persepsi bola yang bergerak diudara, seiring dengan beruang yang menghentakan kakinya secara berirama dalam sebuah tarian. Fantascope milik Plateau dengan cepat digantikan oleh daedalum pada tahun 1834 yang dibuat di Inggris oleh William Horner. Bagaimana Horner melakukannya dengan menempatkan beberapa strip foto atau gambar secara berurutan dalam drum yang berputar. Melalui slot dengan jarak yang sangat rapih dan teratur, sepertinya drum tersebut berdiri dan berputar, dengan demikian pemirsa akan dapat melihat gambar yang bergerak. Kemudian perangkat ini diperbaiki dan berganti nama menjadi Zoetrope pada tahun 1867 oleh seorang warga negara Amerika yakni William Lincoln.

Pencarian dan penemuan yang dilakukan untuk dapat menangkap gambar bergerak menyebar dengan sangat cepat. Kembali lagi ke Perancis, Charles Emile Reynaud mengembangkan lebih jauh lagi dari Zoetrope pada tahun 1877 dengan apa yang disebut sebagai Praxinoscope, yakni drum yang diselingi dengan cermin, bukan slot, dan mesin untuk pertama kalinya yang berkapasitas sebagai proyeksi serangkaian gambar ke layar. Beberapa tahun sebelum kamera yang ciptaan Lumiere Brothers berhasil menampilkan sinema yang diputar di Grand Café dengan Le Cinématographe, Reynaud telah menunjukkan 15 menit "film" di Teater Optique di Paris.

Dua tahun setelah sukses Raynaud, penemuan lainnya yang terjadi berasal dari fotografer Inggris Eadweard Muybridge dengan nama yang cukup aneh, yaitu zoopraxiscope yang menciptakan ilusi dengan lebih persuasif gerakannya dalam memproyeksikan gambar dengan mengganti tiap gambarnya lebih cepat untuk dimunculkan ke layar dimana berasal dari foto yang dicetak dan diletakkan pada piringan kaca yang berputar. Ia menyebut mesin proyektornya tersebut dengan motion picture –gambar bergerak.[4]

Dengan cepat foto Muybridge dipublikasikan secara luas pada saat itu dan dengan segera digunakan potongan fotonya untuk dijadikan sebuah strip pada film oleh saingannya Charles Reynaud untuk Praxinoscope-nya. Segera Muybridge mengumpulkan orang-orang kaya sebagai penyokongnya di Amerika Serikat setelah menunjukkan "loco-motion" fotografi studinya yakni, trek balap di Sacramento, California, dengan meletakkan selusin kamera foto secara berderetan untuk merekam gerakan kuda saat berlari dipacuan, dan urutan hasil foto menunjukkan bahwa keempat kaki kuda secara bersama-sama pada saat-saat tertentu berada diatas tanah –tidak menapak tanah. Muybridge kemudian membuat lentera untuk memproyeksikan gambar bergerak dari kuda yang berlari di pacuan, lalu menyalinnya ke sebuah disk yang bergulir. Disk yang bergulir memperlihatkan gerak pada gambar sepersekian detik, dan peristiwa tersebut membuat Muybridge memiliki kontribusi besar terhadap gerak pada gambar.

Era gambar bergerak –motion picture– yang sebenarnya ilusi, telah menggantikan perekaman bayangan sebagai hiburan dan tontonan massa, serta kemajuan teknologi yang secara simultan dan terus-menerus serta saling mengisi dan mengembangkan satu sama lainnya, dari kelemahan penemuan dan penciptaan teknologi sebelumnya, muncul penemuan dan penciptaan selanjutnya guna memperbaharui penemuan sebelumnya. Teknologi yang diciptakan sebelumnya pun berakhir, dan dimulainya teknologi berikutnya. Begitu seterusnya hingga tercipta sebuah pengakuan akan kemapanan terhadap munculnya teknologi terakhir.

Hal yang sangat penting adalah teori persistence of vision telah memberikan inspirasi dan dasar berpikir dalam menciptakan teknologi untuk mewujudkan gambar bergerak –motion picture– tersebut meski hanya sebuah ilusi belaka. Gambar diam yang diruntut dengan gambar diam yang lainnya dengan bentuk yang hanya sedikit agak berbeda, bila digerakkan, entah dengan cara diputar atau dengan cara digelontorkan ataupun dengan cara yang lainnya, menyebabkan mata menangkap gambar tersebut “menjadi bergerak”, padahal hasil gerakkan yang ditangkap oleh mata tersebut adalah hanyalah sebuah gerakkan ilusi, dan diproyeksikan ke sebuah layar, agar dapat disaksikan oleh khalayak. Sampai pada masa ini, inovator hanya mampu menciptakan gerak ilusi.


3.      Gerak Ilusi menuju Perekaman “Gambar Hidup”

Kita kembali lagi ke Prancis untuk suatu ilusi yang menjadi perekaman hidup. Fisiolog Paris yang bernama Etienne-Jules Marey di tahun 1880-an yang sedang mempelajari hewan bergerak telah mengembangkan apa yang disebutnya denganphotographic gun”, dimana kamera secara cepat dapat mengganti frame untuk mengambil 12 frame foto per detik dan merekam beberapa gambar gerakan pada lempengan kamera yang sama. Dia menyebutnya sebagai chronophotography, meskipun lebih evokatif “photographic gun” dalam menangkap gambarnya namun istilah “syuting film” hampir pasti berasal dari perkembangan  yang dilakukan oleh Marey ini.[5]

Persoalan perekaman gambar secara sederhana sebenarnya sudah dilakukan oleh Etienne Jules Marey, karena bagaimanapun juga, secara umum ia mampu merekam beberapa eksposur fotonya pada lempengan kaca, sebuah langkah revolusioner yang membawa kita lebih dekat kepada kamera film modern.[6] Bahkan eksperimen setelah apa yang dilakukan Jules Marey tersebut, seorang rekan senegaranya yaitu Marey Louis Aime Augustin Le Prince, mengembangkan kertas yang sangat peka yang dilapisi oleh emulsi fotografi yang digunakan pada kamera, yang kemudian dipatenkannya.[7]

Le Prince mengatakan pada saat itu sebenarnya ia telah memfilmkan Leeds Bridge dan telah memberikan sebuah aksi yang sangat penting dan berharga dalam mempelajari film nantinya.[8] Sementara Le Prince sedang syuting di Leeds, George Eastman Kodak di Amerika Serikat pada tahun yang sama sedang mempersiapkan peluncuran Kodak sebagai sebuah rol film seluloid pertama di dunia. Kamera miliknya dapat memotret still foto dengan baik karena menggunakan film seluloid sebagai bahan bakunya. Belakangan, tepatnya setahun kemudian, baru diketahui kalau Eastman membuat lubang perforasi pada film seluloid Kodak ciptaannya.

Untuk pengambilan gambar cahaya menjadi elemen utamanya. Sumber cahaya pada saat itu masih mengandalkan sinar matahari. Saat bola lampu listrik milik Thomas Alva Edison untuk pertama kali menyala di tahun 1879, sinarnya masih berkelap-kelip, belum stabil. Namun lampu telah merubah sumber cahaya tidak hanya dimiliki oleh alam, tetapi ada juga buatan tangan manusia, dan penemuan yang sangat berarti bagi pengambilan gambar film. Sebenarnya saat itu di laboratorium Edison yang dikenal dengan West Orange, di New Jersey, selama bertahun-tahun, beberapa perkembangan penemuan yang paling penting terjadi, bersamaan dengan situasi proses teknologi film yang juga sedang berlangsung. Proses teknologi film ini tidak terlepas karena berkat penampilan William Kennedy Laurie Dickson –seorang Skotlandia yang lahir di Prancis dan masih memiliki hubungan dengan rumah Royal Stuart, karena ibu Dickson, Elizabeth, adalah seorang musisi berbakat orang yang diabadikan dalam balada Annie Laurie, dan ayahnya, James Waite Dickson, adalah seorang seniman dan astronom –masih memiliki hubungan keluarga dengan pelukis William Hogarth. Merasa memikul beban berat nama keluarganya, sejak saat muda, Bill Dickson pergi ke New York dengan tujuan ingin mengukir namanya sendiri.

Di laboratorium Edison, Dickson menguraikan teori-teorinya bagaimana film mampu berpadu dengan suara, sehingga ia pun mendapatkan pekerjaan. Eksperimennya sebagian besar tidak berhasil, tetapi ia telah menghasilkan Kinetograph, yakni mesin motor yang secara mekanik mendorong shutter dan sproket sebagai sistem sinkronisasi, sebuah langkah maju pada teknologi film. Selain itu Kinetograph juga memiliki lensa dibawahnya sebagai kontrol dari kecepatan motor listrik. Seperti halnya Kodak buatan Eastman, ia menambahkan lubang sproket yang dirancang untuk menjaga seluloid agar tetap konstan bergerak dan memungkinkan film untuk dapat berhenti sejenak sebelum shutter membuat bingkai fotografinya. Dickson dalam hal ini menggunakan pita seluloid ciptaan Eastman Kodak.

Namun disain tersebut ternyata tidak cocok terhadap film seluloid 19mm, sehingga film tidak dapat konstan dan stabil. Dengan menghitungnya kembali, Dickson berpendapat bahwa praktisnya diperlukan ukuran film yang lebarnya dua kali dari film yang ada sebelumnya, untuk dapat menjaga konstan dan mencapai kestabilannya, merupakan kemajuan yang pesat dari teknologi film, disamping itu ia juga telah berhasil mendapatkan saham Kodak. Namun hal ini merupakan salah satu persoalan yang selalu menjadi perdebatan besar dalam sejarah film. Karena awalnya Edison bersama co-disainernya yang diketahui sebagai pendiri lab tersebut, enggan untuk membiayai pembuatan mesin yang baru, meski akhirnya mesin tersebut dibuat, namun Dickson yang dianggap pantas memenangkan dan berhak mendapatkan hak paten film 35mm dengan empat lubang di kedua sisi pada setiap frame filmnya ini pada tanggal 7 Januari 1894, dan menjadi standarisasi film hingga hari ini.

Setelah mengembangkan Kinetograph, Dickson mulai bereksperimen dengan Kinetoscope-nya, yakni proyektor yang berbasis teknologi Zoetrope milik William Lincoln. Mesin yang ada di bagian dalamnya secara mekanik mengoperasikan film 35mm sepanjang 50 feet. Perangkat yang dibangun Dickson ini tidaklah kondusif, mengingat bentuknya seperti rak kabinet dengan ukurannya hampir setinggi pria berdiri dan pada ujungnya  terlihat seperti jam kakek-kakek.[9] Apalagi alat ini hanya mampu digunakan untuk satu orang penonton saja. karena loop –lubang intip– filmnya sangat kecil.

Masalahnya Edison mengakui kalau penemuan yang dapat diproduksi secara massal saja yang hanya keluar dari bengkel workshop-nya dan bersifat komersil. Jika orang-orang harus membayar untuk melihat vaudeville, maka menurut Edison mereka juga harus membayar untuk bisa menonton film. Lalu Edison dan Dickson menambahkan mekanisme koin untuk mengoperasikan Kinetoscope, lalu mereka menawarkannya kepada Andrew dan George Holland, yakni pengusaha Kanada yang menerbitkan, mengirimkan, mesin tik dan, yang paling penting, phonograph-nya Edison, yang akhirnya setuju untuk membeli lima mesin Kinetoscope dan membuka salon pertunjukkan pertamanya pada April 1894 di jantung distrik teater Broadway-New York.

Sekitar 500 orang hadir dan membayar 25 sen untuk menonton film yang berjudul Blacksmith Working dan Highland Dancing, dan dalam sebulan saja, saudara-saudara mereka lainnya mengikuti mereka dengan membuka salon kedua Kinetoscope di Kuil Masonik di Chicago dengan lebih dari sepuluh mesin dengan beberapa judul film baru yang menarik, seperti Trapeze, Barber Shop, Cock Fight and Wrestling.[10] Mereka mengandalkan para pekerja imigran yang populasinya semakin bertambah dan juga para buruh yang melakukan gerakan militant terhadap jam kerja untuk lebih singkat sehingga dapat menikmati tontonan ini.

Salon itu berubah menjadi bioskop mini yang memuat banyak Kinetoscope. Layaknya padang rumput yang terbakar, salon-salon segera dibuka dan menyebar di kota-kota besar di seluruh Amerika Serikat, menawarkan cerita sebagai narasi utamanya sehingga keberadaan kinetoscope dengan cepat diterima khalayak. Untuk itu ditetapkan sebuah sistem pengiriman, dengan membentuk kerangka pendistribusian bioskop mini tersebut.

Seperti halnya fotografi, setelah pembuat film memiliki keahlian mengambil gambar bergerak, syuting pornografi pun perlahan mulai marak. Saat itu jika hanya memperlihatkan pergelangan kaki perempuan saja, sudah membuat jantung para pria berdegup kencang. Di Inggris Kinetograph dikenal dengan Saw Butler” yakni sebuah mesin dengan alat-alat pengisi lainnya yang terdapat di peny arcade (pertokoan) yang ada di resort di tepi laut, dan peep-show ini mempertunjukkan seorang wanita membuka baju atau wanita berpose sebagai artis model sambil menikmati pemandangan alam Inggris yang indah selama satu menit. Sedangkan di Prancis film-film erotisme sudah lebih dulu ada sejak tahun 1896 yang dibuat oleh Eugene Pirou dan Albert Kirchner dibawah nama perusahaan mereka Lear. Film tertuanya berjudul Le Coucher de la Marie yang memperlihatkan Louise Willy melakukan adegan striptis. Kirchner juga dikenang sebagai cineste pertama yang memproduksi sebuah film tentang kehidupan Kristus, dengan judul Le Gairah du Christ.

Dengan meningkatnya permintaan produk peep-show ini, maka di tahun 1893 Edison membangun studio produksi film pertama di dunia yang diberi nama “Black Mariadi lapangan laboratorium New Jersey miliknya. Atap studionya dibuat dengan sedemikian rupa sehingga terdapat celah atau lubang yang terbuka untuk memungkinkan sinar matahari masuk ke dalam studio.[11] Menariknya dari Black Maria ini adalah menggunakan rel. Keseluruhan studio tersebut menggunakan rel sehingga dapat diputar ke segala arah guna mengikuti pergerakan sinar matahari.

Lalu Edison dan Dickson pun memfilmkan Vaudeville, dan juga Boxing Matches, Broadway Plays dan Acts from Buffalo Bill Wild West Show yang pertunjukkannya bagaikan sebuah sihir, sebagian besar merupakan potongan cerita pendek berdurasi antara 30-60 detik. Film-film Edison dianggap telah menawarkan suatu hal yang melebihi harga dari yang dibayarkan sebagai tontonan dan hiburan. Penonton mendapatkan pengalamannya terhadap cerita, dan secara personal sifat voyeuristik dari Kinetograph telah mempesona orang-orang yang tetap terpaku melihat ke layar padahal mereka menontonnya secara berulang-ulang.

Dickson kemudian berpisah dari Edison pada tahun 1895. Ia membentuk Perusahaan Mutoscope di Amerika dan mulai mengembangkan hand-cranked (sebuah mesin yang menghidupkannya dengan engkol-tangan) peep-show yang saat itu booming sekaligus juga siap untuk kegagalannya, karena di tahun yang sama, disaat Dickson dan Edison menjalani perpisahannya, Auguste dan Louise Lumière malah membangun Le Cinématographe, kamera portabel ciptaan mereka, dimana kamera sekaligus sebagai printer proyektor ada didalam satu paket –satu mesin, dan penayangan film pertama mereka ke khalayak telah berhasil mencuri perhatian di Amerika. Era Kinetoscope pun berakhir.

Kelanjutan untuk menyempurnakan gambar bergerak –motion picture– telah menghadirkan bioskop dan studio produksi, disamping juga bisnis hiburan kepada khalayak. Selain itu juga muncul teks tertulis sebagai promosi, introduksi dan panduan cerita bagi penonton. Namun kenyataannya, hal tersebut tidaklah berlangsung lama, dan dapat dianggap bahwa gambar bergerak hanyalah sebuah periode transisi guna pencapaian maksimal terhadap perekaman “gambar hidup” dalam keseharian.





[1] Arifin, Chalid. Catatan kuliah Sejarah Film Dunia.
[2] Bordwell, Kristin Thompson and David. “Film History an Introduction”, 2nd ed (chapter 1:14). McGraw-Higher Education New York, 2003.
[3] Bordwell, Kristin Thompson and David. “Film Art an Introduction”, 8th ed (chapter 1:10). McGraw-Hill New York, 2008.
[4] Thurlow, Clifford and Max Thurlow. “Making Short Films : The Complete Guide from Script to Screen”, 3rd. Bloomsbury Academic, 2013.
[5] Thurlow, Clifford and Max Thurlow. “Making Short Films: The Complete Guide from Script to Screen”, 3rd. Bloomsbury Academic, 2013.
[6] Thurlow, Clifford and Max Thurlow. “Making Short Films: The Complete Guide from Script to Screen”, 3rd. Bloomsbury Academic, 2013.
[7] Thurlow, Clifford and Max Thurlow. “Making Short Films: The Complete Guide from Script to Screen”, 3rd. Bloomsbury Academic, 2013.
[8] Thurlow, Clifford and Max Thurlow. “Making Short Films: The Complete Guide from Script to Screen”, 3rd. Bloomsbury Academic, 2013.
[9] Thurlow, Clifford and Max Thurlow. “Making Short Films: The Complete Guide from Script to Screen”, 3rd. Bloomsbury Academic, 2013.
[10] Thurlow, Clifford and Max Thurlow. “Making Short Films: The Complete Guide from Script to Screen”, 3rd. Bloomsbury Academic, 2013.
[11] Bordwell, Kristin Thompson and David. “Film History an Introduction”, 2nd ed (chapter 1:14). McGraw-Higher Education New York, 2003.

Komentar