SINEMA DIGITAL (SEBUAH PENGANTAR SEJARAH DARI TEKNOLOGI ELEKTRONIK SAMPAI CG)

1. Gambar Elektronik, Video dan Digital

Kehadiran video banyak yang beranggapan berjalan bersamaan dengan kehadiran film, seperti yang dijelaskan oleh Mark Schubin dalam artikel di Videography –sebuah majalah komersil bagi para profesional– sebagai berikut:

"...penggambaran seperangkat mekanis yang berputar pada disk berperforasi (berlubang) dalam mereproduksi gambar elektronik secara scanning,... ...jauh sebelum aplikasi paten Nipkow ini, teknologi di seluruh dunia telah mengupayakan sistem kamera televisi”. (Kernan, 2:11; 2005).

Sementara film didasarkan pada gerak mekanik dan proses fotokimia untuk medianya, televisi justru murni berdasarkan elektronik. Persoalan yang ada seringkali istilah dari televisi dan video diartikan sama, padahal istilah tersebut adalah hal yang berbeda, karena kata televisi berkesimpulan sebagai penyiaran dan penerima sinyal gelombang radio yang membawa konten video. Sedangkan video, bagaimanapun juga, cenderung kearah konten yang berarti konten dari gambar elektronik, dan video dapat disimpan di berbagai media pemutaran –termasuk pita magnetik, disk komputer, dan disk optik– dengan berbagai variasi tampilannya. Namun demikian, pada awal abad ke-20, televisi dan video cenderung menjadi istilah yang identik. Persoalan lainnya adalah dalam menentukan siapa yang "menciptakan" televisi, sebuah kesulitan yang sama halnya dengan apa yang terjadi pada film. Karena kedua teknologi gerak imaji ini berasal dari nenek moyang yang sama, keduanya adalah hasil dari kemajuan teknologi secara bertahap dan dibuat oleh banyak orang dengan periode waktu yang panjang dan lama.

Waktu yang dibutuhkan untuk menghadirkan televisi secara konkret pun juga tidak cepat. Dalam hal ini Schubin menambahkan “...butuh waktu lebih dari 40 tahun setelah adanya paten Nipkow sebelum kamera video dapat memperkenalkan tampilan dari wajah manusia, namun kamera, masih seperti yang diajukan oleh Nipkow, menggunakan disk berperforasi yang berputar sebagai perangkat scanning-nya. Kamera masih menggunakan disk atau mirror drums yang dikenal sebagai kamera video mekanis dan setelah itu ada alternatif lainnya, yakni diperkenalkannya kamera video elektronik”, (Kernan, 2:12; 2005). Kamera elektronik pertama berhasil diciptakan oleh John Logie Baird seorang penemu yang berasal dari Skotlandia, pada tahun 1925. Untuk beberapa waktu lamanya televisi mekanik dan elektronik digunakan secara berdampingan. Kontributor penting lainnya dalam evolusi televisi diantaranya: Boris Rosing, penemu tabung gambar pertama, tahun 1907; Philo T. Farnsworth, sebagai orang yang dianggap mampu mengirim gambar dari kamera video elektronik ke tabung gambar untuk pertama kalinya, di tahun 1927; dan Vladimir Kosma Zworykin yang membuat dan memperhalus kepekaan tabung gambar secara praktis untuk televisi, di tahun 1930.



2. Periode Awal Sinematografi Elektronik

Periode awal televisi, film menjadi media pertama dan utama sejak tahun 1950-an dan seterusnya, dimana film-film sinema menjadi sumber dari konten untuk televisi. Tapi sebaliknya, usaha awal penggunaan video –sinematografi elektronik– untuk menggantikan film seluloid dalam memproduksi dan menayangkan film di sinema kenyataannya belum mendapatkan keberhasilan. Resolusi gambar televisi nyatanya tidak mencukupi pada saat hasilnya diperbesar ke layar lebar untuk ditayangkan di sinema (noise). Begitupula dengan struktur gambar televisi, dimana kecepatan rangkaian setiap bingkai/frame di video memiliki perbedaan terhadap rangkaian frame di film, karena film memiliki kecepatan 24 bingkai perdetik (fps), sedangkan video berada pada 25 fps, sehingga penggunaan video sebagai media pembuatan film sinema menjadi tidak praktis. Hal ini berlangsung cukup lama, bahkan sampai hadirnya peristiwa akan keberhasilan penemuan perekaman kaset video komersil pertama –oleh Ampex Corporation, pada tahun 1956– masih juga belum bisa diatasi, setidaknya membutuhkan waktu 20 tahun untuk dapat merubah video agar dapat di edit agar dapat semudah film dengan menghasilkan rangkaian gambarnya yang terlihat jelas.

Persoalan tersebut terbukti pada perekaman biografi singkat Harlow di tahun 1965, yang menampilkan permasalahan seorang bintang muda, mengalami kesulitan tidak hanya pada batas-batas teknologi electronovision untuk dapat menkonversi dari video ke film, tetapi juga dalam hal persaingan berat sebelah karena adanya sebuah film yang menggunakan seluloid, ternyata di rilis dengan judul yang sama dalam waktu yang hampir bersamaan, resolusi gambar yang berasal dari video (baik yang direkam dalam film yang di rilis sebagai kinescope atau dalam rekaman video) tidak memiliki tingkat kualitas gambar yang cukup untuk memuaskan bagi pemirsa film layar lebar. Sedangkan program televisi yang secara photografis menggunakan film bahan baku seluloid 35mm, justru berhasil menembus sinema.

Industri film juga bereksperimen untuk memanfaatkan teknologi televisi dengan menggunakannya sebagai media tayang bagi film, setidaknya sejak akhir 1930-an. Schubin menuliskan (dalam Videografi, Juni 1990) bahwa:

“...pasar hiburan layar lebar untuk gambar bergerak di Hollywood tercatat telah hadir dengan menggunakan layar televisi. Akademi Seni Gambar bergerak dan Ilmu Pengetahuan (AMPAS, sebagai organisasi Penghargaan untuk Piala Oscar) membentuk sebuah komite yang mempelajari televisi di tahun 1938 dengan menyimpulkan bahwa sinema juga diharuskan memasang layar televisi raksasa. Paramount Pictures pun menilai guna melindungi investasi besar mereka yang telah dipertaruhkannya secara besar-besaran maka mereka melakukan kedua-duanya yakni pada televisi di rumah (Paramount memiliki kepentingan finansial di empat dari sembilan stasiun TV pertama AS di DuMont) dan juga televisi di sinema, dimana mereka menciptakan sistem intermediate film. Sistem intermediate film ini kelihatannya seperti sesuatu yang gila pada saat sekarang ini, tapi kenyataanya hal itu dapat dilakukan. Sinyal ditransmisikan ke sinema, untuk merekam film; yang kemudian film melewati sistem pemrosesan dengan cepat dan segera diproyeksikan dalam waktu hanya 66 detik lamanya”. (Kernan, 2:11; 2005).

Artikel dari Schubin selanjutnya menggambarkan scophony, sebuah perusahaan di Inggris yang menggunakan sistem tayangan sinema elektronik yang sama, meskipun terbukti bahwa skema ini lebih banyak mengalami masalah daripada nilai yang didapatkannya, karena tidak praktis untuk sebuah model bisnis film layar lebar.

Dr. Strangelove, memproyeksikan elektronik dengan menggunakan tabung sinar katoda gaya televisi (CRT) yang memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi pada televisi atau katup lampu Eidophor berbahan dasar minyak. Dengan dana litbang yang cukup bagi bidang pertahanan untuk terus melakukan pengembangannya dan nantinya menghasilkan sebuah solusi berupa revolusi proyektor sinema elektronik. Seperti yang diketahui pada periode sebelum kehadiran sinema, fotografi dan proyektor adalah dua komponen utama sinema. Dalam kurun waktu satu abad kemudian, keduanya akan ditransformasikan oleh teknologi ketiga yang lahir bukan dari film atau televisi, tetapi berakar dalam mengelola informasi, dan ketika teknologi ini diterapkan untuk mengelola informasi gambar, maka mengarah pada revolusi sinema digital, sebagai bentuk dari teknologi yang dikenal dengan Teknologi Komputer.



3. Digital dan Analog
Video pertama yang langsung ditransmisikan dari bulan memberi tantangan bagi NASA. Karena diketahui bahwa waktu menjadi sangat penting untuk video, karena gambar tidak akan tampil stabil apabila waktunya tidak diatur karena menyebabkan sinyal menjadi begitu kompleks. Jarak 250.000 mil untuk menonton video yang dihasilkan dari gelombang mikro dalam perjalanan pesawat Apollo 11 yang bertugas untuk eksplorasi di bulan, nyatanya juga awal dalam memperkenalkan masalah sinkronisasi. Di tahun 1969 itu juga telah muncul solusi dengan memanfaatkan teknologi komputer yang digunakan sebagai media untuk mengubah video –yang merupakan analog– kedalam data “digital”, hal ini dikenal sebagai konversi dari analog ke digital, dengan menyinkronkan data tersebut kedalam buffer bingkai komputer, untuk ditampilkan sebagai bentuk video analog yang kemudian dikoreksi berdasarkan waktu untuk dapat diterima oleh pemancar dan sistem penyiaran TV di dunia.
Siaran langsung dari pesawat luar angkasa Apollo 11, menampilkan astronot Neil A. yang menginjakkan kaki di bulan pada 20 Juli 1969, melalui teknologi digital dalam gambar bergerak yang tidak hanya sebagai sebuah dokumentasi, tetapi juga pencapaian teknologi terbesar umat manusia yang mengarah ke sinema digital. Sumber Gambar https://airandspace.si.edu/stories/editorial/how-we-saw-armstrongs-first-steps



4. Teknologi Gambar Komputer
Pada akhir tahun 1960-an, animasi yang dihasilkan melalui komputer oleh seniman seperti Mark, Michael, dan John Whitney Jr., serta Kenneth Knowlton adalah pintu masuk menuju sinema jenis baru yang dikenal sebagai expended cinema. Nam June Paik dari Korea telah berhasil mengubah basis waktu pada sinyal video untuk menciptakan seni video. Sebagai sebuah permulaan, sutradara Stanley Kubrick seperti melakukan sihir dengan menciptakan efek khusus, melalui tangan terampilnya Douglas Trumbull pada film 2001: A Space Odyssey, dimana dapat dihadirkannya fotografi star gate yang menggunakan kemampuan akan teknologi komputer yang muncul di akhir tahun 1968.

Selama tahun 1970-an para insinyur dan perusahaan berusaha untuk mengatasi persoalan digital pada video NASA di bulan, dengan mengubah penelitian mereka menjadi produk baru yang inovatif bagi industri televisi. Sinkronisasi bingkai digital dalam memberikan laporan langsung di lokasi oleh stasiun TV ternyata lebih dapat diandalkan. Dengan mengoreksi waktu berbasis digital menjadikan format baru ini lebih dapat disesuaikannya dengan program siaran. Bahkan karakter digital telah menjadikan cuaca ataupun olahraga di layar jauh lebih mudah dibaca dan lebih menarik. Sistem digital telah memungkinkan tv dapat mengganti-ganti gambar. Tetapi televisi bukan menjadi satu-satunya di bidang gambar bergerak yang mengalami kemajuan teknologi karena hadirnya sebuah teknologi komputer. “Tujuan kami menggunakan video adalah sebagai alat untuk mengakuisisi serta menguasainya guna membuat film 35mm” (Kernan, 2:19, 2005), kenang Ken Holland, pendiri dan presiden dari Pusat Data Definisi Tinggi IVC (International Video Conversions), di Burbank, California. Holland berlatar belakang elektronik dan teknik TV, pada tahun 1970 mendirikan sebuah perusahaan bernama Image Transform; yang bergerak di bidang peningkatan gambar dan proses pengurangan noise visual yang salah satu diantaranya digunakan untuk meningkatkan siaran langsung video saat misi pesawat Apollo di bulan. "Saat itu adalah perjuangan terberat karena rate frame televisi memiliki resolusi sangat terbatas" (Kernan, 2:20, 2005) lanjut Holland, menggambarkan hasil karyanya dengan menggunakan sistem IMAGE 655, yang dipakai juga dalam membuat film panjang sinemanya.

“Kami harus melakukan banyak pemrosesan gambar agar tampilannya sesuai dengan kualitas 35mm -seluloid. Ini sebenarnya lanjutan dari video 525-line, dengan 130 lebih banyak baris per-framenya dan dengan kecepatan per-framenya diperlambat dari 30 menjadi 24 fps. Menjadikan sistem gambar bergerak elektronik praktis pertama yang cocok untuk dapat rilis di sinema 35mm, serta memberikan kualitas terhadap keunggulan produksi bagi film dengan keadaan yang kurang memadai dalam pelaksanaan produksinya terutama pada lokasi panggung atau interior. Kami cukup sukses dengan IMAGE 655 selama pertengahan 1970an hingga awal 1980-an. Hal tersebut digunakan untuk merekam perekaman dalam produksi aslinya lalu dibuatkan efek khusus yang kemudian dikonversi ke 35mm untuk sebagaian besar feature film Hollywood pada periode itu" (Kernan, 2:20, 2005).

Film-film tersebut termasuk Norman, Is That You? (1976), Monty Python Live at the Hollywood Bowl (1982), dan efek shot di tahun 1978 dalam versi Heaven Can Wait. Holland juga turut mengawasi inovasi terhadap transformasi pada gambar lainnya, termasuk pada Image Lab, sebuah laboratorium gambar bergerak yang dibuat khusus, menghadirkan Image-matte, yakni sebuah sistem untuk menempatkan aktor dengan latar belakang yang palsu layaknya seorang penyiar TV yang sedang menyiarkan ramalan cuaca, dengan kualitas gambarnya yang memadai untuk dapat ditransfer ke film.

Referensi Holland untuk kata resolusi, video 525-line, dan 30 menjadi 24 fps memberikan peluang terhadap definisi lainnya terhadap istilah-istilah utama dalam video dan sinema digital. Seperti kata resolusi (yang juga dikenal sebagai definisi itu sendiri) adalah kata untuk jumlah detail dalam gambar. Secara umum, film memiliki resolusi lebih besar dari video. Televisi dan video di Amerika Utara didasarkan pada standar Komite Sistem Televisi Nasional (NTSC) sekitar 525 baris (sekitar 480 di antaranya digunakan untuk membuat gambar). Standar televisi Phase Alternation by Line (PAL) (yang digunakan di Inggris, Jerman, dan banyak negara lainnya) didasarkan pada 625 baris bagi informasi gambar (575 atau 576 terdiri dari gambar). Sebagian besar video menggunakan apa yang dikenal sebagai interlace scanning, dimana dalam video NTSC, membaginya dengan masing-masing menjadi 30 frame (gambar foto terpisah) video yang ditampilkan setiap detik menjadi dua bidang. Setiap bidang berisi setengah jumlah garis yang diperlukan untuk membuat gambar. Pertama, semua garis bernomor genap ditampilkan, lalu semua garis bernomor ganjil. Ini dilakukan untuk menghemat ruang dalam penyiaran sinyal video. Ketika semuanya berada menjadi 60 bidang (30 frame, yang masing-masing terlihat dua kali) maka hal itu ditampilkan setiap detiknya, efeknya menyebabkan mata akan merasakan gerakan pada gambar akan tampak halus. Layar di komputer, bagaimanapun juga, menampilkan video secara progresif, yaitu, setiap framenya di scanning ke layar dan ditampilkan secara keseluruhannya sebelum frame lainnya ditampilkan. Scanning progresif menghasilkan gambar dengan kualitas yang lebih baik daripada scanning interlace. Film juga dapat menampilkan satu frame secara bersamaan –split screen. Pembuat film lebih suka scanning progresif karena mampu menghilangkan degradasi gambar yang disebabkan oleh interlacing. Image Transform bukan satu-satunya organisasi selama tahun 1970an yang melakukan penelitian tentang penggunaan video beresolusi tinggi untuk merekam film bioskop. Ternyata Nippon Hoso Kyokai (NHK, Japan Broadcasting Corporation) juga sudah mengerjakannya dengan memperkenalkan HDTV, atau televisi High Definition.
Sumber gambar https://macinjune.com/all-posts/mac/tip/final-cut/1080i-vs-1080p-%EC%9D%B8%ED%84%B0%EB%A0%88%EC%9D%B4%EC%8A%A4%EB%93%9C%EC%99%80-%ED%94%84%EB%A1%9C%EA%B7%B8%EB%A0%88%EC%8B%9C%EB%B8%8C-%EB%B0%A9%EC%8B%9D%EC%9D%B4%EB%9E%80/ 



5. Kehadiran Pixel dalam Teknologi Gambar

Teknologi CG juga terus dikembangkan dan mengalami kemajuan selama dekade ini, di tahun 1974 lahirlah Kelompok Perhatian Khusus Asosiasi Mesin Komputer (ACM) terhadap Grafik Komputer (SIGGRAPH). Berbagai Organisasi lokal di Amerika menghadirkannya pada tulisan-tulisan mereka serta mengadakan konferensi nasional untuk forum para ahli CG dengan tujuan agar dapat berbagi informasi. Imaj ilmiah (seperti animasi dengan pola cuaca, bidang arsitektur yang dikenal dengan walk-throughs, simulasi untuk aliran udara dari terowongan angin) adalah karakteristik dari penelitian CG awal. Akhirnya, para praktisi yang menggunakan CG menemukan dan menunjukkan secara efektif untuk menampilkan hal-hal terbaru mereka dalam sebuah bentuk kartun animasi berdurasi pendek yang sesuai dengan paradigma kartun yang sudah dikenal sebelumnya. Saat itu juga telah diperlihatkan bagaimana CG dapat mereplikasi secara visual dinamika fisik dari dunia nyata. Menggambar untuk matematika, fisika, dan banyak ilmu ukur lainnya serta cara mengukur materi tertentu pun muncul sebagai perilaku di dunia fisik melalui CG. Ilmuwan CG, penulis software, dan desainer atau animator terus bekerja untuk memajukan komputer sehingga mereka dapat menghasilkan "fotorealistik" dengan imaj yang dihasilkannya berupa perspektif tiga dimensi. Proses penemuan yang panjang ini dimulai dari cara menciptakan gambar kerangka, berupa rangka-kawat dari objek, hingga mengembangkan algoritma menjadi rendering poligon yang dapat memberikan sebuah bentuk permukaan (seperti bentuk logam, batu, kulit, bulu, dsb). Proses perbaikan dan penyempurnaannya tetap terus berlanjut hingga hari ini.

Pada awal tahun 1980an, CG tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam departemen ilmu komputer di universitas. Lucas membentuk Divisi Pengembangan Komputer dengan mendirikan Pixar, yang sampai hari ini dikenal telah melahirkan film-film seperti Toy Story, Finding Nemo, dan The Incredibles. Perusahaan lain seperti Robert Abel & Associates, MAGI, dan Pacific Data Images dibuka untuk berkecimpung dalam pembuatan CG dan praktis hanya diperuntukkan bagi bisnis di TV dan film.

Menariknya, pada saat itu keberadaan teknologi computer diketahui terus mengalami penurunan harga dengan tersedianya komputer pertama yang digunakan untuk kebutuhan pribadi. Bertahun-tahun sebelumnya, Gordon E. Moore (fisikawan, salah satu pendiri dan ketua Intel Corp) memperkirakan peningkatan daya beli komputer oleh masyarakat secara terus-menerus ternyata disertai dengan penurunan harga yang terus berkelanjutan. Hal tersebut dikenal dengan "Hukum Moore," yang sampai saat ini, fenomena tersebut masih terus berlanjut (Kernan, 2:23, 2005).



6. Teknologi CG

Film Tron keluaran Disney di tahun 1982 telah menandai tonggak penting dalam pembuatan film dengan sistem komputerisasi; dimana film yang berdurasi sekitar lebih dari 15 menit ini dapat menghadirkan gambar yang dihasilkan komputer secara live action melalui komposisi dengan CG. Empat perusahaan CG berkolaborasi dalam membuat film ini, walaupun tidak sukses, tapi hal ini merupakan demonstrasi dramatis tentang bagaimana penampilan pada gambarnya benar-benar baru dengan menggunakan alat yang memungkinkan dalam menghadirkan imaj digital. Dengan mentransfer gambar-gambar komputer dari tabung gambar ke film, adalah permintaan dari Produser Tron terhadap Perusahaan Laboratorium Teknik Constantine (CELCO) untuk melakukannya. Perusahaan tersebut terkenal karena sebagai perusahaan pembuat kamera khusus untuk NASA dan komunitas pertahanan. Perangkat ini digunakan untuk mencetak data gambar satelit menjadi cetakan foto yang besar. CELCO pun mengalami perkembangan dan menjadi penyedia teknologi perekaman film digital untuk industri film yang utama. Banyak film yang mengikuti jejak tersebut dengan mengandalkan CG sebagai teknologi yang digunakan dalam memproduksi film, termasuk film The Last Starfighter (1984) dan Young Sherlock Holmes (1985). Perusahaan CG ini juga membuka bisnisnya dengan menawarkan sistem CG ke televisi, dengan menyediakan sistem grafis yang dapat digunakan untuk video dalam menghidupkan logo yang dapat terbang/melayang secara tiga dimensi. Sementara itu, sistem Quantel Paintbox, membawa periode dimana over the shoulder dari penyiar dapat menampilkan grafik dari identitas stasiun tv yang dapat disesuaikan oleh art director. CG membantu televisi agar lebih terlihat berteknologi tinggi, sedangkan produk komersial pun juga mulai menggunakannya untuk menciptakan imaj yang menarik perhatian konsumen, mulai dari pembersih bak mandi yang menampilkan gelembung busa pembersih hingga obat gangguan pencernaan. Tapi dampak CG terhadap sinema jauh lebih penting. Gambar apa pun bisa diwujudkan dan ditampilkan di layar, sekalipun itu adalah wujud visual dari hasil pikiran seseorang. Dengan fotorealis yang memadai, CG dapat mengkomposisikan fotografi 35mm live-action untuk menciptakan imaj yang meyakinkan yang tidak mungkin didapatkan apabila menggunakan metode analog. Simpulan Teknologi gambar di film faktanya hadir tidak selalu dikhususkan untuk membuat film. Namun untuk kebutuhan-kebutuhan gambar yang lainnya, seperti halnya kebutuhan gambar oleh NASA ataupun televisi, dan sebagainya. Namun dengan film, teknologi-teknologi tersebut dapat dimaksimalkan fungsi dan kelebihannya oleh para pembuat film melalui kreatiftas.

------------------------------------------------

Sumber Bordwell, David and Kristin Thompson. Film History, 2:52; McGraw-Hill Companies, Inc-New York, 2008. McKernan, Brian. Digital Cinema : The Revolution Cinematography, Postproduction, and Distribution, 1:2; McGraw-Hill Companies, Inc-New York, 2005.

Komentar