Sinema Impresionisme : Gambar dan Karakter

Gambar “Fotogenie” dan Irama bagi Impresionisme

Dengan penggambaran film-film Impresionis yang memberikan kesan tertentu, maka gambar yang dihasilkan tidak lagi mengarah pada konsep “fotogenik”, istilah untuk gambar dengan konsep yang lebih mementingkan keindahan pada objek, tapi gambar lebih diarahkan pada konsep fotogenie, sebuah istilah yang menunjukkan sesuatu yang lebih kompleks daripada objek yang hanya menjadi fotogenik. Sehingga bagi para Impresionis, “fotogenie” adalah dasar dari sinema. Louis Delluc mempopulerkan istilah tersebut sekitar tahun 1918, yang digunakannya untuk menentukan kualitas yang membedakan pengambilan film dari objek asli yang difoto. Proses pembuatan film, menurut Delluc, adalah sebuah ekspresi baru yang dipinjamkan oleh objek tertentu untuk memberikan suatu persepsi yang segar kepada penonton.

 Louis Delluc - Wikipedia, la enciclopedia libre

Louis Delluc


Kirsanoff menulis, “Setiap hal yang ada di dunia ini mengetahui akan keberadaan yang lainnya di dalam layar”. Sepertinya kalimat ini disarankan untuk konsep fotogenie yang bisa saja menjadi konsep yang mistis. Jika kita menjabarkannya sedikit, kita dapat mengatakan bahwa fotogenie dibuat oleh sifat-sifat kamera seperti: pembingkaian pada objek dari elemen lain yang ada di sekitarnya telah mengisolasi objek itu sendiri, stok film hitam-putih pun berpengaruh dalam mengubah penampilan objek, efek khusus yang dihasilkan dari optik dapat mengubah objek lebih jauh lagi, dan sebagainya. Dengan cara seperti itu, para ahli teori Impresionis percaya, bahwa sinema telah memberikan akses pada audiensnya ke ranah di luar pengalaman mereka sehari-hari. Bagaimana kejiwaan manusia diperlihatkan melalui esensi objek kepada audiens.

 

Sehubungan dengan bentuk film, maka kaum Impresionis bersikeras bahwa sinema tidaklah boleh meniru narasi dari teater dan sastra. Mereka juga berpendapat bahwa bentuk film harus didasarkan pada irama visual. Gagasan ini berasal dari perasaan kaum Impresionis yang beranggapan bahwa emosi bukanlah sebuah cerita, yang harus menjadi dasar untuk film. Ritme muncul dari juktaposisi –urutan atau rentetan gambar yang disusun– yang ditempatkan secara hati-hati melalui gerak yang ada didalam shot dan panjang dari shot itu sendiri. Dalam sebuah ceramah, Germaine Dulac menganalisis ritme yang terdapat dalam peristiwa di film L’Horloge karya Marcel Silver (The Clock tahun 1924) dimana adegan percintaan yang tenang tiba-tiba berakhir ketika pasangan tersebut menyadari bahwa mereka harus segera pulang ke rumah:

 

Perasaan yang meluap-luap tampak begitu lancar, namun kebahagiaan tersebut menjadi hancur begitu saja saat mereka secara tiba-tiba memikirkan waktu. Sejak saat itu, gambar-gambar yang hadir satu sama lainnya pun masuk kedalam irama yang gila. Dentuman bayangan dari pendulum yang berdenyut tampak kontras dengan dua kekasih yang segera bergegas menghampiri satu sama lainnya dalam menciptakan drama.... dengan gambar-gambar yang pendek.... perasaan dari jalan panjang yang harus dilalui oleh dua kekasih, dan obsesi yang dijelaskan melalui aksi mereka. Jalan sempit seperti tidak ada hentinya, desa pun tetap saja tak tampak. Sejauh ini pendulum seperti memberikan tekanan karena author ingin memberikan pengertian jarak pada shot-nya yang lain. Dengan pilihan pada gambarnya, panjang dan kontras shot-nya, maka ritme menjadi satu-satunya sumber emosi.

 

Bagi kaum Impresionis, ritme adalah pusat, karena ia menawarkan cara untuk menekan reaksi para karakter terhadap aksi ceritanya daripada hanya berfokus pada aksi itu sendiri. Kaum Impresionis bersikeras bahwa perhatian mereka pada ritme membuat film mereka lebih dekat dengan musik daripada bentuk seni lainnya.

 

 

KarakterTraits dalam Impresionisme

Asumsi-asumsi tentang sifat sinema ini memiliki dampak yang besar pada gaya dan struktur naratif dalam film-film Impresionis. Yang pling terpenting, adalah adanya teknik filmik yang seringkali berfungsi untuk menyampaikan subjektivitas karakter. Subjektivitas ini mencakup gambaran kejiwaan, seperti bayangan, mimpi ataupun kenangan; shot optikal untuk menggambarkan point-of-view (POV) dari karakter; atau juga persepsi karakter terhadap perihal tertentu dilakukan tanpa POV shot. Walaupun benar adanya bahwa film di semua negara telah menggunakan perangkat seperti superimpose dan flashback untuk menunjukkan pikiran atau perasaan karakter, namun kaum Impresionis lebih banyak lagi menginginkannya kearah tersebut.


Komentar